Adsense

Thursday, May 17, 2012

Model Penanganan Bencana Aceh Dipaparkan di Jepang


Tokyo | Universitas Tokyo Ocean Alliance lembaga penelitian di bidang isu-isu kelautan di universitas Tokyo bekerjasama dengan badan PBB FAO Roma mengadakan Simponsium Internasional on Future Vision for Human Being and The Sea After Restoration From Disaster di Universitas Tokyo selama dua hari sejak 14 – 15 Mei.

“Dalam simponsium yang diikuti oleh ratusan peneliti dari berbagai belahan dunia, mereka kagum dengan cara penanganan gempa dan tsunami di Aceh. Itu bencana alam terbesar dalam 100 tahun terakhir ini. Mereka sepakat menjadikan Aceh sebagai model penanganan bencana dunia,” sebut pembicara simponsium M Adli Abdullah dari Pusat Studi Adat Laot dan Kebijakan perikanan  Universitas Syiah Kuala kepada The Globe Journa, Rabu (16/5).

Adli menjelaskan simponsium ini untuk mengumpulkan isu-isu penanganan kelautan dan masyarakat pesisir dan mempelajari kelemahan-kelemahan dalam penanganan bencana. Sebagaimana diketahui, bencana alam di Aceh (2004), Katrina Amerika Serikat (2008), Chile (2010), Tohoku Japan (2011) banyak warga pesisir yang menjadi korban dan perlu perhatian utama kepada mereka. Dalam dalam salah satu rekomendasi, peserta meminta negara-negara dan lembaga international belajar pada baik-buruk penanganan bencana.

“Kita mesti menghindari korban tidak boleh dijadikan obyek bantuan, penyelewengan bantuan harus diawasi ketat serta menghormati adat dan budaya masyarakat setempat dalam penanganan bencana,” papar Adli serius.

Selaam dua hari simponsium terungkap bahwa dalam 10 tahun terakhir ini terjadi tiga bencana besar dunia yaitu Aceh (2004), Chile (2010) dan Tohoku (2011). Bahkan di Jepang walaupun korban jiwa tidak separah Aceh tetapi rusaknya fasilitas nuklir Fukushima menimbulkan keresahan masyarakat dunia terhadap merebaknya penggunaan tekhnologi nuklir di dunia saat ini. Setelah gempa bumi dan tsunami pada 11 Maret 2011, Jepang memutuskan menutup seluruh fasilitas nuklir karena radiasi nuklir membahayakan kelangsungan manusia melebihi bom Hiroshima dan Nagasaki.

Simponsium ini menghadirkan narasumber Lahsen Ababouch (UNFAO, Rome), Hisashi Kuro Kura (University Tokyo), Tamaki Ura (Direktur UT Ocean Alliance), Robert Thomson (University of Rhode Island),M Adli Abdullah (Syiah Kuala University), John Kurien (Center for Development Studies, India), Ichiro Nomura (UN FAO) dan Yograj Yadava (Bay of Benggal Program)

Simponsium ditutup oleh John Kirby dari University of Rhode Island Amerika Serikat yang meminta perlunya kerja sama jangka panjang antar lembaga pemerintah dan badan-badan international dengan lembaga penelitian kelautan agar dalam setiap kebijakan politik yang diambil, kepentingan masyarakat yang mendiami pesisir pantai lebih diutamakan daripada kaum industriawan yang punya akses lebih baik dengan kekuasaan.


No comments:

Post a Comment

Berikan komentar Anda untuk menilai setiap isi postingan, Admin melarang keras komentar yang berisi hal Porno,SARA/Rasis.
Terimakasih