"Untuk menjalin hubungan dangan kerajaan Belanda, Raja Aceh, Sultan Alauddin Al Mukamil mengutus Abdul Hamid ke negeri kincir angin tersebut. Rombongan duta Aceh itu tiba pada Agustus 1602, tapi pada 9 Agustus Abdul Hamid meninggal di negeri Eropa itu dan dimakamkan diperkarangan gereja St Pieter di Middelburg, Zeeland."
Oleh Iskandar Norman
Aceh
sejak zaman dahulu memiliki para diplomat ulung yang menjalin hubungan
dengan luar negeri. Kisah ambasador Abdul Hamid salah satunya. Menurut
Prof Osman Raliby dalam sebuah tulisan tentang Aceh, dunia orang Aceh
berubah cepat karena pengaruh agama Islam. Hal itu kemudian ditambah
dengan bersentuhannya Aceh dengan pedagang-pedagang internasional yang
mencari rempah-rempah ke Aceh sejak abad ke 14.
Namun, sejak 18 Agustus 1511, Portugis yang menduduki Malaka menjadi
ancaman bagi perdagangan rempah-rempah di Aceh. Raja Aceh yang sudah
melakukan kontak dagang dengan kerajaan-kerajaan Islam di India, Persia,
Mesir, Turki, dan Bandar-bandar dagang di Laut Merah, menyadari hal
tersebut. Akan tetapi tetap menjaga hubungan dengan Portugis.
Persaingan dagang kemudian membuat hubungan itu renggang, karena
Portugis berhasrat untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah di Selat
Malaka. Karena itu pula Portugis berusaha menghentikan semua
pengangkutan rempah-rempah dari pelabuhan Aceh.
Malah, pada tahun 1520 Laksamana dan Raja Muda Portugis di Goa, Dirgo
Lopez De Sequeira mengancam dengan mengultimatum akan menyerang
kapal-kapal yang melakukan kontak dagang dengan Aceh. Aceh dan Portugis
pun menjadi musuh bubuyutan di selat Malaka.
Sembilan tahun kemudian (1529) Portugis ingin merebut pelabuhan Pidie
dan Pase yang menjadi bandar perdagangan rempah-rempah. Namun usaha
Portugis tersebut gagal. Raja Aceh berhasil menghalau Portugis untuk
kembali ke Malaka. Malah pada Desember 1529, kapal-kapal Aceh muncul di
depan Canannore di Pantai barat India, membantu armada Raja Kalicut yang
bertempur melawan angkatan laut Portugis di Goa.
Selanjutnya, menurut Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh, dalam tahun 1599
—saat itu Aceh dipimpin Sultan Alauddin Riayatsyah yang dikenal dengan
sebutan Sayid Al Mukammal (1588-1604)— Belanda datang ke Aceh merintis
perdagangan rempah-rempah.
Orang pertama Belanda yang datang ke Aceh itu adalah dua bersaudara
Cornelis de Houtman dan Frederik de Houtman. Keduanya diutus oleh
Zeewsche reeder Balthazar de Moecheron, Belanda. Keduanya datang dengan
dua kapal besar dan berlabuh di Pelabuhan Kerajaan Aceh.
Menyadari adanya misi dagang Belanda ke Aceh, Portugis yang sudah
duluan menduduki Malaka menghasut Kerajaan Aceh untuk tidak menerima
misi dagang Belanda itu. Pasalnya, Portugis tetap berkeinginan untuk
memonopoli perdagangan renpah-rempah. Apalagi waktu itu Portugis
bermusuhan dengan Belanda.
Raja Aceh pun terpengaruh, dua utusan dagang Belanda itu, Frederick
de Houtman dan Cornelis de Houtman ditahan. Karena negoisasi ekonomi
yang gagal maka Cornelis pun kemudian dibunuh. Sementara Frederick
ditangkap dan ditawan. Kedua kapal Belanda itu pun berlayar kembali ke
Middelburg, Belanda.
J Kreemer, seorang penulis Belanda dalam buku “Atjeh” menjelaskan,
pada November 1600 Paulus van Caerden, teman sepelayaran dengan Pieter
Both memerintahkan kembali dua buah kapal dari Brabantsche Compagnie
untuk merintis hubungan dagang dengan Aceh.
Paulus van Caerden berhasil membuat suatu perjanjian dagang dengan
Aceh, tapi karena saat itu Aceh masih terus dihasut oleh Portugis untuk
tidak bekerja sama deangan Belanda. Muatan rempah-rempah dibongkar
kembali dari kapal Belanda, mereka pun kembali ke Belanda tanpa hasil
apa-apa.
Saat itulah Federick de Houtman berhasil lari dari tawanan orang Aceh
dan naik ke kapal Van Caerden untuk melarikan diri. Tapi ia kemudian
mengurungkan niatnya dan kembali menyerahkan diri kepada Sultan Aceh.
Cerita tentang peristiwa tersebut terangkum dalam De Europeers in den
Maleishen Archipel, dan Het handelsverdrag van V Caerden, dalam buku J.E
Heeres: Corpus Diplomaticum. Sebuah catatan tentang diplomasi dagang
Belanda ke Malaka.
Pun demikian, Belanda terus berusaha untuk merintis perdagangan
rempah-rempah ke Aceh. Diminasi Portugis di Selat Malaka dalam
perdagangan ingin direbut Belanda. Karena pedagang pedagang dari Belanda
terus saja berdatangan ke Kerajaan Aceh untuk melakukan kontak dagang
hubungan dagang antara Aceh dan Portugis jadi putus.
Hubungan dagang Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Belanda pun resmi
terjalin pada tahun 1601. Ketika itu Raja Belanda, Print Maurist melalui
utusannya ke Aceh yang merintis kembali urusan dagang, mengirim sepucuk
surat serta hadiah-hadiah dari Kerajaan Belanda untuk Raja Aceh.
Pedagang-pedagang dari Belanda yang membawa surat dan hadiah tersebut
datang dari misi dagang Gerard le Roy dan Laurens Bicker dengan
beberapa buah kapal dari maskapai Zeeuw yang merupakan sebuah eskader
dari Middelburg.
Utusan Raja Belanda itu ipun diterima dengan baik oleh Raja Aceh.
Kepada mereka diberikan ijin mendirikan maskapai dagang untuk membeli
rempah-rempah di Aceh. Sementara Frederick de Houtman dan teman-temanya
yang ditahan oleh Sultan Aceh dibebaskan.
Ketika kapal Zeeuw berangkat dari Aceh membawa rempah-rempah ke
Belanda, Sultan Aceh mengirim utusannya ke Belanda dengan menumpang
kapal tersebut untuk menguatkan perjanjian persahabatan antara Aceh dan
Belanda. Utrusan Aceh yang dikirim Sultan Alauddin Riayatsyah al Mukamil
itu adalah, Abdul Hamid, duta besar Kerajaan Aceh, Laksamana Sri
Muhammad, Mir Hasan, dan seorang bangsawan Aceh, serta penerjemah
Leonard Werner.
Rombongan ini tiba di Belanda pada bulan Agustus 1602. kedatangan
mereka disambut besar-besaran. Pada 9 Agustus Duta besar Aceh, Abdul
Hamid meninggal di sana dan dimakamkan diperkarangan gereja St Pieter di
Middelburg, Zeeland. Sejarah pertemuan duta Aceh dengan Raja Belanda,
Print Maurist tersebut kemudian ditulis oleh Dr. J. J. F. Wap dalam buku
“Het gezantschap van den sultan van Achin (1602) aan Print Maurits van
Nassau en de Oud-Nederlandsche Republiek,” 1862.
Traktrat London
Pada 2 November 1872, lima bulan sebelum perang dipermaklumkan,
Belanda telah memperolah kekuasaan dari Inggris untuk berkuasa di
Sumatera. Aceh pun menggeliat, karena menilai Ingris telah mengingkari
perjanjian dengan Aceh pada tahun 1819 melalui Traktat London.
Dalam
Traktat London tersebut, Inggris menyatakan menghormati kemerdekaan
Aceh dan melindungi pelayaran di Selat Malaka. Karena itu pula Aceh
berlindung dibalik perjanjian tersebut. Tapi setelah 2 November 1872,
Inggris memberi kekuasaan kepada Belanda untuk berkuasa di Sumatera
dengan tidak akan ikut campur dengan urusan Sumatera, maka Traktat
London itu seakan tak lagi punya arti.
Belanda yang ingin menancapkan kekuasannya di Sumatera pun mulai
tidak menghormati kedaulatan Aceh. Mereka sering menggangu kapal-kapal
niaga yang akan berlabuh dari dan ke Aceh. Alasannya, memberantas
pembajakan dan lalu lintas perdagangan budak.
Padahal Belanda ingin memonopoli perdagangan rempah-rempah di Selat
Malaka.Untuk tujuan itu, Aceh harus di rebut. Berbagai surat pun dikirim
ke Sultan Aceh, tapi selalau dijawab dengan tegas, menolak campur
tangan Belanda dalam perdagangan di Aceh.
Karena itu pula, orang-orang Aceh sering merampas kapal Inggris,
Belanda, Italia dan Amerika yang melewati Selat Malaka. Alasannya,
kapal-kapal tersebut membawa rempah-rempah yang dibeli secara illegal di
berbagai pelabuhan di pantai Aceh bagian barat dan utara, serta membawa
barang seludupan.
Sikap Aceh terhadap Belanda semakin lama semakin bermusuhan. Khawatir
akan terjadi perang besar dengan belanda. Pada tahun 1868 Aceh
melakukan perundingan rahasia dengan Turki. Tapi Turki waktu itu sangat
terikat dengan Inggris, yang membutuhkan bantuan untuk melawan Rusia.
Diplomasi dengan Amerika
Tahun 1872 menjaleng penyerangan Belanda ke Aceh. Utusan Aceh
mengadakan perundingan rahasia dengan Konsul Jenderal Amerika dan Italia
di Singapura. Dalam pertemuan itu, Konsul jenderal Amerika di
Singapura, Mayor A.G Studer memberikan perhatian khusus terhadap
pertikaan Aceh dengan Belanda.
Ia mengatakan ingin terlibat membantu Aceh. Untuk itu Studer mengirim
kawat kepada Panglima skadron angkatan laut Amerika yang sedang
melakukan patroli di Laut Cina. Ia menginginkan agar kapal tersebut
terus melaju ke Singapura untuk membantu Aceh.
Sambil menunggu angkatan laut Amerika tersebut, Studer merancang
konsep perjanjian persahabatan antara Aceh dengan Amerika. Tapi usaha
Studer itu gagal, karena Menteri Luar Negeri Amerika saat itu, Hamilton
Fish, menolak untuk memberikan perhatian khusus pada persoalan Aceh
dengan Belanda.
Bahkan dalam suratnya kepada Duta Besar Amerika di Denhaag Belanda,
Hamilton menyebut Stuger sebagai konsul yang tolol. “Orang itu
(Stuger-red) benar-benar tolol,” tulis Hamilton dalam suratnya.
Diplomasi Aceh untuk bekerja sama dengan Amerika pun gagal. Padahal
Stuger dan utusan Aceh di Singapura, saat itu telah membuat konsep
perjanjian dalam bahasa Inggris dan Melayu.
Ternyata dalam pertemuan utusan Aceh dengan konsul Amerika dan Italia
di Singapura waktu itu, juga hadir seorang mata-mata Belanda yang
kemudian membocorkan rencana kerja sama Aceh dengan Amerika tersebut.
Belanda pun memaikan peran baru, memaklumatkan perang dengan Aceh,
karena tak ingin Aceh menjalin kerja sama dengan negara lainnya untuk
menghadapi Belanda.
Sejarah Aceh pun terus bergerak dari satu perang ke perang lainya.
Belanda mencatat sebagai perang terlama dan paling banyak menguras kas
negara, plus darah dan nyawa. Andai konsep perjanjian Aceh dengan
Amerika ditandatangani, mungkin simpul sejarah Aceh akan bergerak ke
arah lain
Sumber : [Pikiran Merdeka]
No comments:
Post a Comment
Berikan komentar Anda untuk menilai setiap isi postingan, Admin melarang keras komentar yang berisi hal Porno,SARA/Rasis.
Terimakasih