Adsense

Showing posts with label Politik. Show all posts
Showing posts with label Politik. Show all posts

Monday, November 18, 2013

Inilah Daftar Pejabat Indonesia yang disadap Australia

 

Pihak intelijen Australia empat tahun lalu menyadap telepon seluler Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama istrinya, Kristiani Herawati alias Ani Yudhoyono. Kabar ini berdasarkan dokumen Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat (NSA) dibocorkan Edward Snowden.

Bukan hanya SBY dan istrinya, Australia juga menyadap telepon seluler kepunyaan delapan pejabat Indonesia lainnya, seperti dilansir surat kabar the Guardian, Senin (18/11).

Berikut daftar pejabat Indonesia menjadi korban sadapan Australia pada 2009 :

1. Susilo Bambang Yudhoyono
Jenis telepon: Nokia E90-1
Jaringan: 3G

2. Kristiani Herawati (ibu negara)
Jenis telepon: Nokia E90-1
Jaringan: 3G

3. Boediono (wakil presiden
Jenis telepon: BlackBerry Bold 9000
Jaringan: 3G

4. Jusuf Kalla (mantan wakil presiden)
Jenis telepon: Samsung SGH-Z370
Jaringan: 3G

5. Dino Patti Djalal (juru bicara presiden)
Jenis telepon: BlackBerry Bold 9000
Jaringan: 3G

6. Andi Mallarangeng (juru bicara presiden)
Jenis telepon: Nokia E71-1
Jaringan: 3G

7. Hatta Rajasa (menteri sekretaris negara)
Jenis telepon: Nokia E90-1
Jaringan: 3G

8. Sri Mulyani Indrawati (menteri koordinator perekonomian)
Jenis telepon: Nokia E90-1
Jaringan: 3G

9. Widodo Adi Sucipto (menteri koordinator politik dan keamanan)
Jenis telepon: Nokia E66-1
Jaringan: 3G

10. Sofyan Djalil
Jenis telepon: Nokia E90-1
Jaringan: 3G


Sumber : Merdeka.com

Tuesday, August 20, 2013

Menelusuri Jejak Sejarah Perang Atjeh dari Media Asing

 
BELANDA mengultimatum Kesultanan Aceh pada 26 Maret 1873. Perang Aceh-Belanda dimulai. Sedikitnya 3.198 prajurit, termasuk 168 perwira KNIL yang dipimpin Jendral JHR Kohler mendarat di Pantai Cermin pada 8 April 1873.

Saat batalion-batalion mendarat di pantai Aceh, Belanda langsung menghadapi sistem perlawanan yang terorganisir dan rapi dari pasukan Kesultanan Aceh. Artileri pasukan Aceh lebih handal dari yang diperkirakan. Bahkan kapal perang Citadel van Antwerpen dihujani 12 tembakan meriam. Kendati bisa memukul mundur pasukan Aceh namun 9 prajurit Belanda tewas, 46 lainnya luka-luka akibat tebasan kelewang.

Sesaat Jenderal Kohler bersama ribuan prajuritnya berhasil menguasai muara Krueng Aceh dan mendirikan pangkalan militer di jalur masuk kerajaan itu. Dia kemudian bergerak menyerbu "Dalam" (Keraton dalam istilah Jawa) sebagai pusat pemerintahan Sultan Aceh di Banda Aceh. Belanda masuk dari jalur Krueng Aceh dan berhasil menduduki Masjid Raya Baiturrahman pada 11 April 1873.

Kohler berpikir bahwa Masjid Baiturrahman merupakan istana kesultanan karena letaknya berada di pusat kota. Belanda merasa sudah menguasai Aceh dan kondisi sudah bisa dikendalikan apalagi saat menyerang sama sekali tidak ada perlawanan.

Kohler mengambil kebijakan mengurangi jumlah prajuritnya dan meninggalkan masjid. Begitu dibiarkan kosong, pasukan Aceh di bawah pimpinan Panglima Polem dan beberapa pasukan dari tiga sagi bergerak menguasai tempat ibadah warga di ibukota tersebut.

Mengetahui hal ini, Kohler kembali mencoba merebut Masjid Baiturrahman. Hari ketiga pertempuran, 14 April 1873, Kohler tertembak oleh sniper Aceh pimpinan Teungku Di Lamnga saat berdiri di bawah pohon geuleumpang di halaman masjid. Sebutir peluru bersarang di kepala Jenderal Belanda itu.

Kematian Kohler membuat serdadu Belanda panik dan kocar-kacir. Posisi Kohler langsung diganti oleh Kolonel van Daalen yang menarik pasukannya ke pesisir pantai. Perang berkecamuk selama 10 hari di Pantai Cermin (Ulee Lheue).

Pasukan Aceh yang datang dari segala penjuru, seperti dari Peukan Aceh, Lambhuek, Lampuuk, Peukan Bada, Lambada, Krueng Raya, dari pelosok Aceh Besar lainnya turut dibantu oleh pasukan dari Teunom, Pidie, Peusangan dan wilayah Aceh lainnya.

Ribuan pasukan Aceh berhasil mendesak Belanda yang membuat prajurit mereka kewalahan dan moral pasukannya luntur. Belanda bisa dipukul mundur keluar dari pantai Aceh pada 25 April 1873.

Kekalahan ini membuat Belanda terkejut dan membuat publik Eropa serta Amerika gempar. Kekalahan Belanda dimuat dalam surat kabar London Times edisi 22 April 1873. Media itu memuat laporan lengkap dari Medan Perang Bandar Atjeh yang antara lain menulis: "Suatu kejadian yang luar biasa dalam sejarah penjajahan yang terjadi di Kepulauan Melayu. Kekuatan pasukan Eropa yang besar dikalahkan oleh tentara pribumi. Tentara Aceh berhasil dengan gemilang meraih kemenangan besar dalam peperangan yang menentukan. Musuh mereka bukan saja sudah kalah tetapi dipaksa berlari."

Dalam laporan itu, London Times juga menulis bahwa Aceh bukanlah tanah penjajahan Belanda, dan Belanda sama sekali tidak berhak menyerang Aceh. Sementara surat kabar Amerika, The New York Times pada edisi 6 Mei 1873 menulis: "Suatu pertempuran berlumuran darah terjadi di Aceh. Serangan Belanda berhasil ditangkis dengan penyembelihan besar-besaran terhadap tentara Belanda. Panglima Belanda dibunuh dan tentaranya lari tunggang langgang."

Di sisi lain Harian The New York Times pada 15 Mei 1873 mengomentari perang Aceh dalam artikel berjudul: Aceh.

"...Segera akan diketahui oleh masyarakat bahwa Aceh itu bukanlah bangsa biadab yang tidak sadar atau tenggang rasa. Mereka adalah bangsa islami yang baik dan menghormati nilai-nilai perjuangan pahlawan-pahlawan mereka..."

"Segera akan terbukti bahwa mereka sebagai musuh sekarang juga memiliki tanah jajahan sendiri pada suatu waktu dan ada waktu ketika mereka begitu kuat hingga dapat mengepung armada Portugis di Malaka. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Sultan Aceh adalah sahabat karib Raja Inggris James I yang memberikan dua buah meriam besar kepada Sultan Aceh. Kini meriam itu turut mempertahankan istana penggantinya di Sumatera."


Berita-berita ini terus mengisi halaman utama media-media di Eropa dan Amerika. Arus informasi mengenai perang Aceh terus mengalir dari koresponden Reuters William Marshal di Penang yang memperoleh berita dari Stuart Herriot, pedagang asal Scotlandia. Herriot dikenal akrab dengan penduduk pribumi dan menjadi penasehat hukum bila berurusan dengan pengadilan atau orang Eropa. Dia juga menjadi anggota Dewan Kota Penang, dan mendukung sejumlah kegiatan serta kepentingan pribumi Melayu.

Herriot menjadi narasumber penting bagi Marshall dalam urusan orang pribumi Melayu dan Aceh. Keduanya dikenal sebagai anti Belanda, pro Melayu, menentang campur tangan Inggris terhadap negeri-negeri Melayu. Mereka tidak senang kepada Gubernur Harry Ord yang terlalu berpihak kepada Belanda dan membiarkan Aceh diserbu hingga merusak perdagangan bebas di Selat Malaka.

Pemberitaan itu sempat memaksa Perdana Menteri William Ewart Gladstone dan Menteri Luar Negeri George Granville untuk mempertimbangkan kembali sikap Inggris mengenai ekspansi Belanda terhadap Aceh. Namun, Den Haag tetap berharap sikap toleran dari London mengenai aksinya di Aceh, setelah keduanya mengikat perjanjian Persahabatan 1871.

Menteri Luar Negeri Belanda Gericke van Herwijnen menginstruksikan kepada Duta Besar Charles van Bijlandt di London untuk mendekati dan meyakinkan pemerintah Inggris agar selalu memperoleh dukungan. Negara kincir angin ini memerlukan peran serta Inggris untuk mengantisipasi tekanan internasional dari Amerika dan negeri-negeri Eropa lainnya.

Dukungan Inggris terhadap Belanda itu membuat mayoritas pedagang Inggris di Singapura membenci pemerintahannya sendiri. Menurut mereka kebijakan yang diambil pimpinan negaranya telah merugikan pedagang Inggris. Opini publik yang menjatuhkan kredibilitas penguasa Inggris kian hari semakin deras akibat perang Aceh. Mereka mencela kebijakan pemerintahan yang hanya berpangku tangan membiarkan Belanda melakukan agresi di Sumatera dan Aceh.

Hal itu mendapat perhatian konservatif pimpinan Perdana Menteri William Gladstone yang mengkhawatirkan bisa mempengaruhi citra kepemimpinannya. Akhirnya pemerintah Inggris menekan pemilik Kantor Berita Reuters yaitu Baron Paul Julius von Reuter untuk meredam pemberitaan tentang perang Aceh. Akibatnya berita-berita Aceh mulai hilang di koran-koran Eropa dan sejak Juni 1874, koresponden Reuters Marshall dilarang meliput serta berhubungan dengan orang-orang Aceh. 
 
Sumber : The Atjeh Post
BELANDA mengultimatum Kesultanan Aceh pada 26 Maret 1873. Perang Aceh-Belanda dimulai. Sedikitnya 3.198 prajurit, termasuk 168 perwira KNIL yang dipimpin Jendral JHR Kohler mendarat di Pantai Cermin pada 8 April 1873.
Saat batalion-batalion mendarat di pantai Aceh, Belanda langsung menghadapi sistem perlawanan yang terorganisir dan rapi dari pasukan Kesultanan Aceh. Artileri pasukan Aceh lebih handal dari yang diperkirakan. Bahkan kapal perang Citadel van Antwerpen dihujani 12 tembakan meriam. Kendati bisa memukul mundur pasukan Aceh namun 9 prajurit Belanda tewas, 46 lainnya luka-luka akibat tebasan kelewang.
Sesaat Jenderal Kohler bersama ribuan prajuritnya berhasil menguasai muara Krueng Aceh dan mendirikan pangkalan militer di jalur masuk kerajaan itu. Dia kemudian bergerak menyerbu "Dalam" (Keraton dalam istilah Jawa) sebagai pusat pemerintahan Sultan Aceh di Banda Aceh. Belanda masuk dari jalur Krueng Aceh dan berhasil menduduki Masjid Raya Baiturrahman pada 11 April 1873.
Kohler berpikir bahwa Masjid Baiturrahman merupakan istana kesultanan karena letaknya berada di pusat kota. Belanda merasa sudah menguasai Aceh dan kondisi sudah bisa dikendalikan apalagi saat menyerang sama sekali tidak ada perlawanan.
Kohler mengambil kebijakan mengurangi jumlah prajuritnya dan meninggalkan masjid. Begitu dibiarkan kosong, pasukan Aceh di bawah pimpinan Panglima Polem dan beberapa pasukan dari tiga sagi bergerak menguasai tempat ibadah warga di ibukota tersebut.
Mengetahui hal ini, Kohler kembali mencoba merebut Masjid Baiturrahman. Hari ketiga pertempuran, 14 April 1873, Kohler tertembak oleh sniper Aceh pimpinan Teungku Di Lamnga saat berdiri di bawah pohon geuleumpang di halaman masjid. Sebutir peluru bersarang di kepala Jenderal Belanda itu.
Kematian Kohler membuat serdadu Belanda panik dan kocar-kacir. Posisi Kohler langsung diganti oleh Kolonel van Daalen yang menarik pasukannya ke pesisir pantai. Perang berkecamuk selama 10 hari di Pantai Cermin (Ulee Lheue).
Pasukan Aceh yang datang dari segala penjuru, seperti dari Peukan Aceh, Lambhuek, Lampuuk, Peukan Bada, Lambada, Krueng Raya, dari pelosok Aceh Besar lainnya turut dibantu oleh pasukan dari Teunom, Pidie, Peusangan dan wilayah Aceh lainnya.
Ribuan pasukan Aceh berhasil mendesak Belanda yang membuat prajurit mereka kewalahan dan moral pasukannya luntur. Belanda bisa dipukul mundur keluar dari pantai Aceh pada 25 April 1873.
Kekalahan ini membuat Belanda terkejut dan membuat publik Eropa serta Amerika gempar. Kekalahan Belanda dimuat dalam surat kabar London Times edisi 22 April 1873. Media itu memuat laporan lengkap dari Medan Perang Bandar Atjeh yang antara lain menulis: "Suatu kejadian yang luar biasa dalam sejarah penjajahan yang terjadi di Kepulauan Melayu. Kekuatan pasukan Eropa yang besar dikalahkan oleh tentara pribumi. Tentara Aceh berhasil dengan gemilang meraih kemenangan besar dalam peperangan yang menentukan. Musuh mereka bukan saja sudah kalah tetapi dipaksa berlari."
Dalam laporan itu, London Times juga menulis bahwa Aceh bukanlah tanah penjajahan Belanda, dan Belanda sama sekali tidak berhak menyerang Aceh. Sementara surat kabar Amerika, The New York Times pada edisi 6 Mei 1873 menulis: "Suatu pertempuran berlumuran darah terjadi di Aceh. Serangan Belanda berhasil ditangkis dengan penyembelihan besar-besaran terhadap tentara Belanda. Panglima Belanda dibunuh dan tentaranya lari tunggang langgang."
Di sisi lain Harian The New York Times pada 15 Mei 1873 mengomentari perang Aceh dalam artikel berjudul: Aceh.
"...Segera akan diketahui oleh masyarakat bahwa Aceh itu bukanlah bangsa biadab yang tidak sadar atau tenggang rasa. Mereka adalah bangsa islami yang baik dan menghormati nilai-nilai perjuangan pahlawan-pahlawan mereka..."
"Segera akan terbukti bahwa mereka sebagai musuh sekarang juga memiliki tanah jajahan sendiri pada suatu waktu dan ada waktu ketika mereka begitu kuat hingga dapat mengepung armada Portugis di Malaka. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Sultan Aceh adalah sahabat karib Raja Inggris James I yang memberikan dua buah meriam besar kepada Sultan Aceh. Kini meriam itu turut mempertahankan istana penggantinya di Sumatera."
Berita-berita ini terus mengisi halaman utama media-media di Eropa dan Amerika. Arus informasi mengenai perang Aceh terus mengalir dari koresponden Reuters William Marshal di Penang yang memperoleh berita dari Stuart Herriot, pedagang asal Scotlandia. Herriot dikenal akrab dengan penduduk pribumi dan menjadi penasehat hukum bila berurusan dengan pengadilan atau orang Eropa. Dia juga menjadi anggota Dewan Kota Penang, dan mendukung sejumlah kegiatan serta kepentingan pribumi Melayu.
Herriot menjadi narasumber penting bagi Marshall dalam urusan orang pribumi Melayu dan Aceh. Keduanya dikenal sebagai anti Belanda, pro Melayu, menentang campur tangan Inggris terhadap negeri-negeri Melayu. Mereka tidak senang kepada Gubernur Harry Ord yang terlalu berpihak kepada Belanda dan membiarkan Aceh diserbu hingga merusak perdagangan bebas di Selat Malaka.
Pemberitaan itu sempat memaksa Perdana Menteri William Ewart Gladstone dan Menteri Luar Negeri George Granville untuk mempertimbangkan kembali sikap Inggris mengenai ekspansi Belanda terhadap Aceh. Namun, Den Haag tetap berharap sikap toleran dari London mengenai aksinya di Aceh, setelah keduanya mengikat perjanjian Persahabatan 1871.
Menteri Luar Negeri Belanda Gericke van Herwijnen menginstruksikan kepada Duta Besar Charles van Bijlandt di London untuk mendekati dan meyakinkan pemerintah Inggris agar selalu memperoleh dukungan. Negara kincir angin ini memerlukan peran serta Inggris untuk mengantisipasi tekanan internasional dari Amerika dan negeri-negeri Eropa lainnya.
Dukungan Inggris terhadap Belanda itu membuat mayoritas pedagang Inggris di Singapura membenci pemerintahannya sendiri. Menurut mereka kebijakan yang diambil pimpinan negaranya telah merugikan pedagang Inggris. Opini publik yang menjatuhkan kredibilitas penguasa Inggris kian hari semakin deras akibat perang Aceh. Mereka mencela kebijakan pemerintahan yang hanya berpangku tangan membiarkan Belanda melakukan agresi di Sumatera dan Aceh.
Hal itu mendapat perhatian konservatif pimpinan Perdana Menteri William Gladstone yang mengkhawatirkan bisa mempengaruhi citra kepemimpinannya. Akhirnya pemerintah Inggris menekan pemilik Kantor Berita Reuters yaitu Baron Paul Julius von Reuter untuk meredam pemberitaan tentang perang Aceh. Akibatnya berita-berita Aceh mulai hilang di koran-koran Eropa dan sejak Juni 1874, koresponden Reuters Marshall dilarang meliput serta berhubungan dengan orang-orang Aceh.
- See more at: http://www.atjehpost.com/sejarah_read/2013/08/20/63176/0/39/Perang-Atjeh-dan-cerita-Reuters#sthash.QJQlDTwp.dpuf
BELANDA mengultimatum Kesultanan Aceh pada 26 Maret 1873. Perang Aceh-Belanda dimulai. Sedikitnya 3.198 prajurit, termasuk 168 perwira KNIL yang dipimpin Jendral JHR Kohler mendarat di Pantai Cermin pada 8 April 1873.
Saat batalion-batalion mendarat di pantai Aceh, Belanda langsung menghadapi sistem perlawanan yang terorganisir dan rapi dari pasukan Kesultanan Aceh. Artileri pasukan Aceh lebih handal dari yang diperkirakan. Bahkan kapal perang Citadel van Antwerpen dihujani 12 tembakan meriam. Kendati bisa memukul mundur pasukan Aceh namun 9 prajurit Belanda tewas, 46 lainnya luka-luka akibat tebasan kelewang.
Sesaat Jenderal Kohler bersama ribuan prajuritnya berhasil menguasai muara Krueng Aceh dan mendirikan pangkalan militer di jalur masuk kerajaan itu. Dia kemudian bergerak menyerbu "Dalam" (Keraton dalam istilah Jawa) sebagai pusat pemerintahan Sultan Aceh di Banda Aceh. Belanda masuk dari jalur Krueng Aceh dan berhasil menduduki Masjid Raya Baiturrahman pada 11 April 1873.
Kohler berpikir bahwa Masjid Baiturrahman merupakan istana kesultanan karena letaknya berada di pusat kota. Belanda merasa sudah menguasai Aceh dan kondisi sudah bisa dikendalikan apalagi saat menyerang sama sekali tidak ada perlawanan.
Kohler mengambil kebijakan mengurangi jumlah prajuritnya dan meninggalkan masjid. Begitu dibiarkan kosong, pasukan Aceh di bawah pimpinan Panglima Polem dan beberapa pasukan dari tiga sagi bergerak menguasai tempat ibadah warga di ibukota tersebut.
Mengetahui hal ini, Kohler kembali mencoba merebut Masjid Baiturrahman. Hari ketiga pertempuran, 14 April 1873, Kohler tertembak oleh sniper Aceh pimpinan Teungku Di Lamnga saat berdiri di bawah pohon geuleumpang di halaman masjid. Sebutir peluru bersarang di kepala Jenderal Belanda itu.
Kematian Kohler membuat serdadu Belanda panik dan kocar-kacir. Posisi Kohler langsung diganti oleh Kolonel van Daalen yang menarik pasukannya ke pesisir pantai. Perang berkecamuk selama 10 hari di Pantai Cermin (Ulee Lheue).
Pasukan Aceh yang datang dari segala penjuru, seperti dari Peukan Aceh, Lambhuek, Lampuuk, Peukan Bada, Lambada, Krueng Raya, dari pelosok Aceh Besar lainnya turut dibantu oleh pasukan dari Teunom, Pidie, Peusangan dan wilayah Aceh lainnya.
Ribuan pasukan Aceh berhasil mendesak Belanda yang membuat prajurit mereka kewalahan dan moral pasukannya luntur. Belanda bisa dipukul mundur keluar dari pantai Aceh pada 25 April 1873.
Kekalahan ini membuat Belanda terkejut dan membuat publik Eropa serta Amerika gempar. Kekalahan Belanda dimuat dalam surat kabar London Times edisi 22 April 1873. Media itu memuat laporan lengkap dari Medan Perang Bandar Atjeh yang antara lain menulis: "Suatu kejadian yang luar biasa dalam sejarah penjajahan yang terjadi di Kepulauan Melayu. Kekuatan pasukan Eropa yang besar dikalahkan oleh tentara pribumi. Tentara Aceh berhasil dengan gemilang meraih kemenangan besar dalam peperangan yang menentukan. Musuh mereka bukan saja sudah kalah tetapi dipaksa berlari."
Dalam laporan itu, London Times juga menulis bahwa Aceh bukanlah tanah penjajahan Belanda, dan Belanda sama sekali tidak berhak menyerang Aceh. Sementara surat kabar Amerika, The New York Times pada edisi 6 Mei 1873 menulis: "Suatu pertempuran berlumuran darah terjadi di Aceh. Serangan Belanda berhasil ditangkis dengan penyembelihan besar-besaran terhadap tentara Belanda. Panglima Belanda dibunuh dan tentaranya lari tunggang langgang."
Di sisi lain Harian The New York Times pada 15 Mei 1873 mengomentari perang Aceh dalam artikel berjudul: Aceh.
"...Segera akan diketahui oleh masyarakat bahwa Aceh itu bukanlah bangsa biadab yang tidak sadar atau tenggang rasa. Mereka adalah bangsa islami yang baik dan menghormati nilai-nilai perjuangan pahlawan-pahlawan mereka..."
"Segera akan terbukti bahwa mereka sebagai musuh sekarang juga memiliki tanah jajahan sendiri pada suatu waktu dan ada waktu ketika mereka begitu kuat hingga dapat mengepung armada Portugis di Malaka. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Sultan Aceh adalah sahabat karib Raja Inggris James I yang memberikan dua buah meriam besar kepada Sultan Aceh. Kini meriam itu turut mempertahankan istana penggantinya di Sumatera."
Berita-berita ini terus mengisi halaman utama media-media di Eropa dan Amerika. Arus informasi mengenai perang Aceh terus mengalir dari koresponden Reuters William Marshal di Penang yang memperoleh berita dari Stuart Herriot, pedagang asal Scotlandia. Herriot dikenal akrab dengan penduduk pribumi dan menjadi penasehat hukum bila berurusan dengan pengadilan atau orang Eropa. Dia juga menjadi anggota Dewan Kota Penang, dan mendukung sejumlah kegiatan serta kepentingan pribumi Melayu.
Herriot menjadi narasumber penting bagi Marshall dalam urusan orang pribumi Melayu dan Aceh. Keduanya dikenal sebagai anti Belanda, pro Melayu, menentang campur tangan Inggris terhadap negeri-negeri Melayu. Mereka tidak senang kepada Gubernur Harry Ord yang terlalu berpihak kepada Belanda dan membiarkan Aceh diserbu hingga merusak perdagangan bebas di Selat Malaka.
Pemberitaan itu sempat memaksa Perdana Menteri William Ewart Gladstone dan Menteri Luar Negeri George Granville untuk mempertimbangkan kembali sikap Inggris mengenai ekspansi Belanda terhadap Aceh. Namun, Den Haag tetap berharap sikap toleran dari London mengenai aksinya di Aceh, setelah keduanya mengikat perjanjian Persahabatan 1871.
Menteri Luar Negeri Belanda Gericke van Herwijnen menginstruksikan kepada Duta Besar Charles van Bijlandt di London untuk mendekati dan meyakinkan pemerintah Inggris agar selalu memperoleh dukungan. Negara kincir angin ini memerlukan peran serta Inggris untuk mengantisipasi tekanan internasional dari Amerika dan negeri-negeri Eropa lainnya.
Dukungan Inggris terhadap Belanda itu membuat mayoritas pedagang Inggris di Singapura membenci pemerintahannya sendiri. Menurut mereka kebijakan yang diambil pimpinan negaranya telah merugikan pedagang Inggris. Opini publik yang menjatuhkan kredibilitas penguasa Inggris kian hari semakin deras akibat perang Aceh. Mereka mencela kebijakan pemerintahan yang hanya berpangku tangan membiarkan Belanda melakukan agresi di Sumatera dan Aceh.
Hal itu mendapat perhatian konservatif pimpinan Perdana Menteri William Gladstone yang mengkhawatirkan bisa mempengaruhi citra kepemimpinannya. Akhirnya pemerintah Inggris menekan pemilik Kantor Berita Reuters yaitu Baron Paul Julius von Reuter untuk meredam pemberitaan tentang perang Aceh. Akibatnya berita-berita Aceh mulai hilang di koran-koran Eropa dan sejak Juni 1874, koresponden Reuters Marshall dilarang meliput serta berhubungan dengan orang-orang Aceh.
- See more at: http://www.atjehpost.com/sejarah_read/2013/08/20/63176/0/39/Perang-Atjeh-dan-cerita-Reuters#sthash.QJQlDTwp.dpuf

Monday, March 25, 2013

YM Malek Mahmud : No more conflic and I still in NKRI


Banda Aceh |  “Banyak putra-putra terbaik Aceh dengan tekad merdeka atau syahid yang begabung di bawah komando GAM pada saat itu dan setelah damai GAM mendirikan partai politik sebagai kelanjutan alat perjuangan dengan doktrin Meukuta Alam Al-Asyi.”

Demikian kenang Ketua Majelis Tuha Peuet Partai Aceh, Malek Mahmud, pada pelantikan pengurus DPA Partai Aceh kemarin, Minggu (24/3/2013) di Taman Ratu Safiatuddin, Banda Aceh.
Selain itu, ia juga menghimbau seluruh kader untuk menguatkan PA sebagai alat politik demi memperjuangkan cita-cita rakyat Aceh mengingat PA adalah partai yang lahir dari air mata, keringat dan darah rakyat Aceh.
 
Tak hanya kepada kader PA, Malek Mahmud juga mengajak masyarakat Aceh untuk bahu membahu perkuat Aceh agar tetap satu, saling bersaudara dan menguatkan ulama serta umara dalam ukhuwah Islamiah demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Aceh.
Malek juga mengakui bahwa paska MoU Helsinki memang masih banyak hak-hak keluarga syuhada yang berjuang untuk Aceh selama ini belum sepenuhnya terperhatikan oleh PA sendiri khususnya, namun perhatian ke arah sana tetaplah menjadi prioritas bagi PA.

Malek menambahkan bahwa wilayah Aceh terhampar dari Sabang hingga Singkil, termasuk di dalamnya Gayo dan Tamiang serta pulau-pulau lainnya.” Itu sesuai dengan peta nasional,” tegasnya.
Mengenai Bendera dan Lambang yang baru saja disahkan oleh DPRA, Malek Mahmud merasa sedih ketika kedua identitas Aceh tersebut dipersoalkan oleh pihak pusat.

Menurutnya, bendera adalah lambang perdamaian Aceh dengan NKRI. “Dimana-mana nantinya akan bersanding pengibarannya (dengan bendera merah putih-red). Dulu bendera merah putih dibawa lari saat daerah lain dijajah, tapi tidak di Aceh dan Aceh adalah de facto Indonesia saat daerah lain sudah direbut Belanda,” paparnya.

Selanjutnya menurut Malek Mahmud, lambang dan bendera adalah hak dan kebanggaan rakyat Aceh dan Aceh meminta hal itu tidaklah harus dipersoalkan. “No more conflic and I still in NKRI,” ungkapnya meyakinkan pemerintah pusat.

Sebelumnya Malek Mahmud menyatakan bahwa Sunarko selaku Dewan Penasehat DPP Partai Gerindra sudah dianggap sebagai anak Aceh dan untuk memperjuangkan lambang dan bendera di tingkat pusat sudah sangat layak berada di tangan Sunarko. “Itu tugas Pak Sunarko untuk melobi pihak pusat yang belum mengerti arti sejarah,” ujar Malek di akhir sambutannya.


Sumber : Atjeh Link

Bendera Aceh Tetap Berkibar

 
Seorang warga menghormat Bendera Aceh yang dinaikkan di kawasan Ujong Blang, Kecamatan Banda Sakti
* Warga Cegah Upaya Penurunan

LHOKSEUMAWE | Lokasi pengibaran bendera bintang bulan di wilayah utara Aceh, meliputi Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe dilaporkan terus bertambah bahkan sempat terjadi pelarangan dari warga saat aparat akan menurunkan bendera tersebut. Di Nagan Raya, bendera merah dengan les hitam itu juga sempat berkibar selama lima jam, namun akhirnya diturunkan oleh pihak keamanan.

Dari Aceh Utara dilaporkan, pengibaran bendera Aceh di Jalan Nasional Banda Aceh-Medan, tepatnya di Keude Geudong, Kecamatan Samudera, Aceh Utara menarik perhatian masyarakat. Pasalnya, bendera yang dinaikkan sejak Sabtu (23/3) tersebut sempat berusaha diturunkan oleh aparat TNI/Polri pada pukul 13.30 WIB, kemarin. Namun, upaya menurunkan bendera bintang bulan tersebut dengan galah gagal karena dicegah warga. Akibatnya, hingga tadi malam bendera yang berkibar di Keude Geudong itu masih tetap di ujung tiang, termasuk di beberapa titik lainnya.

Menurut laporan, aparat TNI/Polri tiba di Keude Geudong sekitar pukul 13.00 WIB dengan mobil patroli polisi dan sepeda motor. Setiba di lokasi mereka menurunkan spanduk bergambar bendera Aceh dan lambang daerah. Juga foto anggota DPRK Aceh Utara, Azhari Cage dan Ketua KPA Wilayah Pase, Tgk Zulkarnaini Hamzah. Aparat bersenjata terlihat siaga ketika proses penurunan spanduk tersebut dilakukan.

Kalimat yang tertera di spanduk itu, “Kruue seumangat, selamat kami ucapkan kepada DPRA dan Gubernur Aceh yang telah bekerja sama mengesahkan Qanun Bendera Aceh dan Lambang Aceh berasaskan MoU Helsinki poin 1.1.5”.

Ketika aparat hendak menurunkan bendera Aceh, ternyata upaya itu dicegah sejumlah warga. Warga dan Pengurus Partai Aceh (PA) Ranting Geudong berharap, kalau petugas menurunkan bendera itu supaya tidak memotong tiang dan tidak merusak bendera. Karena ada saran seperti itu, akhirnya aparat membatalkan menurunkan bendera. Bahkan, sejumlah warga terlihat memasang kembali spanduk yang sempat diturunkan aparat.

Hingga pukul 22.00 WIB tadi malam, lokasi-lokasi di Aceh Utara yang masih berkibar bendera Aceh antara lain di Keude Geudong, Kecamatan Samudera, Desa Bluek, Kecamatan Meurah Mulia, Jalan Line Pipa, Desa Tanjong Mesjid, Kecamatan Samudera, Desa Simpang Raya, Kecamatan Nibong, dan di Keudee Simpang Mulieng, Kecamatan Syamtalira Aron.

Laporan lain yang diterima Serambi, hingga tadi malam, ada sejumlah lokasi di Aceh Utara yang sudah diturunkan bendera bergambar bintang bulan tersebut, yaitu di Teupin Jok, Kecamatan Nibong dan di atap Sekretariat Dewan Pimpinan Sagoe (DPS) Partai Aceh (PA) Meurah Mulia di Desa Keude Karieng. Bahkan dinding Sekretariat DPS PA itu, yang bergambar bendera juga telah ditutup pada bagian gambar bintang dan bulan dengan menggunakan kertas karton.

Ketua DPS PA Geudong, Zulkifli kepada Serambi mengatakan, pihaknya tidak pernah menyuruh warga menaikkan bendera itu dan tidak mengetahui siapa yang menaikkan. “Jika aparat hendak menurunkan kami juga tidak melarangnya, tapi kami minta supaya bendera itu jangan sampai rusak dan tidak memotong tiangnya jika harus diturunkan,” kata Zulkifli.

Zulkifli membenarkan, spanduk yang sempat diturunkan di Keude Geudong sudah mendapat persetujuan bisa dinaikkan kembali. Laporan lain dari Aceh Utara menyebutkan, di Kecamatan Tanah Jambo Aye, bendera Aceh dikibarkan di Desa Matang Maneh (di dua titik di atas pohon). Bendera itu terlihat berkibar sekitar pukul 10.00 WIB, kemudian diturunkan oleh aparat kepolisian di Tanah Jambo Aye setelah memberikan arahan kepada masyarakat. Bendera yang sudah diturunkan itu diserahkan kepada warga.

“Masyarakat langsung bereaksi dengan mengibarkan bendera Aceh setelah membaca di media bahwa DPRA telah mensahkan qanun tentang bendera dan lambang daerah Aceh,” kata Ketua KPA Pase, Tgk Zulkarnaini Hamzah.

Dari Lhokseumawe dilaporkan, pada Minggu kemarin sedikitnya ada 10 bendera Aceh yang dikibarkan masyarakat di Desa Ujong Blang, Kecamatan Banda Sakti. Bendera bintang bulan itu dikibarkan sekitar pukul 08.00 WIB di depan rumah penduduk, dan sempat terlihat di ujung tiang hingga pukul 14.00 WIB kemarin, sebelum akhirnya diturunkan.

Bendera Aceh dilaporkan sempat pula berkibar di wilayah Nagan Raya sejak Sabtu (23/3) pukul 19.00 WIB hingga Minggu (24/3) dini hari. Namun, pihak kepolisian setempat enggan memberikan konfirmasi terkait pengibaran bendera bintang bulan tersebut.

Informasi yang dihimpun Serambi, titik awal pengibaran bendera Aceh itu masing-masing di Tugu Desa Simpang Peut, Kecamatan Kuala diikatkan pada tiang dan di atas Pos Kamling Desa Ujong Pasie, Kecamatan Kuala diikatkan pada tiang bendera.

Dandim 0116 Nagan Raya, Letkol Inf Yunardi yang dikonfirmasi Serambi Minggu (24/3) melalui ponselnya membenarkan pihaknya bersama aparat Polsek Kuala telah menurunkan bendera berlambang bulan bintang di dua titik di Kecamatan Kuala.

Menurut Letkol Yunardi, penurunan bendera berlambang bintang bulan itu dilakukan pihaknya setelah melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian untuk dilakukan langkah dan penanganan secara persuasif di lapangan guna menghindari hal-hal yang tak diinginkan.(c37/ib/edi)

Gubernur: Jangan Kibarkan Dulu

GUBERNUR Aceh, dr Zaini Abdullah mengimbau masyarakat Aceh agar bersabar dulu untuk mengibarkan bendera bintang bulan. Menurut Gubernur Aceh, meskipun Rancangan Qanun (Raqan) Bendera Aceh dan Lambang Daerah sudah disahkan menjadi qanun oleh DPRA, namun untuk sementara waktu jangan dikibarkan dulu sebab belum dimasukkan dalam lembaran daerah.

“Saya minta bersabar dulu. Sudah ada yang mengibarkan di daerah-daerah, seperti di Lhokseumawe. Karena hal itu belum masuk lembaran daerah, maka bersabar sebentar,” imbau Gubernur Zaini Abdullah ketika berpidato pada pelantikan Pengurus Dewan Pimpinan Aceh (DPA) Partai Aceh (PA) periode 2013-2018 di Taman Ratu Safiatuddin, Lampriek, Banda Aceh, Minggu (24/3).

Dijelaskan Zaini, sebuah qanun yang telah disahkan DPRA tidak terus bisa diberlakukan, karena ada tahapan yang harus dilalui lagi, seperti harus masuk dulu dalam lembaran daerah. “Kalau belum masuk dalam lembaran daerah, maka qanun tersebut belum boleh diberlakukan. Itu ketentuan yang harus ditaati,” tandasnya.

Zaini menyatakan tidak lama lagi qanun (tentang bendera) sudah bisa diberlakukan. “Saya harapkan untuk itu kita bersabar sebentar,” ujarnya.

Zaini juga mengatakan, tiga raqan yang telah disahkan menjadi qanun oleh DPRA, yaitu Qanun Wali Nanggroe, Lambang Daerah dan Bendera Aceh merupakan hal yang cukup monumental. “Tentunya kita patut memberi aspresiasi pada dewan. Semuanya realisasi dari MoU Helsinki,” katanya.

Khusus kepada Pengurus DPA-PA, Zaini berharap dapat berbuat lebih baik lagi ke depan. “Tantangan untuk sebuah perjuangan masih panjang yang membentang di depan dalam mewujudkan Aceh lebih baik,” demikian Zaini Abdullah.

Sumber : Serambinews

Ratusan Warga Pasee Konvoi dan Kibarkan Bendera Aceh


Lhoksukon | Ratusan masyarakat Wilayah Pase Kabupaten Aceh Utara , saat ini, Senin (25/03/2013), melakukan konvoi damai pengibaran bendera Aceh yang berlambang bulan dan bintang. Konvoi dilaksanakan dengan cara menggunakan sepeda motor dan mobil, yang melintasi jalan nasional Banda Aceh-Medan, mulai dari Lhokseumawe hingga Panton Labu.

Amatan The Globe Journal, dalam melaksanakan konvoi pengibaran bendera itu, tidak satupun terlihat adanya pihak aparat TNI maupun Polri yang menjaga arus lalulintas. Hanya saja yang terlihat ratusan masyarakat yang menyaksikan konvoi itu dari pinggiran jalan. Bahkan, masyarakat yang menyaksikan konvoi itu menyambut hangat kedatangan para konvoi pengibaran bendera.

Ratusan masyarakat yang tidak menamakan pihak manapun itu berkonvoi sambil mengibarkan dan memasang bendera bulan bintang di kendaraan. 
Kepada The Globe Journal, beberapa masyarakat yang ikut konvoi itu mengatakan, bahwa konvoi ini dilakukan tanpa dikomando oleh siapapun. “Ini atas kebanggaan kami terhadap pemerintah yang telah mengesahkan qanun bendera Aceh. Maka kita lakukan konvoi damai ini sambil mengibarkan bendera kebanggaan kita yang telah lama kita harapkan,” ujar beberapa masyarakat yang ikut berkonvoi.

Saat ini, warga yang mengikuti konvoi tersebut sedang menunaikan ibadah Shalat Maghrib. Usai shalat, mereka mengaku akan melanjutkan konvoi tersebut ke wilayah Aceh Utara-Lhokseumawe. 
 
 
Sumber : The Globe Journal / The Atjeh Post

Saturday, March 23, 2013

Bendera Dan Lambang Aceh Sebagai Identitas

Bendera dan Lambang Aceh
Banda Aceh | Pro dan Kontra yang selama ini terjadi semenjak DPRA mengajukan Rancangan Qanun Tentang Bendera dan Lambang Aceh diharapkan dapat berakhir dan diganti dengan semangat untuk terus menjaga perdamaian dan semangat untuk membangun Aceh ke arah yang lebih baik.
Hal demikian disampaikan secara tertulis oleh ketua Komite Pemuda Koetaradja (KPK), Lazuardi, Sabtu (23/3/2013).

Raqan Tentang Bendera dan lambang sudah disahkan di Gedung DPRA. Menurutnya ini menjadi awal kepada seluruh masyarakat Aceh untuk semakin menyatukan gagasan dan langkah serta semangat membangun Aceh yang terus menjaga perdamaian. Sahnya Qanun  bendera dan lambang semakin jelas bahwa Aceh memiliki otonomi khusus  yang berdaulat dalam  mengatur wilayah sendiri baik di bidang ekonomi, politik, pendidikan dan hal-hal lain yang disepakati dan diatur dalam Undang-Undang no 11 tahun 2006 tentang pemerintah Aceh diluar kewenangan pemerintah pusat.

"Kami menyadari bahwa Bendera dan Lambang merupakan suatu hal yang penting untuk menyatakan  identitas ke Acehan bagi masyarakat Aceh dan sebagai bentuk pemersatu masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh patut bersuka cita dan bangga atas pengesahan Qanun ini karena kita (Aceh) adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang berani menyatakan sikap secara gamblang mengenai identitas wilayahnya yang tertuang dalam wujud simbol Bendera dan Lambang. Ini juga merupakan buah perjuangan panjang masyarakat Aceh selama bertahun-tahun,"ujarnya panjang lebar.

Terlepas dari pro dan kontra pengesahan Qanun bendera dan lambang, Komite Pemuda Koetaradja (KPK) menyadari bahwa merealisasikan salah satu butir amanah yang tercantum dalam MoU Helsinki bukanlah kerja yang mudah dan tanpa hambatan. Maka dari itu mereka memberi apresiasi yang sangat besar kepada seluruh pihak yang terlibat dalam mendorong disahkannya Raqan bendera dan lambang tersebut.

Komite Pemuda Koetaradja juga menghimbau kepada seluruh masyarakat Aceh agar dapat terus menjaga perdamaian dan terus mendukung kerja-kerja pemerintah Aceh dibawah kepemimpinan Doto Zaini – Mualem dalam mendorong terealisasinya amanah MoU Helsinki dan UUPA. "Kami juga berharap semua visi dan misi  dapat benar-benar direalisasikan dan juga segera menyelesaikan tugas-tugas yang belum selesai demi kemajuan rakyat Aceh seperti PP, Perpres, Qanun, dan hal-hal lain dalam UUPA." tutupnya.


Lambang Buraq-Singa Akan Gantikan Pancacita

Lambang Pancacita dan Buraq-Singa
Banda Aceh | Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) telah mengesahkan Rancangan Qanun (Raqan) tentang Bendera dan Lambang Aceh. Artinya lambang Buraq akan segera menghiasi setiap sudut ruang perkantoran di Aceh.

Sedangkan lambang Pancacita yang kerap dikenakan di lengan baju Pegawai Negeri Sipil (PNS) selama ini akan segera ditanggalkan.
Hal ini mengingat, setelah qanun Lambang dan Bendera telah disahkan. Maka, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1991 tentang keistimewaan Aceh dengan lambang Pancacita secara otomatis telah batal demi hukum.

Demikian halnya juga dengan Bendera di Aceh. Selama ini setiap perkantoran hanya menaikkan bendera Merah Putih. Sebentar lagi akan ada dua bendera secara berdampingan dikibarkan di perkantoran Pemerintah setiap harinya dari pagi sampai sore.

"Mulai saat ini Undang-undang Nomor 39 Tahun 1991 tentang lambang Aceh Pancacita akan dicabut, digantikan dengan lambang Aceh yaitu Buraq," kata Gubernur Aceh, Zaini Abdullah Jumat malam (22/3/2013) pada sidang penutupan pengesahan 3 Raqan.

Kata Zaini Abdullah, lahirnya Lambang dan Bendera Aceh tersebut merupakan simbul pemersatu rakyat Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Tegasnya kembali, qanun Lambang dan Bendera tersebut memang sudah menjadi dambaan seluruh rakyat Aceh selama ini. Karena memang menjadi manifestasi keberagaman kebudayaan yang dimiliki rakyat Aceh saat ini.

"Hal yang lebih penting juga adalah dengan lahirnya qanun lambang dan bendera bisa terus meningkatkan kesejahteraan rakyat," imbuhnya.

Friday, March 22, 2013

Aceh Gandeng TNI Angkatan Udara

Gubernur Aceh Zaini Abdullah disaksikan Wali Nanggroe Malik Mahmud menyerahkan cinderamata kepada Kepala Staf TNI AU Marskel TNI Ida Bagus Putu Dunia, di Mabesau, Cilangkap, Jakarta, Kamis (21/3).
 * Bangun Pendidikan Kedirgantaraan

JAKARTA | Pemerintah Aceh mengajak  Markas Besar TNI Angkatan Udara (Mabes AU)  membangun pendidikan kedirgantaraan di Aceh. Ajakan tersebut diutarakan Gubernur dr Zaini Abdullah dalam pertemuan dengan Kepala Staf TNI AU (KASAU) Marskal TNI Ida Bagus Putu Dunia, di Mabes TNI AU, Cilangkap, Jakarta Timur, Kamis (21/3).

Pemerintah Aceh saat ini sedang menyiapkan pembangunan Kampus Dirgantara Aceh di Kawasan Aceh Besar. Kampus tersebut, kata gubernur, mengintegrasikan sekolah menengah kejuruan (SMK) Penerbangan, Sekolah Pilot, dan Institute Aeronautica.

“Untuk mewujudkan pendidikan kedirgantaraan itu, kami membutuhkan kerja sama dengan TNI AU,” kata Gubernur. Kelak, Pemerintah Aceh juga akan  mengembangkan industri penerbangan yang dinilai sangat prosfektus secara ekonomi.

KASAU  Marskal TNI Ida Bagus Putu Dunia menyambut baik gagasan pembangunan pendidikan kedirgantaraan Aceh. “Kami setuju dengan rencana kerja sama ini,” kata Ida Bagus yang pernah bertugas di Aceh. Pertemuan itu juga dihadiri Wali Nanggroe Malik Mahmud, dan Kepala Lembaga Dirgantara Aceh Marsda TNI Purn. HT. Syahril.

Pada hari yang sama, bertempat di Mess Aceh, Gubernur Zaini Abdullah dan Wali Nanggroe Malik Mahmud bertemu dengan 10 mahasiswa Aceh yang menempuh pendidikan manajemen transportasi udara di Sekolah Tinggi Penerbangan Aviasi Jakarta. “Kami adalah angkatan II dari Aceh. Kami semua akan diwisuda pada Oktober nanti,” kata M Ilham, mahasiswa asal Banda Aceh.

Gubernur Zaini dan Wali Nanggroe Malik Mahmud menyebutkan bahwa masa depan kedirgantaraan Aceh ada pada mereka. Gubernur mempersilakan mereka melanjutkan pendidikan ke jenjang S1. “Tapi nanti kalau dibutuhkan, Pemerintah Aceh akan memanggil kalian untuk pulang membangun Aceh,” ujar Gubernur.

Kepala Lembaga Dirgantara Aceh Marsda TNI Purn. HT. Syahril, mengatakan, mahasiswa penerbangan asal Aceh itu nanti akan dipekerjakan di banda-bandara di Aceh dan menjadi tenaga pengajar di Kampus Dirgantara Aceh.(fik)

Kontrol Udara Seharusnya di Aceh

WALI Nanggroe Malik Mahmud mengusulkan kepada KASAU untuk melakukan kontrol udara dari Aceh, sebagai kawasan yang sangat starategis karena langsung berhubungan dengan negara luar. “Seharusnya kontrol udara ada di Aceh, bukan di Singapura dan Malaysia,” katanya.

Malik Mahmud juga menyampaikan agar dibangun pangkalan penyelamatan di Lhokseumawe apabila sewaktu-waktu terjadi musibah kapal tanker di Selat Malaka.

“Mudah-mudahan tidak ada kecelakaan tanker di sana, tapi kalau terjadi maka bantuan yang paling mudah adalah dari Lhokseumawe,” kata Malik Mahmud yang baru kembali dari Yogyakarta bertemu Sultan Hamengkubuwono X dan meninjau sekolah penerbangan di Yogyakarta.


Sumber : Serambinews

Tuesday, February 5, 2013

Empat Duta Besar Eropa Utara Harapkan Perdamaian Aceh Terus Berlanjut

Gubernur Zaini Abdullah didampingi Pemangku Wali Nanggroe Malek Mahmud melakukan pertemuan dengan Duta Besar Norwegia, Swedia, Finlandia dan Denmark di Pendopo Gubernur, Senin (4/2).
Banda Aceh | Duta Besar (Dubes) dari empat negara Eropa Utara atau Skandinavia untuk Indonesia masing-masing Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia, melakukan kunjungan kerja selama dua hari ke Provinsi Aceh, mulai Senin (4/2).
Mereka melakukan pertemuan dengan Gubernur Zaini Abdullah serta para Kepala Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) guna membicarakan perkembangan situasi politik dan ekonomi terkini di wilayah provinsi paling ujung barat Indonesia itu.

Keempat Duta Besar tersebut adalah Kai Jurgen Mikael Sauer dari Finlandia, Martin Bille Hermann (Denmark), Ewa Ulrika Polano (Swedia) dan Stig Traavik dari Norwegia. Setiba di Banda Aceh pukul 11.00 Wib kemarin, para Dubes segera meninjau situs tsunami, termasuk Kapal PLTD Apung di Punge Blang Cut.

Selanjutnya, sekitar pukul 14.30 Wib melakukan pertemuan dengan Gubernur Zaini Abdullah di Pendopo Gubernur Aceh. Turut hadir Pemangku Wali Nanggroe, Malek Mahmud dan Ketua Komisi A DPRA, Adnan Beuransah.

Duta Besar Norwegia untuk Indonesia, Stig Traavik menyatakan, negaranya berkeinginan mengikat kerjasama dengan Pemerintah Aceh di bidang kelautan, minyak dan gas, terutama dalam menyusun manajemen pengelolaannya.

Menurutnya, berbagai potensi kekayaan alam yang ada di Aceh saat ini harus memberikan banyak kontribusi bagi pembangunan daerah. Stig Traavik berharap agar perempuan dilibatkan dalam pembangunan Aceh ke depan.

Ia mencontohkan, Norwegia menjadi negara yang kaya dan maju karena sebagian wanita di negara itu bekerja. "Demikian juga Aceh diharapkan juga bisa melibatkan wanita dalam setiap program pembangunan," harapnya.

Duta Besar Finlandia untuk Indonesia, Kai Jurgen Mikael Sauer, mewakili keempat Dubes negara-negara Skandinavia yang hadir, sangat berharap agar perdamaian Aceh dapat terus berlanjut ke depan, sejak dirintis mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisari lewat MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005 lalu.

Ia juga mempertanyakan tentang peran pemerintah dalam menjaga lingkungan hidup di Aceh. Selain masalah lingkungan, Kai Jurgen menanyakan beberapa hal lainnya terkait kondisi kekinian di Aceh. Di antaranya, perkembangan ekonomi pasca rehabilitasi dan rekonstruksi setelah bencana tsunami.

Kai Jurgen memberi apresiasi keberhasilan pembangunan di Aceh pasca bencana tersebut dan menyatakan keinginan mempelajari perkembangan ekonomi di Aceh. "Saya berharap adanya pemanfaatan yang optimal terhadap Sumber Daya Alam (SDA). Karena Aceh memiliki SDA yang melimpah dan jika dimanfaatkan dengan baik, maka akan ada hasil yang optimal untuk menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh yang lebih baik," sebutnya.

Selanjutnya, diharapkan Aceh bisa menjaga dan mewariskan ragam kebudayaan yang dimiliki sebagai identitas daerah. "Pemerintah Aceh harus bisa menjaga kebudayaan dan terus ditumbuhkembangkan," ujarnya.

Sementara Gubernur Aceh, Zaini Abdullah menyampaikan terima kasih kepada negara-negara tersebut karena telah terlibat langsung dalam rehabilitasi dan rekonstruksi pascatsunami.

Menurut gubernur, setelah penandatanganan MoU Helsinki, Aceh telah mengalami perubahan cukup baik. Begitu juga dengan faktor keamanan. "Dengan perdamaian yang berlaku di Aceh, telah membuat Aceh bangkit," katanya.

Zaini juga mengatakan, penting membangun hubungan jangka panjang dengan semua pihak agar pembangunan Aceh berjalan dengan baik. Pada kesempatan itu, Gubernur Zaini menyampaikan beberapa hal yang terus didorong di dalam pembangunan Aceh. Di antaranya menyangkut lingkungan, kesejahteraan dan infrastruktur lainnya. "Kami akan terus menjalin hubungan kerjasama dalam membangun Aceh dengan negara Skandinavia," jelasnya.

Kempat Dubes rencananya juga bertemu dengan NGO dan jajaran Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Aceh. Jamuan makan malam digelar di Meuligoe Gubernur dihadiri Pangdam Iskandar Muda, Kapolda Aceh, Kajati Aceh dan Ketua Pengadilan Tinggi Aceh. (mhd)
Sumber : Analisa Daily

Tuesday, January 1, 2013

Surat Sultan Iskandar Muda Untuk Raja Perancis


Kamis, 27 Desember 2012, masyarakat Aceh memperingati Haul Sultan Iskandar Muda ke-376. Banyak kisah kejayaan yang dicatat pada masa ia memerintah. Namun, pewarisnya juga meminta sejarah diluruskan.
_________________________________________________________________________________
Puluhan pria memakai baju putih duduk melingkari makam Sultan Iskandar Muda di Gedung Juang, Banda Aceh, Kamis 27 Desember 2012.  Beberapa di antaranya memakai baju kemeja berwarna sembarang. Mereka terlihat khusyuk merapal kalam ilahi melalui samadiah memperingati Haul Sultan Iskandar Muda ke-376.
Samadiah dimulai dan dipimpin oleh Teungku Muhammad Rizal dari Pesantren Ulee Titi Lambaro, Aceh Besar, pada pukul 10.35 WIB. Terlihat di antara peserta samadiah ini Tuanku Raja Yusuf keturunan Sultan Alaidin Daod Syah, Raja Ubit Ashabul Yamin Panglima Polem dari generasi Raja Pakeh, Said Muslem al Bahsin cucu Mufti Kerajaan Aceh. Selain itu, juga ada perwakilan dari Disbudpar Aceh dan Disbudpar Kota Banda Aceh.
Sultan Iskandar Muda mangkat pada 29 Rajab 1046 H atau 27 Desember 1636. Sultan merupakan salah satu Raja Aceh yang berhasil mengembangkan dan memperluas wilayah kekuasaan Aceh hingga ke Malaysia dan Sumatera Utara, serta Sumatera Barat.
Wilayah kekuasaan Iskandar Muda ini dapat diketahui melalui isi surat Sultan Iskandar Muda kepada Raja Louis XIII dari Perancis. Surat ini dilampirkan oleh Denys Lombard dalam bukunya Kerajaan Aceh (Zaman Sultan Iskandar Muda 1607-1636).

Lettre du grand Siri Sultan, vainqueur et conquesteur avee Paide de Dieu, de Plusieurs Royaumes, Roy d’Achen et par la faveur de Dieu, de toutes les terres qui en sont au levant et au couchant. Du levant, le Royaume, terres et seigneuries de Deli; le Royaume de Ior avec ses terres et seigneuries; le Royaume de Paham, le Royaume de Queda et le Royaume de Pera avec leurs terres et seigneuries. Du couchant, le Royaume et territoire de Priaman, le Royaume et territoire de Ticou; le Royaume et territoire de Passaman.”

 















(Surat dari Sri Sultan yang agung, yang berkat bantuan Allah telah menaklukkan dan menundukkan beberapa kerajaan, Raja Aceh dan, dengan rahmat Allah, Raja semua tanah di masyrik dan maghrib. Di masyrik, kerajaan, daerah dan tanah-tanah Deli; Kerajaan Johor beserta daerah dan tanah-tanahnya; Kerajaan Pahang, Kerajaan Kedah dan Kerajaan Perak bersama daerah dan tanah-tanahnya. Di maghrib, Kerajaan dan wilayah Priaman, Kerajaan dan Wilayah Tiku; Kerajaan dan Wilayah Pasaman.)

Berdasarkan rujukan dari berbagai penziarah dan pedagang asing, masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda penuh kejayaan. Ketika itu, Aceh memiliki mata uang terbuat dari emas kendati bentuknya masih kasar. Selain itu, Aceh juga memiliki armada laut yang galias-nya (kapal) berukuran besar. Bahkan ada satu di antaranya, tercatat sebagai galias terbesar yang dinamakan Espanto del Mundo atau Cakra Donya (terror dunia). Hal tersebut diceritakan Faria y Sousa, salah satu armada Portugis yang ikut dalam peperangan saat menghadapi galias terbesar itu.

Masa Sultan Iskandar Muda juga dikabarkan mempunyai sejumlah kebudayaan, seperti Masjid Raya Baiturrahman, Istana Darud Dunia, Gunongan, hikayat Aceh, dan karya sufi. Di masa Iskandar Muda juga telah berkembang tari-tarian yang disuguhkan kepada tamu asing, seperti kisah Kapten Jenderal Beaulieu dari Kerajaan Perancis.
Sultan Iskandar Muda juga memiliki angkatan perang yang kuat. Selain armada laut dengan pasukan maritim-nya yang terkenal di Selat Malaka, Sultan Iskandar Muda juga memiliki kavaleri gajah. Dia juga memiliki pasukan khusus yang ditakuti dan selalu berlatih istinggar di istana. Istinggar adalah senapan sundut (membunyikannya dengan disulut).
***
Dari pihak leluhur ibu, Iskandar Muda keturunan Raja Darul Kamal, sedangkan dari pihak leluhur ayah merupakan keturunan keluarga Raja Mahkota Alam. Ibunya bernama Putri Raja Indra Bangsa, yang juga dinamai Paduka Syah Alam. Indra Bangsa anak Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10.
Seperti dikutip buku Singa Atjeh (Biographi Seri Sulthan Iskandar Muda) yang ditulis H.M. Zainuddin, Sultan lskandar Muda lahir pada 1593. Pada masa bayinya, ia sering disebut Tun Pangkat Darma Wangsa.
Iskandar Muda dibesarkan dalam lingkungan keluarga istana. Sejak kecil, ia telah mengetahui seluk-beluk kehidupan adat dan tata krama dalam istana, seperti tentang sopan santun antaranggota keluarga raja, dan etika dalam urusan penyambutan tamu.
 
















Sejak usia empat tahun, Iskandar kecil telah diajarkan berbagai ilmu pengetahuan, khususnya agama. Ia diajarkan langsung oleh seorang ulama. Selain dia, juga diikutsertakan teman-temannya yang lain untuk belajar bersamanya.
Ketika usianya mencapai balig, ayahnya menyerahkan Iskandar Muda bersama beberapa orang budak pengiringnya kepada Teungku di Bitai.
Semenjak Sultan Alaudin Riayat Syah kakek Sultan Iskandar Muda mangkat, suasana kerajaan Aceh mengalami konflik perebutan tahta. Anak-anak sultan ini saling melancarkan serangan, bahkan melupakan posisi Sultan Iskandar Muda.
Kemudian, pada masa-masa Iskandar telah mampu berpikir dan bermain dalam percaturan politik di Aceh ketika itu, pamannya Ali Riayat Syah yang berhasil merebut kekuasaan terpaksa menyerahkan tampuk pimpinan pada keponakannya, seorang cucu yang paling disayang oleh Alauddin Riayat Syah. Sejak saat itu, tampuk kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam berada di tangan Iskandar Muda yang berusia 24 tahun.
Sultan Iskandar Muda menjadi raja pada awal April 1607. Ia lalu menikah dengan putri Kesultanan Pahang, yang kemudian dijuluki dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang sultan pada istrinya, ia memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai tanda cintanya.
Kabarnya, sang putri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu, sultan membangun Gunongan untuk mengobati rindu sang putri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.
Sultan Iskandar Muda mangkat pada 29 Rajab 1046 H atau 27 Desember 1636. Dia kemudian digantikan Sultan Iskandar Tsani, suami Putri Tajul Alam. Iskandar Tsani merupakan anak pungut Sultan Iskandar Muda dari Kerajaan Johor.
***
Usai mengikuti samadiah, Raja Ubit cucu Sultan Iskandar Muda generasi ke-13 mengharapkan agar sejarah Aceh diluruskan. Hal tersebut disampaikannya kepada The Atjeh Times pada Kamis 27 Desember 2012.
Menurutnya, ada beberapa sejarah mengenai kesultanan Aceh yang tidak benar. Namun, dirinya tidak mengatakan akurasi ketidakbenaran tersebut.
"Informasi yang beredar tentang silsilah Kerajaan Aceh masih samar, perlu ada pelurusan sejarah," kata cicit Iskandar Muda itu. Dia menjelaskan saat ini masih menyimpan bukti warisan Kerajaan Aceh, yaitu rencong pusaka dan cap sikureung. “Ini merupakan bukti pewarisan tahta Kerajaan Aceh,” kata dia.


Source : The Atjeh Post / The Atjeh Times

Tuesday, December 4, 2012

Jusuf Kalla : Bendera Aceh Tak Perlu Mirip GAM


Jakarta | Mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, mengingatkan agar bendera dan lambang daerah Aceh harus benar-benar mewakili sejarah dan kultur daerah itu. "Tidak perlu sama benar dengan (bendera dan lambang) GAM," kata Ketua Umum Palang Merah Indonesia tersebut.

Menurut Kalla, perjanjian perdamaian Aceh (MoU Helsinki) tidak mengatur bahwa Provinsi Nangroe Aceh Darussalam boleh memiliki bendera dan lambang yang mirip dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

"Di MoU hanya dikatakan bahwa Aceh berhak memiliki lambang daerah dan punya bendera. Itu saja," kata Kalla di Markas Pusat Palang Merah Indonesia (PMI), Jakarta, Senin, 3 Desember 2012.

Menurut Kalla, semangat MoU Helsinki adalah untuk melupakan masa lalu yang kelam di Aceh. Karena itu, penggunaan bendera dan lambang yang mirip GAM disarankan tidak digunakan. "Semangatnya itu," ucap dia. Sementara sejauh ini, ia melanjutkan, penggunaan bendera dan lambang Aceh yang mirip dengan GAM masih sebatas konsep.

Akhir tahun ini, Provinsi Aceh bakal mempunyai bendera dan lambang daerah khusus. Ketentuan soal ini sedang dirumuskan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan akan disahkan dalam bentuk peraturan daerah atau qanun.

Dalam rancangan bendera dan lambang Aceh, simbol yang digunakan amat mirip lambang GAM. UU Keistimewaan Aceh sendiri memang merupakan hasil perundingan damai antara pemerintah Indonesia dan GAM.

Perdamaian yang ditandangani di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005 itu mengakhiri pemberontakan GAM. Sebagai gantinya, GAM dipersilakan membentuk partai politik lokal. Pada Pemilu 2009, partai yang dibentuk GAM, yakni Partai Aceh, meraup suara terbanyak.

Pada pemilihan kepala daerah April 2012 lalu pun, para mantan pejuang GAM meraih mayoritas kursi bupati dan wali kota. Gubernur Aceh sekarang, Zaini Abdullah, adalah mantan juru runding GAM dalam perundingan Helsinki.


Sumber : Tempo

ASNLF Bertanggung Jawab atas Pengibaran Bendera GAM




Lhokseumawe | Seorang pria yang mengaku bernama Abu Sumatera mengkalim dirinya sebagai orang yang bertanggungjawab atas pengibaran bendera bintang bulan saat milad ke 36 Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berlangsung.Lhokseumawe, ON: Seorang pria yang mengaku bernama Abu Sumatera mengkalim dirinya sebagai orang yang bertanggungjawab atas pengibaran bendera bintang bulan saat milad ke 36 Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berlangsung.

Dalam keterangan resmi yang dikirim melalui email kepada wartawan di Aceh, Selasa (04/12/12). Abu Sumatera mengaku sebagai juru bicara Acheh Sumatra National Liberation Front (ASNLF).
 
Dalam keterangan persnya, Abu Sumatera mengaku bertanggung jawab atas pengibaran bendera bintang bulan di seluruh pelosok Aceh. Abu juga menyayangkan sikap aparat kepolisian yang menurunkan bendera tersebut dan mengutuk serdadu Indonesia yang mengejar anggota mereka di wilayah Kota Lhokseumawe dan wilayah-wilayah lain di Aceh pada malam tanggal 4 Desember 2012.
 
Abu Sumatera menambahkan , Mou Helsinki telah batal dengan sendirinyan dikarenakan salah satu pihak yang berunding telah membubarkan diri dengan sukarela dan menggantikan namanya dengan KPA, padahal jelas-jelas dalam acara penandatangan Mou dulunya antara pihak GAM dengan Pihak RI, jadi kalau salah satu pihak telah membubarkan dirinya maka sudah jelas Perjanjian tersebut batal.
 
Menyikapi pernyataan Abu Sumatera itu, juru bicara KPA wilayah Pasee, Nasrullah Dahlawi menjelaskan ,bahwa pelaku penaikan bendera dan yang mengaku bernama Abu Sumatera sebagai juru bicara ASNLF Aceh merupakan provokator dan tidak perlu ditanggapi.Dan merupakan kelompok yang ingin mengacaukan Aceh dan harus dicari oleh aparat keamanan.
Sumber : Obornews

Friday, November 30, 2012

Palestina Setelah Pengakuan PBB


Tepuk tangan meriah dan sorak-sorai langsung terdengar di ruang sidang begitu papan elektronik menunjukkan hasil pemungutan suara dari para delegasi negara anggota Majelis Umum PBB. Papan skor menunjukkan 138 "mendukung," 9 "menolak," dan 41 "abstain", atau tidak memberi dukungan, atau penolakan. Tiga negara lain tidak ikut pemungutan suara.

Hasil itu sudah cukup menggambarkan dukungan mayoritas anggota Majelis Umum PBB soal status Palestina di forum dunia itu, dalam sidang di New York pada Kamis sore waktu setempat (Jumat pagi WIB). Berkat sidang itu, Palestina naik derajat, dari sekadar "entitas pengamat" menjadi "negara pengamat non anggota."

Bagi delegasi Palestina, hasil itu adalah kemenangan bangsa, dan sejarah baru perjuangan mereka. Hasil sidang Majelis Umum itu menyiratkan PBB --yang beranggotakan 193 negara --akhirnya mengakui Palestina sebagai negara berdaulat di tengah perjuangan mereka melawan tekanan Israel, yang telah berlangsung puluhan tahun. 

Persoalan apakah mereka akan menjadi anggota PBB adalah urusan belakangan, yang penting mayoritas negara di dunia sudah mengakui eksistensi Palestina sebagai negara sah.

Tak heran bila Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas, ikut bertepuk tangan dan merangkul para anggota delegasinya di ruang sidang Markas Besar PBB. Pejabat lain mengibarkan bendera Palestina sambil disambut tepuk tangan delegasi negara-negara lain. Keriuhan itu bagaikan menang dari suatu pertandingan.

Suasana sebaliknya melanda meja delegasi Israel, AS, dan negara-negara lain yang tidak mendukung naiknya status Palestina di PBB. Duta Besar Israel, Ron Prosor, dan para stafnya terlihat murung di tengah tepuk tangan para koleganya kepada delegasi Palestina sebelum dia bersalaman dengan Duta Besar AS, Susan Rice.  

Bagi Presiden Abbas, hasil dari sidang Majelis Umum ini merupakan "akta lahir" bagi Negara Palestina. Apalagi akta lahir itu dikeluarkan pada momen cukup istimewa. 

"Hari ini, tepat pada 65 tahun lalu, Sidang Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi 181, yang membelah tanah bersejarah Palestina menjadi dua negara, dan menjadi akta lahir bagi Israel," kata Abbas kepada para hadirin, yang menyambutnya bertepuk tangan sambil berdiri (standing ovation) usai pemungutan suara, yang turut dipantau oleh media massa mancanegara. 

Artinya, pada 29 November 1947, sidang PBB mendukung berdirinya negara zionis Israel. Kini, 65 tahun kemudian pada tanggal sama, Majelis Umum PBB mengakui negara Palestina, walau masih belum berstatus anggota.

Suasana lebih meriah berlangsung di Palestina. Ribuan bendera nasional berkibar. Para warga bersukaria di wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza. Mereka menyalakan kembang api, dan menari di jalanan setelah mendengar hasil sidang di New York, AS. 
     
"Saya tidak bisa menggambarkan perasaan saya saat ini. Mirip bertemu ujung dari suatu terowongan gelap. Dengan diakuinya negara Palestina, kami bersatu sebagai rakyat dan pemimpin," kata seorang warga bernama Laila Jaman di Kota Ramallah, Kamis waktu setempat seperti dilansir CNN.

Di Hebron, Nablus dan Jenin, rakyat Palestina memadati jalan-jalan utama. Banyak juga yang menaiki atap-atap rumah dan balkon mereka, bernyanyi dan berteriak melalui pengeras suara. Mengibarkan bendera Palestina.

Nasser Abdel Hadi, pemilik sebuah restoran terkenal di Ramallah memasak pizza berwarna merah, putih, hijau, dan hitam, warna-warna bendera Palestina. "Apa yang dilakukan Israel dalam 69 tahun terakhir adalah kriminal. Mereka mengambil tanah kami, anak-anak kami dan masa depan kami. Pertarungannya sekarang ada di PBB," kata Hadi seperti dikutip kantor berita Reuters.

Perayaan di Palestina ini diikuti rakyat dari agama apapun, baik Islam maupun Kristen. "Allahu Akbar!" seru para warga di Tepi Barat. "Untuk kali pertama, ada negara yang disebut Palestina, dan telah diakui oleh seluruh dunia," kata Amir Hamdan seperti dikutip laman stasiun berita BBC. "Hari ini, dunia mendengar suara kami," dia menambahkan.  

Di Kota Bethlehem, Gereja Kelahiran (Church of Nativity) membunyikan lonceng memperingati peristiwa kemenangan itu. Ribuan orang di kota ini menyaksikan langsung pidato Abbas di PBB melalui proyektor yang diarahkan ke dinding pembatas dengan Israel.

Di Gaza, gegap gempita yang sama juga terlihat. Untuk menunjukkan dukungan atas upaya Abbas, kelompok Hamas memperbolehkan para pendukung Fatah untuk menggelar perayaan di jalan. Pemimpin Hamas juga secara terbuka mendukung upaya Abbas, yang berasal dari kelompok Fatah.

"Kami mendukung setiap pencapaian politik bagi kepentingan rakyat, demi terbentuknya negara," kata Perdana Menteri Ismail Haniyeh.
 
Pengakuan dari PBB ini tidak hanya disambut suka cita oleh rakyat Palestina saja. Warga dunia pun menyambut baik keputusan ini, termasuk Otoritas Gereja Katolik di Vatikan. Ini menandakan bahwa konflik di Timur Tengah itu bukanlah masalah ideologi apalagi agama, melainkan tragedi kemanusiaan yang telah menimbulkan simpati dunia dari latar belakang apapun.

Itulah sebabnya Vatikan menyambut baik pengakuan implisit PBB bagi kedaulatan negara Palestina dengan mengangkat statusnya sebagai "negara pengamat non anggota." "Paus menyambut baik keputusan Majelis Umum, yang secara mayoritas menyetujui resolusi mengangkat status Otoritas Palestina di PBB dari 'entitas' menjadi 'negara non anggota,'" demikian pernyataan Vatikan seperti dikutip kantor berita Reuters. Vatikan juga mencatat dengan demikian status Palestina di PBB sama dengan mereka, yaitu negara pengamat non anggota. 

Tekan Israel
Dengan status barunya ini, Palestina punya hak menghadiri sidang-sidang PBB. Bahkan, bila diminta, delegasi Palestina bisa menyampaikan pandangannya atas isu apapun. Untuk menjadi negara non-anggota di Majelis Umum tidak perlu melalui voting di Dewan Keamanan yang sudah pasti akan diveto oleh Amerika Serikat. Hal ini pernah dialami Palestina tahun lalu saat berupaya menjadi negara anggota PBB.

"Palestina mulai saat ini akan dianggap sebagai negara, berdasarkan hukum dan hubungan internasional. Tapi tidak bisa menjadi anggota PBB, karena harus melalui voting di Dewan Keamanan," ujar Iain Scobbie, Profesor di Universitas London fakultas Studi Oriental dan Afrika, seperti dikutip stasiun berita CNN.

Scobbie mengatakan, pengakuan kali ini akan membuat daya tawar Palestina terhadap Israel menjadi lebih tinggi. Palestina bisa menjadi anggota dari badan-badan PBB. Selain itu, yang paling ditakutkan Israel, Palestina bisa mengajukan diri menjadi anggota Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).

Dengan keanggotaan di ICC, Palestina bisa mengajukan gugatan terhadap kejahatan Israel di Gaza dan Tepi Barat. Palestina juga bisa menyeret Israel ke ICC atas kejahatan perang. Sebelumnya pada April lalu, ICC menolak permintaan Palestina untuk menyelidiki Perang Gaza tahun 2008-2009 karena tidak dianggap sebagai negara.

"Jika Palestina sukses bergabung dengan ICC, maka akan jadi masalah besar bagi Israel yang melakukan operasi militer di Tepi Barat dan Gaza. Jika ICC mengeluarkan perintah penangkapan, maka warga Israel yang keluar dari negara itu bisa ditangkap," kata Scobbie.

Bagi seorang politisi Palestina, pengakuan di sidang majelis umum PBB ini menjadi ajang perjuangan baru bagi negaranya. Mereka akan memanfaatkan kekuatan diplomasi di forum-forum PBB untuk menekan Israel agar mendapatkan kembali wilayah-wilayah yang dirampas negara zionis itu setelah Perang Enam Hari pada 1967, termasuk Yerusalem Timur. 

"Ini membuka babak permainan baru. Israel akan berhadapan dengan anggota komunitas internasional, negara yang disebut Palestina beserta hak-haknya," kata seorang pejabat Organisasi Pembebasan Palestina, Hanan Ashrawi, kepada stasiun berita BBC. "Kami akan punya akses ke organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga internasional dan kami akan bertindak dari sana," kata Ashrawi.

Inilah yang membuat galau Israel dan sekutu terdekatnya, AS. Tidak heran bila pemerintahan Barack Obama mengancam akan memotong dana bantuan bagi badan PBB yang menerima Palestina sebagai anggota, seperti yang dialami lembaga PBB untuk pendidikan dan kebudayaan (UNESCO) tahun lalu. AS sebagai pendonor terbesar Palestina juga akan memotong bantuannya.

Menurut stasiun berita BBC, Duta Besar Israel untuk PBB, Ron Prosor, mengungkapkan alasan mereka tak mendukung upaya Palestina di PBB. "Satu-satunya cara mencapai damai adalah perjanjian kedua belah pihak (Palestina-Israel), bukan di PBB."

"Tak ada satupun keputusan PBB yang bisa memutuskan ikatan 4.000 tahun antara rakyat Israel dengan tanah Israel."

Kubu penentang hasil voting Majelis Umum PBB tersebut berargumen, Palestina seharusnya mengambil langkah negosiasi bilateral untuk menyelesaikan sengketa batas negara dengan Israel, seperti yang ditetapkan dalam Kesepakatan Damai Oslo tahun 1993, dasar berdirinya Otoritas Palestina.

Usia voting, Duta Besar AS untuk PBB Susan Rice mendesak Palestina dan Israel melanjutkan pembicaraan damai, dan jangan mengambil langkah sepihak. Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton menyebut hasil voting ini, "Sangat disayangkan dan kontraproduktif." Menurutnya, hasil ini malah akan menghambat upaya damai kedua negara.

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, juga angkat bicara. Melalui akunnya di laman jejaring sosial Twitter, Netanyahu menilai Palestina telah melanggar perjanjian dengan Israel karena mencari dukungan ke PBB. "Kami akan mengambil tindakan yang sesuai."

Apa kata PBB? Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon menyerukan kedua negara tetap lebih banyak mengambil langkah dialog damai.

Source : Vivanews

Inilah 9 Negara yang Tidak Mengakui Kedaulatan Palestina


NEW YORK | Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa, pada Kamis (29/11) waktu Amerika Serikat (AS) atau Jumat (30/11) menetapkan pengakuan de facto negara berdaulat Palestina.

Kemenangan suara Palestina di PBB menjadi kemunduran diplomatik bagi AS dan Israel yang bergabung dengan segelintir negara. Mereka menyatakan kontra saat pemungutan suara Majelis Umum untuk meningkatkan status Palestina dalam keanggotaan PBB.

Berikut sembilan negara yang memberikan suara menolak dalam rancangan resolusi peningkatan status Palestina: Kanada, Republik Ceko, Israel, Marshall Islands, Mikronesia, Nauru, Palau, Panama, dan Amerika Serikat. Selain AS dan Israel, tujuh negara tersebut hanyalah negara kecil yang tak akan membawa pengaruh bagi Palestina.

AS dan Israel gagal mendapat sambutan dunia untuk menolak status tersebut. Padahal keduanya terus bernegosiasi kepada beberapa negara untuk menggagalkan pungutan suara untuk resolusi Palestina tersebut. Di samping sembilan negara menentang, terdapat total 138 negara setuju dan 41 abstain, serta tiga negara tak hadir.

Sementara Uni Eropa, terdapat 17 negara yang menyatakan dukungan untuk status Palestina, diantaranya Austria, Perancis, Italia, Norwegia, dan Spanyol. Sementara negara Eropa lain termasuk Inggris dan Jerman memilih abstain.

Pascapemungutan suara, AS pun naik pitam. AS segera mendesak Palestina melakukan pembicaraan langsung, tanpa syarat apapun, dengan Israel. AS menyatakan akan terus mengawasi agar pembicaraan tersebut dapat berjalan. "AS akan terus mendorong semua pihak untuk menghindari tindakan provokatif lebih lanjut di wilayah tersebut, di New York, ataupun di tempat lain," ujar Duta Besar AS untuk PBB, Susan Rice.

Sebelumnya AS dan Israel mengancam penghentian bantuan keuangan untuk Palestina, jika mengajukan status baru di PBB. Israel bahkan akan melanggar semua kesepakatan dengan Palestina dalam Perjanjian Oslo.

Perdana Menteri Palestina, Salam Fayyad, mengatakan harapannya semua pihak yang memberikan suara ditujukan untuk proses perdamaian. Tak ada hukuman yang menjadi dampak pemungutan suara. "Saya berharap tidak ada tindakan hukuman," ujarnya.

Sementara Inggris yang sebelumnya didorong untuk mendukung Palestina, lebih memilih abstain. Pascakeputusan status baru Palestina bulat, Inggris mendesak Pemerintah AS di bawah Barack Obama dapat menjadi dorongan bagi perdamaian Palestina-Israel.

"Kami percaya jendela untuk solusi dua negara telah tertutup. Itulah sebabnya kami mendorong AS dan aktor-aktor internasional utama untuk menggunakan kesemptan ini dan menggunakan 12 bulan kedepan sebagai jalan untuk benar-benar mendobrak kebuntuan (kesepakatan perdamaian Palestina-Israel)," kata Duta Besar Inggris untuk PBB, Mark Lyall Grant.


Sumber : Republika

Thursday, November 22, 2012

Ketua DPRA : Rancangan Qanun Lambang dan Bendera Aceh Sudah Final

Hasbi Abdullah | Ketua Dewan Perwakilan Rakya Aceh (DPRA)

Banda Aceh |  Ketua Dewan Perwakilan Rakya Aceh (DPRA), Hasbi Abdullah mengatakan bahwa sudah selesai membahas rancangan qanun tentang Lambang dan Bendera Aceh. “Sudah final, dan akan  kita bawa ke Jakarta,” ujarnya pada The Globe Journal, Kamis (22/11).

Terkait pernyataan Pangdam Iskandar Muda bahwa lambang dan bendera yang dirumuskan oleh DPRA berbau separatis, Hasbi mengatakan lambang dan bendera tersebut nantinya akan diverifikasikan oleh Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi.

“Boleh-boleh saja dikatakan separatis, tapi ini akan diverifikasi. Setelah kita selesaikan kita akan bawa ke Jakarta dan Mendagri akan menverifikasinya,” tutur Hasbi.
Hasbi mengatakan pemberian lambang buraq-singa dan bendera bulan bintang untuk bendera dan lambang Aceh adalah suatu hal yang wajar. Dia juga mengatakan bahwa pemberian lambang serta bendera tersebut  melihat kembali pada masa lalu Aceh. Dia juga mengatakan bahwa DPRA telah mempertimbangkan hal tersebut.

Untuk bendera sendiri, Hasbi mengatakan bahwa ini memang bukan bendera Aceh pada masa lalu, ada sedikit perubahan dari bendera Aceh pada masa sebelumnya. “Tapi ada perkiraan masa lalu,” ujarnya.

Sumber : The Globe Journal

Saturday, November 17, 2012

Bendera Aceh akan Berdampingan dengan Bendera RI

Aceh Utara | Apabila Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) telah mengesahkan Rancangan Qanun Bendera dan Lambang Aceh, maka bendera itu akan berkibar di seluruh Aceh yakni disetiap Instansi-instansi maupun sekolahan. Namun untuk sementara ini, Rakyat Aceh meski sabar dulu menunggu pengesahan qanun tersebut.

Hal itu dijelaskan oleh Pengamat Sosial Politik Aceh, Tgk Nasrullah Dahlawy, yang juga Juru Bicara KPA/PA Wilayah Pasee, kepada The Globe Journal, Jum'at (16/11/2012).

"Setelah disahkan nanti, yang jelas bendera itu akan berkibar diseluruh Aceh, mulai dari pelosok hingga pusat perkotaan, bahkan pada setiap instansi. Kemudian, bendera Aceh akan terus berkibar untuk selamanya,"jelas Tgk. Nasrullah. Dikatakan lagi, bahwa bendera Aceh yang akan dikibarkan nanti sama sekali tidak ada perbedaan dengan bendera Gerakan Aceh Merdeka dimasa perjuangan dulu.

"Ya, bendera yang akan berkibar adalah bendera Aceh milik kita bersama. Sama sekali tidak ada perbedaan dengan bendera dimasa perjuangan GAM dulu. Tetap bintang bulan dan garis hitam putih. Namun kita masih menunggu pengesahan qanun bendera itu dari pihak DPRA dan Departemen Dalam Negeri. Karena dikirim dulu ke Departemen Dalam Negeri untuk disetujui pengibaran bendera bintang bulan,'' pungkasnya.

Saat ditanyai The Globe Journal mengenai pendirian pengibaran bendera tersebut, menurut Nasrullah Dahlawy bendera itu akan berdampingan dengan bendera Republik Indonesia (RI), yakni dua tiang dan dua bendera.
"Bendera Aceh nantinya akan berdampingan dengan bendera RI, dalam artian dua bendera dan dua tiang. Hal itu dilakukan karena Aceh masih dalam pelukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan tidak mengarah kepada kemerdekaan Aceh,'' pungkasnya lagi yang menutupi perbincangannya dengan The Globe Journal.


Wednesday, November 14, 2012

DPR Aceh Menjawab Kontroversi Qanun Wali Nanggroe


BANDA ACEH | Ketua DPR Aceh Hasbi Abdullah dan Wakil Ketua, Sulaiman Abda beserta Ketua Badan Legislasi DPR Aceh, langsung menjumpai para demonstran Aneuk Barat Selatan (ABAS) yang menolak qanun Wali Nanggroe di depan gedung DPRA, Rabu 14 November 2012.
Menurut Abdullah Saleh, hak imunitas yang melekat pada Wali Nanggroe di Aceh bukan berarti tidak boleh disentuh oleh hukum sama sekali. Menurutnya, hak imutas tersebut sama dengan hak imunitas yang ada pada anggora DPR, yaitu diatur menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Bukan tanpa batas, ada batasnya, tidak ada yang absolut, sama dengan hak imunitas yang ada pada anggota DPR, ada peraturan yang mengaturnya,” kata Abdullah Saleh, yang juga ketua tim Panitia Khusus qanun Wali Nanggroe DPR Aceh.

Abdullah Saleh mengatakan, Qanun Wali Nanggroe mempunyai landasan yang kuat, yaitu Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan MoU Helsinki, yang merupakan hasil dari perdamaian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 2005.

“Landasan konstitusionalnya adalah pasal 18b Undang-Undang Dasar 1945,” ujar Abdullah Saleh, yang tidak terima jika dikatakan Qanun Wali Nanggroe melanggar konstitusi Republik Indonesia.
Dalam kesempatan itu, Abdullah Saleh meminta kepada semua pihak untuk tidak ragu sedikitpun tentang Qanun  Wali Nanggroe.
“Termasuk kepada aparat intelijen yang mungkin ada di sini, kabarkan kepada semua pihak jangan ada keraguan sedikitpun dengan Qanun Wali Nanggroe,” ujarnya.
Anggota DPR Aceh yang berasal dari pantai barat selatan Aceh ini juga menyatakan syarat bisa berbahasa Aceh tidak diskriminasi. Menurutnya, yang dimaksud dengan bahasa Aceh dalam persyaratan menjadi Wali Nanggroe adalah bahasa yang hidup dan tumbuh dan berkembang di Aceh.
“Semua bahasa yang ada di Aceh, termasuk bahasa Jamee, Gayo, dan lainnya yang ada di Aceh,” ujarnya secara tegas di depan para demonstran.

Terkait dengan tidak adanya syarat membaca Alquran dalam qanun tersebut, Abdullah Saleh menyatakan tata cara pemilihan Wali Nanggroe berbeda dengan pemilihan dalam pemilu pada umumnya.
Menurutnya, wali nanggroe akan dipilih oleh Majelis Mufti, Tuha Peut dan Tuha Lapan. Tim ini yang nantinya akan menilai dan memilih Wali Nanggroe. Menurut anggota Fraksi Partai Aceh ini, Wali Nanggroe juga akan dinilai tingkat pemahaman agama oleh tim, termasuk pemahaman Islam yang mendalam.
“Kita berkaca pada pemilihan khalifah pada zaman Umar bin Khatab,” ujar Abdullah Saleh.

Sumber  : The Atjeh Post

Tuesday, November 13, 2012

Inilah Urutan Wali Nanggroe dari Pertama Sampai Sembilan

Malik Mahmud AL-Haytar (Wali Nanggroe ke-9)
BANDA ACEH | Pertanyaan tentang siapa Wali Nanggroe (WN) pertama sampai delapan setelah ditetapkan Tgk Malik Mahmud Al Haytar sebagai WN Ke-9 saat pengesahan Rancangan Qanun (Raqan) WN menjadi Qanun oleh DPRA, Jumat (2/11) sore terjawab sudah.

Adalah Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Aceh Partai Aceh (DPA-PA), Tgk Muhammad Yahya Muaz SH yang menjelaskan nama-nama wali nanggroe pertama sampai sembilan saat menjadi narasumber pada acara Sosialisasi Kebijakan Politik Pemerintah Aceh yang dilaksanakan Badan Kesbangpol dan Linmas Aceh di aula kantor setempat, Senin (12/11).

Penjelasan itu disampaikan Yahya Muaz menjawab pertanyaan Yusri Abdullah, salah seorang peserta pada sesi tanya jawab pada acara tersebut.

Sebelumnya, pada sosialisasi itu, Yahya Muaz menyampaikan materi berjudul “Peran dan Kedudukan Bendera, Lambang, dan Himne Aceh menjadi Simbol dan Indentitas Aceh ke depan sebagai Implementasi UUPA Sesuai Amanah MoU Helsinki.”

Menurutnya, pergantian WN Ke-1 sampai delapan semuanya karena WN sebelumnya meninggal dunia (syahid). Terhadap pertanyaan peserta lainnya yaitu Husniati Bantasyam yang mempersoalkan mengapa WN tak dipilih oleh rakyat seperti gubernur, Tgk Yahya Muaz mengatakan, wali nanggroe tak dipilih oleh rakyat karena wali nanggroe bukan lembaga politik atau pemerintahan.

“Jika wali nanggroe dipilih oleh rakyat, itu bertentangan dengan UUPA. Wali nanggroe adalah pemersatu dalam sistem dan peradaban rakyat Aceh,” ujarnya. Penjelasan hampir sama juga disampaikan narasumber lainnya Prof Dr Husni Jalil SH MH (Dosen Fakultas Hukum Unsyiah) dan Barlian AW (pemerhati sosial budaya).

Terkait klausul lain dalam Qanun WN yang dalam beberapa waktu terakhir ramai diperdebatkan yaitu soal syarat calon WN harus fasih berbahasa Aceh yang juga ditanyakan peserta sosialisasi itu, Tgk Yahya Muaz mengatakan, perdebatan itu terjadi karena orang salah menafsirkan bahasa Aceh yang dimaksudkan dalam qanun tersebut. “Bahasa Aceh adalah semua bahasa yang ada di Aceh seperti bahasa Gayo, Tamiang, Kluet, dan Aneuk Jamee. Cuma selama ini, orang salah mengklaim seolah-olah bahasa Aceh adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir,” jelasnya.

Amatan Serambi, isu lain yang muncul dalam diskusi itu antara lain peserta berharap sosialisasi qanun WN harus dilakukan sampai ke daerah-daerah agar masyarakat lebih memahami isi qanun tersebut.

Peserta sosialisasi itu juga berharap wali naggroe menjadi milik seluruh rakyat Aceh dan bukan milik kelompok tertentu. “Manfaat Wali Naggroe Aceh harus bagi keseluruhan rakyat Aceh,” pinta seorang peserta kegiatan itu.

Kepala Badan Kesbangpol dan Linmas Aceh, Drs Bustami Usman SH MSi, saat membuka acara tersebut antara lain menjelaskan, sosialisasi itu diikuti 100-an peserta yang terdiri dari aparatur pemerintahan, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda, camat, mukim, ormas/OKP, dan sejumlah elemen masyarakat lainnya dari Banda Aceh dan Aceh Besar.

Bustami berharap, melalui sosialisasi itu akan terbangun kerja sama yang sinergis antara Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota bersama seluruh komponen masyarakatnya. “Ke depan juga masih perlu kerja keras semua kita untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat yang belum sependapat tentang adanya kebijakan politik Pemerintah Aceh berkaitan dengan Wali Nanggroe beserta bendera, lambang daerah, dan himne Aceh,” jelas Bustami Usman.

Wali Nanggroe dari Masa ke Masa
1. Tgk Chik di Tiro Muhammad Amin bin Muhammad Saman (1 Januari 1892 - 1896)
2. Tgk Chik di Tiro Abdussalam bin Muhammad Saman (1896 -1898)
3. Tgk Chik di Tiro Sulaiman bin Muhammad Saman (1898 ‑ 1902)
4. Tgk Chik di Tiro Ubaidillah bin Muhammad Saman (1902 - 1905)
5. Tgk Chik di Tiro Mahjuddin bin Muhammad saman (1905 - 11 Desember  1910)
6. Tgk Chik Ulèë Tutuë alias Tengku Tjhik di Garôt Muhammad (11 Desember 1910 - 3 Juni 1911)
7. Tgk Chik di Tiro  Muaz bin Muhammad Amin (4 Juni 1911 - 3 Desember 1911)
8. Tgk Hasan Muhammad di Tiro (4 Desember 1976 - 3 Juni 2010)
9. Tgk Malik Mahmud Al Haytar (2 November 2012 -  sekarang )

Sumber : Serambinews