Adsense

Wednesday, June 27, 2012

Duka Van Huetsz di Perang Teunom

Untuk menghormati teman akarabnya yang tewas dalam perang Aceh, Jenderal Van Huetsz akan menikahkan putri temannya itu dengan seorang komandan marsose, Letnan De Bruij. Perang di Tuneom membuat sang pengantin tewas di ujung peluru pejuang Aceh.

Suatu hari, Jenderal Van Huetsz membuka sepucuk surat dinas yang dibumbuhi kode rahasia. Isinya, seorang overster teman akran Van Huetsz dikabarkan, tidak mampu menghadapi tantangan perjuangan di medan yang sangat berat dalam perang Aceh, ia gugur dalam operasi besar pertama yang dipimpinnya, sementara istri dan anaknya sudah lama kembali ke Holand.
1933 Blang Kedjeren
Blang Kedjeren tahun 1933 (Ist)

Tapi anak perempuanya yang tua tidak pulang, karena akan menikah di Aceh dengan seorang opsir Belanda, Letnan De Bruijn. Karena banyak keperluan menjelang perkawinan, maka Van Huetsz menyuruh anak sahabatnya itu tinggal di rumahnya. Segala biaya pernikahan ditanggung Van Huetsz, bahkan demi putri sahabatnya itu, Van Huetsz memesan pakaian pengantin dari Pulau Jawa.

Sebelum pernikahan itu dilakukan, Van Huetsz berangkat ke Meulaboh dan Teunom dalam seubuah operasi, karena berbagai operasi militer terhadap pejuang Aceh di dua tempat itu sering mengalami kegagalan. Setelah segala urusan kedinasan militer selesai di sana, Van Huetsz bersama dua brigade marsoese kembali ke Kutaraja, dengan menumpang “kapal putih”. Sementara Letnan De Bruijn terus memimpin operasi militer dengan satu pasukan infantry.

Beberapa hari kemudian, mata-mata Belanda melaporkan soal, pergerakan pejuang Aceh. Informasi itu dinilai sangat falit. Belanda mengancang-ancang untuk melakukan penyergapan. Dan yakin bahwa penyergapan itu akan membawa sukses besar. Jenderal Van Huetsz pun menyetujui penyerangan itu. Dua pasukan marsoese tadi kembali dilibatkan dan Letnan De Bruijn ditunjuk sebagai komandannya. Karena itu pula, perkawinannya ditunda seminggu lagi.

Pasukan pimpinan Letnan De Bruijn pun bergerak ke tempat para gerilyawan pejuang Aceh, sebagaimana diberitakan olah mata-matanya. Mereka memasuki semak belukar dan hutan yang lebat. Sampai kemudian pasukan itu menemukan sebuah sungai. Untuk menyebrang sungai itu hanya ada sebatang pohon pinang yang dibentangkan sebagai jembatan.
Satu persatu mereka melewati jembatan pohon pinang itu. Beberapa pasukan marsoese mencoba membuat pegamanan di depan. Namun sebelum semua pasukan Belanda itu melewati jembatan tersebut, terdengar suara senapang (bedil kuno-red) dari arah kanan dalam rimbunan ilalang setinggi manusia.

Mendengar itu, secara reflek seluruh pasukan marsoese menoleh ke kanan. Dan mendadak dari sebelah kiri, puluhan pejuang Aceh telah mengepung mereka. “Rupanya kabar adanya musuh kemarin itu, hanyalah usaha untuk menjebak kompeni agar datang ke sungai tersebut,” tulis HC Zentrgraaff, dalam buku “Atjeh,” Zentgraaff merupakan mantan serdadu Belanda yang dimasa pensiunnya menjadi wartawan perang. Ia pernah menjabat sebagai Redaktur Java Bode, Koran terbitan Batavia (sekarang Jakarta-red). Mengenai peristiwa itu, Zentgraaff menulis.

“Pertarungan itu merupakan perkelahian jarak dekat, satu lawan satu dimana pihak lawan berada dalam keadaan yang menguntungkan, karena penyergapan seperti itu memberikan kesempatan kesempatan yang baik. Pihak, kita tau betul, betapa orang orang Aceh cekatan benar dalam memanfaatkan medan dan serangan. Serdadu serdadu yang masih berada di seberang sungai yang aman, tidak dapat pula menembak karena campur aduknya kawan dan lawan. Tidak sering kejadian di mana dalam perang Aceh yang berlangsung lama itu, sebuah pasukan militer, pada siang bolong disikat hampir seratus persen penuh tewas; Letnan De Bruij gugur bersama sebelas serdadu lainnya, sedangkan delapan militer lainnya luka parah. Di pihak musuhpun menderita kerugian pula; mayat-manyat mareka tergeletak di antara mayat-mayat serdadu kita, namun mareka mengangkut pergi orang mareka yang terluka, serta berhasil merampas beberapa pucuk senapang karaben kita.”

Mayat Letnan De Bruijn bersama delapan marsoese yang terluka parah diangkut ke pelabuhan Ulee Lhee, Kutaraja (kini Banda Aceh-red). Menerima berita itu Jenderal Van Huetsz sangat terpukul. Ia yang mengharapkan kapal itu membawa pulang Letnan de Bruijn untuk melangsungkan pernikahan dengan putrri kawannya, ternyata pulang untuk diusung ke kerkhof Peucut, (komplek pemakaman Belanda-red).
Dari kejauhan kapal putih, yang mengakut mayat itu nampak mengibarkan bendera setengah tiang. Suatu pertanda ada perwira militer yang tewas. Istri seorang kapten menunggu di dermaga, ia ingin mengetahui kabar suaminya yang bertugas di Teunom.
Ketika salah seorang mathos turun dari perahun ke darat, membawa sepucuk surat, ia merampas surat itu. “Den Civiel en Militair Gouverneur van Atjeh en Orderhoorigheden Eigen handing..” setelah membaca kalimat itu, wanita itu merobek amplop surat tersebut.

Pada detik detik pertama, kalimat kalimat itu seakan menari di depan matanya; dia membawa tergesa gesa tanpa mengetahu apa maksudnya dan kemudian tiba pada deretan nama nama orang orang yang tewas. Ia spontan girang ketika tidak ada nama suaminya dalam daftar korban tersebut.
Wanita itu pun kemudian menelpon Jenderal Van Huetsz. Ia menceritakan kesalahannya dan minta maaf karena telah merobek surat yang ditujukan untuk Van Huetsz tersebut. “Anak manis, tidak usah khawatir, itu sudah beres, tapi siapa korbannya?” tanya Van Huetsz pada wanita itu. Istri Kapten itu pun meneybut nama Letnan De Bruijn.
Mendengar nama-nama korban yang dibacakan wanita itu diseberang telpon, Jenderal Van Huetsz sangat terkejut, karena gadis yang telah dibelinya baju pengantin dari Jawa untuk menikah dengan Letnan De Bruijn itu ada di sampingnya.
Bagi Jenderal Van Huetsz itu merupakan berita yang sangat mencengangkan. Ia tidak tahu bagaimana harus menyampaikan berita itu kepada putri kerabatnya yang menanti kepulangan Letnan De Bruijn sebagai calon suaminya. Dengan perasaan yang tak menentu, Van Huetsz pun mengabari hal itu, Letnan De Bruijn pulang bukan untuk menikah, tapi untuk dikuburkan di kerkhof Peucut. “ Itulah tugas menyampaikan pesan yang paling meresahkan yang pernah dilakukan Jenderal Van Huetsz. Dan hal itu samalah dengan seorang yang mengemgam sebilah pisau di tangannya, dengan ajakan: bunuhlah dia,” tulis Zentgraaff.

Kemalangan Marsose Lainnya

Dalam tahun 1924, perlawann terhadap Belanda terus terjadi di daerah barat dan selatan Aceh. Sehingga dalam setiap keude (pasar-red) orang menjadi sangat hati-hati berbicara soal perang. Sementara di malam hari, penduduk disibuki dengan membaca kitab-kitab suci, dan mengobarkan semangat jihat memerangi Belanda.
Tentang gelora perlawanan itu, Zentgraaff menulis. “Di daerah pesisir Barat, jiwa dan semangat berjuang lama yang menyala-nyala adalah yang paling lama bertahan, senantiasa terdapat ketegangan yang pada setiap saat meledak. Penduduknya, memang membungkukkan kepalanya setelah operasi-operasi besar yang lampau, namun dalam semangatnya mereka tidak banyak berubah atau sama sekali tidak berubah.”
Patroli-patroli Belanda juga semakin kwalahan, karena secara dadakan sering diseragap kelompok-kelompok kecil pejuang Aceh yang mahir menggunakan senjata tajam. “Dalam kemahiran mempergunakan senjata pun mereka tidaklah berkurang,dan di sini, senjata khas adalah kelewang alias peudeueng yang panjang, pedang Turki. Seseorang yang beroleh hadiah dengan sabetan “sabet atas’ (how bovenop) dengan pedang ini, akan tamatlah perhitungannya dengan dunia ini,” tulis Zentgraaff.
Penduduk yang berada di daerah utara dan pesisir timur, banyak juga yang memakai senapan dan senapang kuno (donder bus), dan hal itu disebabkan karena daerah itu keadaannya datar, sehingga memaksa pertempuran-pertempuran harus dilakukan dalam jarak jauh, setidak-tidaknya untuk membuat permulaannya. “Penggunaan senjata api itu bukan berarti bahwa tidak trampil dalam menggunakan lekewang, terutama orang-orang Pidie, mereka adalah jantan-jantan yang berani bertarung sampai mati dengan senjata-senjata tajamnya,” lanjut Zentgraaff.
Di daerah pesisir Barat, dimana semuanya diliputi gunung dan hutan-hutan, haruslah cara bertempurnya berbeda. Tanah yang kasar dan begunung-gunung ini kebanyakan punya ciri-ciri penyergapan yang khas secara mendadak dari tempat-tempat tersembunyi terhadap pasukan-pasukan patroli Belanda. “Dan musuh melakukan ini dengan semangat fanatisme yang harus kita hormati,” puji Zentgraaff.
Sementara di daerah Seunagan, serbuan kelewang tradisional dinilai Zentgraaf lebih berbahaya. Di daerah itu, menurutnya, pejuang Aceh menyerbu dengan sepenuh diri. Bertarung demi kepentingan bersama, melawan Belanda. Hal itulah yang membuat patroli Belanda sering mengalami kekalahan dan susah menaklukkan Aceh sepenuhnya.
Zentgraaff juga menyebutkan, semangat jihat pejuang Aceh yang tingi itu pula yang menjadi momok bagi pasukan Belanda. Bahkan mental pasukan elit belanda, marsose jatuh karena keberanian-keberanian pejuang Aceh. Ia menulis. “Demkianlah, mereka adalah sangat berbahaya terutama bagi serdadu-serdadu kita yang muda-muda. Apabila serombongan musuh yang seperti itu, mengenakan pakaian perangnya yang berwarna hitam, dengan peudeueng panjang yang diayunkan, sambil berteriak menghambur kepada pasukan kita, bagaikan iblis dalam wujud nyata, maka sungguh besar kemerosotan moril serdadu-serdadau kita yang muda-muda,s ebagaimana yang kita alami sebagai kerugian kita.”
Masih menurut Zentgraaff. Setiap kesalahan dan kelengahan yang dilakukan oleh komandan-komandan perang Belanda selalu bisa dimanfaatkan oleh pejuang Aceh, yang kemudian membuat jatuh korban di pihak Belanda.
Di Bakongan, terdapat batu nisan kembar, dari atas ke bawah, dan dalam dua jejer, ditulis dengan nama-nama serdadu-serdadu yang tewas pada pasukan yang dipimpin oleh letnan Donner dalam tahun 1905. Pasukan patroli itu dibagi kedalam dua kelompok, berbaris menuju berbagai arah.
Pada malam yang sama, bertempat dikampung Rambong dan Sibabe, kedua pasukan itu dicegat dan hampir seluruhnya tewas bersama letnan Donner. Pasukan yang satu lagi, bahkan gugur tiga belas serdadu, sementara semua karaben dapat dirampas olah pihak musuh.
Pada serangan mendadak itu, yang terjadi dibagian daerah pesisir Barat tersebut, misalnya yang terjadi dengan pasukan patroli pimpinan Grunefeld, pada bulan Maret 1926, yang bergerak dari Singkil menuju Trumon, disebabkan oleh kurang waspada, merek diserang. Hampir seluruh pasukan belanda itu tewas. Lima belas pucuk karaben pasukan belanda pun beralih tangan ke pejuang Aceh.
Demikian pulalah yang dialami oleh brigade pimpinan kapten Paris, karena kesalahan sedikit saja dari komandannya, maka pejuang Aceh memanfaatkan kesempatan itu. “Kita masih ingat akan kejadian yang malang itu, sehingga kapten Paris beserta hampir semua prajuritnya tewas, dan berkat seorang marsose jawa bernama Kromodikoro, yang dalam keadaan luka parah mengambil alih pimpinan, sehingga sisa klecil dari pasukan itu dapat menyelamatkan diri sambil melepaskan tembakan-tembakan,” tulis Zentgraaff.
Setiap kekeliruan pasukan Belanda itu, harus ditebus dengan darah. Pada tahun 1962, Letnan Molenaarb tewas di sekolah Teureubangan. ”Ia merupakan suatu daftar nama-nama korban yang gugur yang amat panjang dan mengerikan bagi belanda. Dan, melebihi segala serangan kelewang tersebut tadi yang mereka laksanakan dengan keberanian menentang maut yang tak ada taranya, maka satu gemburan terhadap pasukan Compion dalam bulan April 1904, merupakan serangan kelewang yang paling besar dalam sejarah Aceh.” jelas Zentrgaaff.[]

No comments:

Post a Comment

Berikan komentar Anda untuk menilai setiap isi postingan, Admin melarang keras komentar yang berisi hal Porno,SARA/Rasis.
Terimakasih