Suraiya Kamaruzzaman (Foto : aceh.tribunnews.com) |
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui lembaga yang bernaung di
bawahnya, United Nation Development Progamme (UNDP) menganugerahkan
penghargaan perdamaian kepada seorang aktivis HAM perempuan asal Aceh,
Suraiya Kamaruzzaman.
Penghargaan berkelas dunia itu diberikan untuk perempuan kelahiran Desa Lam U, Aceh Besar, 3 Juni 1968 ini karena perannya memperjuangkan dan mengkampanyekan hak korban kekerasan, terutama korban perempuan semasa konflik berdarah antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan TNI di Aceh.
Dalam surat elektroniknya yang diterima Serambi, Rabu (10/10), Suraiya menulis, penghargaan ini merupakan pengakuan terhadap perjuangan semua perempuan di masa konflik maupun dalam menjaga perdamaian yang sering kali tidak tercatat dan tidak diakui di seluruh wilayah Indonesia.
“Mereka berada di grass root (perempuan di akar rumput), di tempat terpencil atau di tengah kota dan berada di luar atau dalam lingkaran pengambilan keputusan, baik yang tercatat namanya atau tidak,” tulis Suraiya yang juga dosen Fakultas Teknik Unsyiah.
Menurutnya, prosesi penerimaan penghargaan diserahkan langsung oleh Presiden Filipina, Benigno S Aquino III di The New World Hotel, Makati City, Manila, Selasa 9 Oktober 2012. Ketika mengirimkan kabar gembiran itu ke Serambi, Suraiya masih di Manila.
Selain Suraiya, ada lima aktivis perempuan lainnya yang menerima penghargaan N-PEACE. Mereka adalah Quhramaana Kakar dan Farkhunda Zahra dari Afghanistan; Radha Paudel dari Nepal; Teresita Quintos Dalos dari Filipina; Rupika De Silva dari Sri Lanka; Sister Lourdes atau Mana Lou dari Timor Leste. Mereka terpilih dari 100 nominasi melalui pemilihan secara online yang melibatkan 55.000 kandidat di seluruh dunia.
Penghargaan khusus N-PEACE juga diberikan untuk pria yang mengadvokasi kesetaraan yaitu Sadhu Ram Sapkota dari Kementerian Perdamaian dan Rekonstruksi Nepal untuk Rencana Aksi Nasional hasil Resolusi PBB Nomor 1325 dan 1820.
Selain itu penghargaan N-PEACE untuk pendatang baru diterima oleh Amina Azimi, pendiri organisasi Pemberdayaan Wanita Penyandang Cacat di Afghanistan. Amina yang kehilangan kaki kirinya pada usia 11 tahun akibat ledakan sebuah roket ini melalui show radio Qahir-e-Qahraman menyebarluaskan pesan tentang hak dan kebutuhan para penyandang cacat.
Dari banyak aktivitas yang dilakukannya, Suraiya Kamaruzzaman termasuk salah satu aktivis perempuan Aceh yang gigih memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Ia juga adalah pendiri LSM Flower Aceh yang sudah hampir dua dasawarsa memperjuangkan hak-hak perempuan Aceh dan mereka korban konflik pasca-MoU Helsinki.
Dalam proses penguatan yang dilakukan, lembaganya juga mengumpulkan dan mencatat data kekerasan terhadap perempuan korban, meningkatkan kapasitas perempuan melalui training, memfasiliasi proses pengembangan ekonomi usaha kecil, mengembangkan program kesehatan alternatif melalui akupruser dan pengembangan tanaman obat tradisional (herbal).
Pascatsunami 2004, lembaganya bekerjasama dengan Solidaritas Perempuan mendirikan posko untuk membantu perempuan dan anak korban tsunami.
Suraiya gigih berjuang mengadvokasi hak perempuan Aceh korban kekerasan militer sekaligus kekerasan seksual di daerah konflik. Perjuangan Suraiya tak mudah. Sebab, Suraiya yang bersama teman-temannya dari Flower Aceh bekerja di wilayah basis yang sering terjadi kontak senjata antara TNI dan GAM. Suraiya bersama rekan-rekannya juga mendirikan Kelompok Kerja Transformasi Gender Aceh (1996), Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK) 1999, dan Balai Syura Ureung Inong Aceh (2000) di mana saat ini ia menjadi salah satu presidiumnya.
Dalam kiprahnya sebagai aktivis HAM perempuan, Suraiya juga pernah mendapatkan penghargaan Yap Thiam Hien pada 2001 atas jasanya membela hak-hak asasi manusia dan memberdayakan wanita. Seperti dikutip dari yapthiamhien.org, Suraiya sudah mulai berjuang membela hak-hak kaum perempuan sejak berusia 20 tahun, tepatnya di tahun ketiga kuliahnya di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh (1988-1989).
“Kami banyak belajar dari wanita-wanita pemberani yang pantang menyerah menghadapi konflik. Mereka bergeming dalam mempromosikan perdamaian dan dunia menjadi lebih baik karenanya” kata Sanny Jegillos, Koordinator Regional UNDP untuk Pencegahan dan Perbaikan Krisis, dalam keterangan tertulisnya, Selasa 9 Oktober 2012. (sar)
Penghargaan berkelas dunia itu diberikan untuk perempuan kelahiran Desa Lam U, Aceh Besar, 3 Juni 1968 ini karena perannya memperjuangkan dan mengkampanyekan hak korban kekerasan, terutama korban perempuan semasa konflik berdarah antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan TNI di Aceh.
Dalam surat elektroniknya yang diterima Serambi, Rabu (10/10), Suraiya menulis, penghargaan ini merupakan pengakuan terhadap perjuangan semua perempuan di masa konflik maupun dalam menjaga perdamaian yang sering kali tidak tercatat dan tidak diakui di seluruh wilayah Indonesia.
“Mereka berada di grass root (perempuan di akar rumput), di tempat terpencil atau di tengah kota dan berada di luar atau dalam lingkaran pengambilan keputusan, baik yang tercatat namanya atau tidak,” tulis Suraiya yang juga dosen Fakultas Teknik Unsyiah.
Menurutnya, prosesi penerimaan penghargaan diserahkan langsung oleh Presiden Filipina, Benigno S Aquino III di The New World Hotel, Makati City, Manila, Selasa 9 Oktober 2012. Ketika mengirimkan kabar gembiran itu ke Serambi, Suraiya masih di Manila.
Selain Suraiya, ada lima aktivis perempuan lainnya yang menerima penghargaan N-PEACE. Mereka adalah Quhramaana Kakar dan Farkhunda Zahra dari Afghanistan; Radha Paudel dari Nepal; Teresita Quintos Dalos dari Filipina; Rupika De Silva dari Sri Lanka; Sister Lourdes atau Mana Lou dari Timor Leste. Mereka terpilih dari 100 nominasi melalui pemilihan secara online yang melibatkan 55.000 kandidat di seluruh dunia.
Penghargaan khusus N-PEACE juga diberikan untuk pria yang mengadvokasi kesetaraan yaitu Sadhu Ram Sapkota dari Kementerian Perdamaian dan Rekonstruksi Nepal untuk Rencana Aksi Nasional hasil Resolusi PBB Nomor 1325 dan 1820.
Selain itu penghargaan N-PEACE untuk pendatang baru diterima oleh Amina Azimi, pendiri organisasi Pemberdayaan Wanita Penyandang Cacat di Afghanistan. Amina yang kehilangan kaki kirinya pada usia 11 tahun akibat ledakan sebuah roket ini melalui show radio Qahir-e-Qahraman menyebarluaskan pesan tentang hak dan kebutuhan para penyandang cacat.
Dari banyak aktivitas yang dilakukannya, Suraiya Kamaruzzaman termasuk salah satu aktivis perempuan Aceh yang gigih memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Ia juga adalah pendiri LSM Flower Aceh yang sudah hampir dua dasawarsa memperjuangkan hak-hak perempuan Aceh dan mereka korban konflik pasca-MoU Helsinki.
Dalam proses penguatan yang dilakukan, lembaganya juga mengumpulkan dan mencatat data kekerasan terhadap perempuan korban, meningkatkan kapasitas perempuan melalui training, memfasiliasi proses pengembangan ekonomi usaha kecil, mengembangkan program kesehatan alternatif melalui akupruser dan pengembangan tanaman obat tradisional (herbal).
Pascatsunami 2004, lembaganya bekerjasama dengan Solidaritas Perempuan mendirikan posko untuk membantu perempuan dan anak korban tsunami.
Suraiya gigih berjuang mengadvokasi hak perempuan Aceh korban kekerasan militer sekaligus kekerasan seksual di daerah konflik. Perjuangan Suraiya tak mudah. Sebab, Suraiya yang bersama teman-temannya dari Flower Aceh bekerja di wilayah basis yang sering terjadi kontak senjata antara TNI dan GAM. Suraiya bersama rekan-rekannya juga mendirikan Kelompok Kerja Transformasi Gender Aceh (1996), Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK) 1999, dan Balai Syura Ureung Inong Aceh (2000) di mana saat ini ia menjadi salah satu presidiumnya.
Dalam kiprahnya sebagai aktivis HAM perempuan, Suraiya juga pernah mendapatkan penghargaan Yap Thiam Hien pada 2001 atas jasanya membela hak-hak asasi manusia dan memberdayakan wanita. Seperti dikutip dari yapthiamhien.org, Suraiya sudah mulai berjuang membela hak-hak kaum perempuan sejak berusia 20 tahun, tepatnya di tahun ketiga kuliahnya di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh (1988-1989).
“Kami banyak belajar dari wanita-wanita pemberani yang pantang menyerah menghadapi konflik. Mereka bergeming dalam mempromosikan perdamaian dan dunia menjadi lebih baik karenanya” kata Sanny Jegillos, Koordinator Regional UNDP untuk Pencegahan dan Perbaikan Krisis, dalam keterangan tertulisnya, Selasa 9 Oktober 2012. (sar)
Sumber : Serambinews
No comments:
Post a Comment
Berikan komentar Anda untuk menilai setiap isi postingan, Admin melarang keras komentar yang berisi hal Porno,SARA/Rasis.
Terimakasih