Untuk menghormati teman akarabnya yang tewas dalam perang
Aceh, Jenderal Van Huetsz akan menikahkan putri temannya itu dengan
seorang komandan marsose, Letnan De Bruij. Perang di Tuneom membuat sang
pengantin tewas di ujung peluru pejuang Aceh.
Suatu hari, Jenderal Van Huetsz membuka sepucuk surat dinas yang
dibumbuhi kode rahasia. Isinya, seorang overster teman akran Van Huetsz
dikabarkan, tidak mampu menghadapi tantangan perjuangan di medan yang
sangat berat dalam perang Aceh, ia gugur dalam operasi besar pertama
yang dipimpinnya, sementara istri dan anaknya sudah lama kembali ke
Holand.
Blang Kedjeren tahun 1933 (Ist) |
Tapi anak perempuanya yang tua tidak pulang, karena akan menikah di
Aceh dengan seorang opsir Belanda, Letnan De Bruijn. Karena banyak
keperluan menjelang perkawinan, maka Van Huetsz menyuruh anak sahabatnya
itu tinggal di rumahnya. Segala biaya pernikahan ditanggung Van Huetsz,
bahkan demi putri sahabatnya itu, Van Huetsz memesan pakaian pengantin
dari Pulau Jawa.
Sebelum pernikahan itu dilakukan, Van Huetsz berangkat ke Meulaboh
dan Teunom dalam seubuah operasi, karena berbagai operasi militer
terhadap pejuang Aceh di dua tempat itu sering mengalami kegagalan.
Setelah segala urusan kedinasan militer selesai di sana, Van Huetsz
bersama dua brigade marsoese kembali ke Kutaraja, dengan menumpang “kapal putih”. Sementara Letnan De Bruijn terus memimpin operasi militer dengan satu pasukan infantry.
Beberapa hari kemudian, mata-mata Belanda melaporkan soal, pergerakan
pejuang Aceh. Informasi itu dinilai sangat falit. Belanda
mengancang-ancang untuk melakukan penyergapan. Dan yakin bahwa
penyergapan itu akan membawa sukses besar. Jenderal Van Huetsz pun
menyetujui penyerangan itu. Dua pasukan marsoese tadi kembali dilibatkan
dan Letnan De Bruijn ditunjuk sebagai komandannya. Karena itu pula,
perkawinannya ditunda seminggu lagi.
Pasukan pimpinan Letnan De Bruijn pun bergerak ke tempat para
gerilyawan pejuang Aceh, sebagaimana diberitakan olah mata-matanya.
Mereka memasuki semak belukar dan hutan yang lebat. Sampai kemudian
pasukan itu menemukan sebuah sungai. Untuk menyebrang sungai itu hanya
ada sebatang pohon pinang yang dibentangkan sebagai jembatan.
Satu persatu mereka melewati jembatan pohon pinang itu. Beberapa
pasukan marsoese mencoba membuat pegamanan di depan. Namun sebelum semua
pasukan Belanda itu melewati jembatan tersebut, terdengar suara
senapang (bedil kuno-red) dari arah kanan dalam rimbunan ilalang
setinggi manusia.
Mendengar itu, secara reflek seluruh pasukan marsoese menoleh ke
kanan. Dan mendadak dari sebelah kiri, puluhan pejuang Aceh telah
mengepung mereka. “Rupanya kabar adanya musuh kemarin itu, hanyalah
usaha untuk menjebak kompeni agar datang ke sungai tersebut,” tulis HC
Zentrgraaff, dalam buku “Atjeh,” Zentgraaff merupakan mantan
serdadu Belanda yang dimasa pensiunnya menjadi wartawan perang. Ia
pernah menjabat sebagai Redaktur Java Bode, Koran terbitan Batavia (sekarang Jakarta-red). Mengenai peristiwa itu, Zentgraaff menulis.
“Pertarungan itu merupakan perkelahian jarak dekat, satu lawan satu
dimana pihak lawan berada dalam keadaan yang menguntungkan, karena
penyergapan seperti itu memberikan kesempatan kesempatan yang baik.
Pihak, kita tau betul, betapa orang orang Aceh cekatan benar dalam
memanfaatkan medan dan serangan. Serdadu serdadu yang masih berada di
seberang sungai yang aman, tidak dapat pula menembak karena campur
aduknya kawan dan lawan. Tidak sering kejadian di mana dalam perang Aceh
yang berlangsung lama itu, sebuah pasukan militer, pada siang bolong
disikat hampir seratus persen penuh tewas; Letnan De Bruij gugur bersama
sebelas serdadu lainnya, sedangkan delapan militer lainnya luka parah.
Di pihak musuhpun menderita kerugian pula; mayat-manyat mareka
tergeletak di antara mayat-mayat serdadu kita, namun mareka mengangkut
pergi orang mareka yang terluka, serta berhasil merampas beberapa pucuk
senapang karaben kita.”
Mayat Letnan De Bruijn bersama delapan marsoese yang terluka parah
diangkut ke pelabuhan Ulee Lhee, Kutaraja (kini Banda Aceh-red).
Menerima berita itu Jenderal Van Huetsz sangat terpukul. Ia yang
mengharapkan kapal itu membawa pulang Letnan de Bruijn untuk
melangsungkan pernikahan dengan putrri kawannya, ternyata pulang untuk
diusung ke kerkhof Peucut, (komplek pemakaman Belanda-red).
Dari kejauhan kapal putih, yang mengakut mayat itu nampak mengibarkan
bendera setengah tiang. Suatu pertanda ada perwira militer yang tewas.
Istri seorang kapten menunggu di dermaga, ia ingin mengetahui kabar
suaminya yang bertugas di Teunom.
Ketika salah seorang mathos turun dari perahun ke darat, membawa sepucuk surat, ia merampas surat itu. “Den Civiel en Militair Gouverneur van Atjeh en Orderhoorigheden Eigen handing..” setelah membaca kalimat itu, wanita itu merobek amplop surat tersebut.
Pada detik detik pertama, kalimat kalimat itu seakan menari di depan
matanya; dia membawa tergesa gesa tanpa mengetahu apa maksudnya dan
kemudian tiba pada deretan nama nama orang orang yang tewas. Ia spontan
girang ketika tidak ada nama suaminya dalam daftar korban tersebut.
Wanita itu pun kemudian menelpon Jenderal Van Huetsz. Ia menceritakan
kesalahannya dan minta maaf karena telah merobek surat yang ditujukan
untuk Van Huetsz tersebut. “Anak manis, tidak usah khawatir, itu sudah
beres, tapi siapa korbannya?” tanya Van Huetsz pada wanita itu. Istri
Kapten itu pun meneybut nama Letnan De Bruijn.
Mendengar nama-nama korban yang dibacakan wanita itu diseberang
telpon, Jenderal Van Huetsz sangat terkejut, karena gadis yang telah
dibelinya baju pengantin dari Jawa untuk menikah dengan Letnan De Bruijn
itu ada di sampingnya.
Bagi Jenderal Van Huetsz itu merupakan berita yang sangat
mencengangkan. Ia tidak tahu bagaimana harus menyampaikan berita itu
kepada putri kerabatnya yang menanti kepulangan Letnan De Bruijn sebagai
calon suaminya. Dengan perasaan yang tak menentu, Van Huetsz pun
mengabari hal itu, Letnan De Bruijn pulang bukan untuk menikah, tapi
untuk dikuburkan di kerkhof Peucut. “ Itulah tugas menyampaikan pesan
yang paling meresahkan yang pernah dilakukan Jenderal Van Huetsz. Dan
hal itu samalah dengan seorang yang mengemgam sebilah pisau di
tangannya, dengan ajakan: bunuhlah dia,” tulis Zentgraaff.
Kemalangan Marsose Lainnya
Dalam tahun 1924, perlawann terhadap Belanda terus terjadi di daerah barat dan selatan Aceh. Sehingga dalam setiap keude
(pasar-red) orang menjadi sangat hati-hati berbicara soal perang.
Sementara di malam hari, penduduk disibuki dengan membaca kitab-kitab
suci, dan mengobarkan semangat jihat memerangi Belanda.
Tentang gelora perlawanan itu, Zentgraaff menulis. “Di daerah pesisir Barat, jiwa dan semangat berjuang lama yang menyala-nyala adalah yang paling lama bertahan, senantiasa terdapat ketegangan yang pada setiap saat meledak. Penduduknya, memang membungkukkan kepalanya setelah operasi-operasi besar yang lampau, namun dalam semangatnya mereka tidak banyak berubah atau sama sekali tidak berubah.”
Tentang gelora perlawanan itu, Zentgraaff menulis. “Di daerah pesisir Barat, jiwa dan semangat berjuang lama yang menyala-nyala adalah yang paling lama bertahan, senantiasa terdapat ketegangan yang pada setiap saat meledak. Penduduknya, memang membungkukkan kepalanya setelah operasi-operasi besar yang lampau, namun dalam semangatnya mereka tidak banyak berubah atau sama sekali tidak berubah.”
Patroli-patroli Belanda juga semakin kwalahan, karena secara dadakan
sering diseragap kelompok-kelompok kecil pejuang Aceh yang mahir
menggunakan senjata tajam. “Dalam kemahiran mempergunakan senjata pun
mereka tidaklah berkurang,dan di sini, senjata khas adalah kelewang
alias peudeueng yang panjang, pedang Turki. Seseorang yang beroleh hadiah dengan sabetan “sabet atas’ (how bovenop) dengan pedang ini, akan tamatlah perhitungannya dengan dunia ini,” tulis Zentgraaff.
Penduduk yang berada di daerah utara dan pesisir timur, banyak juga yang memakai senapan dan senapang kuno (donder bus),
dan hal itu disebabkan karena daerah itu keadaannya datar, sehingga
memaksa pertempuran-pertempuran harus dilakukan dalam jarak jauh,
setidak-tidaknya untuk membuat permulaannya. “Penggunaan senjata api itu
bukan berarti bahwa tidak trampil dalam menggunakan lekewang, terutama
orang-orang Pidie, mereka adalah jantan-jantan yang berani bertarung
sampai mati dengan senjata-senjata tajamnya,” lanjut Zentgraaff.
Di daerah pesisir Barat, dimana semuanya diliputi gunung dan
hutan-hutan, haruslah cara bertempurnya berbeda. Tanah yang kasar dan
begunung-gunung ini kebanyakan punya ciri-ciri penyergapan yang khas
secara mendadak dari tempat-tempat tersembunyi terhadap pasukan-pasukan
patroli Belanda. “Dan musuh melakukan ini dengan semangat fanatisme yang
harus kita hormati,” puji Zentgraaff.
Sementara di daerah Seunagan, serbuan kelewang tradisional dinilai
Zentgraaf lebih berbahaya. Di daerah itu, menurutnya, pejuang Aceh
menyerbu dengan sepenuh diri. Bertarung demi kepentingan bersama,
melawan Belanda. Hal itulah yang membuat patroli Belanda sering
mengalami kekalahan dan susah menaklukkan Aceh sepenuhnya.
Zentgraaff juga menyebutkan, semangat jihat pejuang Aceh yang tingi
itu pula yang menjadi momok bagi pasukan Belanda. Bahkan mental pasukan
elit belanda, marsose jatuh karena keberanian-keberanian pejuang Aceh.
Ia menulis. “Demkianlah, mereka adalah sangat berbahaya terutama bagi
serdadu-serdadu kita yang muda-muda. Apabila serombongan musuh yang
seperti itu, mengenakan pakaian perangnya yang berwarna hitam, dengan
peudeueng panjang yang diayunkan, sambil berteriak menghambur kepada
pasukan kita, bagaikan iblis dalam wujud nyata, maka sungguh besar
kemerosotan moril serdadu-serdadau kita yang muda-muda,s ebagaimana yang
kita alami sebagai kerugian kita.”
Masih menurut Zentgraaff. Setiap kesalahan dan kelengahan yang dilakukan oleh komandan-komandan perang Belanda selalu bisa dimanfaatkan oleh pejuang Aceh, yang kemudian membuat jatuh korban di pihak Belanda.
Masih menurut Zentgraaff. Setiap kesalahan dan kelengahan yang dilakukan oleh komandan-komandan perang Belanda selalu bisa dimanfaatkan oleh pejuang Aceh, yang kemudian membuat jatuh korban di pihak Belanda.
Di Bakongan, terdapat batu nisan kembar, dari atas ke bawah, dan
dalam dua jejer, ditulis dengan nama-nama serdadu-serdadu yang tewas
pada pasukan yang dipimpin oleh letnan Donner dalam tahun 1905. Pasukan
patroli itu dibagi kedalam dua kelompok, berbaris menuju berbagai arah.
Pada malam yang sama, bertempat dikampung Rambong dan Sibabe, kedua pasukan itu dicegat dan hampir seluruhnya tewas bersama letnan Donner. Pasukan yang satu lagi, bahkan gugur tiga belas serdadu, sementara semua karaben dapat dirampas olah pihak musuh.
Pada malam yang sama, bertempat dikampung Rambong dan Sibabe, kedua pasukan itu dicegat dan hampir seluruhnya tewas bersama letnan Donner. Pasukan yang satu lagi, bahkan gugur tiga belas serdadu, sementara semua karaben dapat dirampas olah pihak musuh.
Pada serangan mendadak itu, yang terjadi dibagian daerah pesisir
Barat tersebut, misalnya yang terjadi dengan pasukan patroli pimpinan Grunefeld, pada bulan Maret 1926, yang bergerak dari Singkil menuju Trumon,
disebabkan oleh kurang waspada, merek diserang. Hampir seluruh pasukan
belanda itu tewas. Lima belas pucuk karaben pasukan belanda pun beralih
tangan ke pejuang Aceh.
Demikian pulalah yang dialami oleh brigade pimpinan kapten Paris,
karena kesalahan sedikit saja dari komandannya, maka pejuang Aceh
memanfaatkan kesempatan itu. “Kita masih ingat akan kejadian yang malang
itu, sehingga kapten Paris beserta hampir semua prajuritnya tewas, dan
berkat seorang marsose jawa bernama Kromodikoro, yang dalam keadaan luka
parah mengambil alih pimpinan, sehingga sisa klecil dari pasukan itu
dapat menyelamatkan diri sambil melepaskan tembakan-tembakan,” tulis
Zentgraaff.
Setiap kekeliruan pasukan Belanda itu, harus ditebus dengan darah.
Pada tahun 1962, Letnan Molenaarb tewas di sekolah Teureubangan. ”Ia
merupakan suatu daftar nama-nama korban yang gugur yang amat panjang dan
mengerikan bagi belanda. Dan, melebihi segala serangan kelewang
tersebut tadi yang mereka laksanakan dengan keberanian menentang maut
yang tak ada taranya, maka satu gemburan terhadap pasukan Compion dalam bulan April 1904, merupakan serangan kelewang yang paling besar dalam sejarah Aceh.” jelas Zentrgaaff.[]
No comments:
Post a Comment
Berikan komentar Anda untuk menilai setiap isi postingan, Admin melarang keras komentar yang berisi hal Porno,SARA/Rasis.
Terimakasih