Lambang Kesultanan Deli |
Dalam Hikayat Deli, cerita bermula ketika Muhammad Dalik
berlayar dari tanah Hindustan menuju Cina untuk mempelajari budaya di
sana. Muhammad Dalik atau yang dikenal dengan Muhammad Delikhan
merupakan keturunan Raja Hindustan dan memiliki hubungan darah dengan
Alexander The Great (Raja Makedonia). Di tengah perjalanan, kapalnya
karam dihantam badai di Pasai (Aceh).
Di masa awal kehidupannya di Pasai, Dalik mempelajari ilmu bela diri.
Disebutkan juga bahwa dia sudah menanggalkan segala macam kebiasaan
buruknya. Dan suatu hari, Sultan Iskandar Muda dari Kesultanan Aceh
Darussalam mendengar tentang keberanian dan kegagahan Dalik. Muhammad
Dalik kemudian dititah menghadap Sultan untuk menerima gelar “Laksamana Kodja Bintan”.
Selang beberapa purnama setelah pergelarannya itu, Sultan Iskandar
Muda kembali menguji kekuatan dan kegagahan Muhammad Dalik. Sultan
bertitah agar Muhammad Dalik mengalahkan seekor gajah yang bernama
“Gandasuli”.
Alangkah takjubnya Sultan ketika itu. Dengan mudah, Muhammad Dalik
dapat mengalahkan gajah yang mengamuk itu dalam waktu sekejap. Sultan
pun bermusyawarah dengan orang-orang besarnya. Mereka berpikir bahwa
Muhammad Dalik pantas mendapat gelar yang lebih tinggi dari gelaran
sebelumnya.
Setelah bulat keputusan Sultan, Muhammad Dalik pun dititah menghadap.
Dia lalu dikaruniakan gelar “Tuanku Panglima Gotjah Pahlawan”. Gelar
ini lebih tinggi dari gelar yang sebelumnya. Dia juga diberikan
persalinan lengkap berupa pakaian adat kebesaran tujuh ceper, yaitu
tengkulok, baju, selempang, celana, bengkong, samping, keris, dan
perhiasan. Pakaiannya terlihat mewah dan mengesankan. Perhiasan yang
menggantung dibuat dari mutiara. Bajunya disulam benang emas bercorak
bunga lotus. Sampingnya diperindah dengan simbol-simbol bercorak bunga.
Celananya pula sangat unik. Dia pun menggunakan keris yang diselitkan di
antara bengkong yang pendingnya bertatahkan bermacam-macam batu
permata.
Sultan Iskandar Muda kala itu ingin memperluas daerah kekuasaannya
dengan cara menjajah negeri-negeri Pahang dan sekitarnya. Pada suatu
hari bertuah, tahun 1600-an, diadakanlah upacara adat yang sakral seraya
meminta rahmat dari Tuhan untuk mengelakkan segala marabahaya dan
kekalahan dalam perang menaklukkan Pahang. Kemudian, armada Kerajaan
Aceh pun bertolak menuju Pahang dengan Muhammad Dalik sebagai kepala
perang.
Muhammad Dalik singgah di Siak. Dia mengirim surat kepada Raja Siak
untuk diperbolehkan menghadap, yang kemudian diterima dan disambut
dengan segala kebesaran dan keagungan.
Muhammad Dalik kemudian menyampaikan pesan bahwasanya Sultan Iskandar
Muda yang bergelar “Alam Shah” (penguasa seluruh alam) berkehendak
untuk menguasai seluruh negeri Melayu. Raja Siak pun bersetuju untuk
mengikuti Muhammad Dalik. Raja mengatakan bahwa pasukannya di bawah Raja
Aceh akan menaklukkan Kesultanan Malaka dan segala negeri-negeri tanah
Melayu. Dalik pun memohon kepada Raja Siak dan berkata “Jangan
permalukan patik dengan Portugis.”
Kala itu Portugis mampu menduduki Tanah Malaka. Jika Portugis mampu,
bagaimana pula Muhammad Dalik tak mampu, pikir sang panglima.
Muhammad Dalik juga kemudian singgah di Kedah, Perak, dan Selangor.
Di tiap-tiap negeri yang disinggahinya, dia selalu mendapat penerimaan
yang baik dan meriah. Di Selangor pula raja dan menteri-menterinya
bersepakat untuk mengirimkan pasukannya untuk bergabung dengan pasukan
Dalik.
Pasukan-pasukan mereka pun melanjutkan perjalanan menuju Johor. Raja
Johor takut akan kekalahan jika mesti berperang melawan Pasukan Aceh.
Sebab, jumlahnya sangatlah banyak, yang terdiri dari macam-macam pasukan
negara-negara lain.
Takut kehilangan negerinya, Kerajaan Johor juga bersetuju untuk
menggabungkan pasukannya dengan Pasukan Aceh dan Selangor. Kemudian
pasukan gabungan ketiga negeri ini pun bergerak menuju Pahang.
Raja Pahang sudah mengetahui bahwa pasukan Aceh di bawah pimpinan
Muhammad Dalik akan datang untuk menaklukkan negerinya. Raja tak ingin
mendapat malu karena tak mampu berperang melawan pasukan Aceh. Karena
itu, sedari awal dia sudah bersepakat dengan menteri-menterinya untuk
melawan pasukan Muhammad Dalik. Pasukan Kerajaan Pahang juga sudah siap
sedia dari sebelum hari Muhammad Dalik tiba di Pahang.
Tiba di Pahang, perang pun bergolak antara pasukan Kerajaan Pahang
dengan pasukan Muhammad Dalik yang terdiri dari berbagai negara. Pasukan
Pahang perlahan-lahan jatuh kalah. Korban banyak bergelimpangan. Negeri
Pahang huru-hara tak menentu. Pasukan Muhammad Dalik pun menang,
“laksana harimau selesai menikmati perburuannya”.
Melihat kekalahan telak ini, Raja Pahang menyerah kalah dan
menawarkan dua puterinya untuk dinikahkan dengan Raja Aceh. Keesokan
harinya, Muhammad Dalik dititah menghadap ke istana Raja Pahang dengan
sambutan resmi.
Payung kuning kerajaan diatur bersusun ke hadapan menyambut
kedatangan Muhammad Dalik, begitu pula tombak-tombak dan segala
perangkat-perangkat istiadat Kerajaan Pahang. Muhammad Dalik pun berkata
di atas kekalahan Pahang terhadap Aceh:
“Segala orang besar-besar, menteri-menteri, kepala istiadat, dan
setiausaha-setiausaha, tinggallah di Pahang. Hukum dan adat istiadat
akan tetap dipimpin oleh Raja Pahang.”
Muhammad Dalik kemudian berkirim surat dengan Raja Aceh tentang
kemenangannya melawan Kerajaan Pahang. Saat kembali ke Aceh, lagi-lagi
dia disambut dengan pesta dan kebesaran yang penuh adat istiadat.
Sultan Iskandar Muda kemudian bertitah bahwa dia menjamin bahwa
segala hukum serta adat istiadat dari semua negeri yang kalah dalam
perang melawan kerajaannya tidak akan diubah, dan hanya Allah-lah yang
akan membalas bakti mereka.
Selanjutnya, dua putri Raja Pahang dinikahkah dengan petinggi Aceh;
satu dengan Sultan Iskandar Muda dan satu lagi dengan Muhammad Dalik.
Pesta pernikahan dilaksanakan dengan adat istiadat Melayu yang lengkap.
Raja Selangor sangat dipuji karena keberanian dan kesopanannya. Dia
kemudian ditunjuk menjadi Wali Sultan Aceh untuk daerah Semenanjung
(Malaysia sekarang). Sultan Aceh pun mengkaruniakan kepadanya
seperangkat persalinan yang lengkap dan melantik beberapa pembesar
negeri di sana.
Kemudian, Muhammad Dalik kemudian berangkat lagi ke Semenanjung,
menuju Kelantan. Dia mengirim surat ultimatum kepada Raja Kelantan.
Surat ultimatum itu diterima oleh menteri-menteri diraja Kelantan.
Mereka kemudian bersepakat untuk menyembahkan surat itu kepada raja.
Takut kehilangan negeri serta rakyat-rakyatnya, Raja Kelantan lalu
memutuskan untuk tunduk di bawah kekuasaan Kerajaan Aceh. Dia pun lantas
turut mengirimkan pasukannya untuk ikut berperang melawan Malaka.
Muhammad Dalik juga berhenti di Terengganu dan Pattani. Di Pattani
inilah kemudian Muhammad Dalik menyusun strategi bersama
pasukan-pasukannya untuk menyerbu Malaka.
Setelah berhari-hari dalam perjalanan, Muhammad Dalik dan ribuan
pasukannya sampai di Malaka. Malaka diserang dari laut dan darat.
Akhirnya, pasukan Malaka kalah dan banyak rakyat-rakyatnya menjadi
korban, bahkan ada juga yang hilang melarikan diri ke hutan.
Perayaan besar kemudian diadakan sempena kemenangan ini. Orang
besar-besar Malaka yang menyerah kalah turut diundang dan dikaruniakan
persalinan yang lengkap. Setelah itu, Muhammad Dalik pergi ke Kemuja dan
meninggalkan beberapa pasukannya untuk menjaga Malaka.
Di Kemuja pula, sang raja telah memutuskan untuk menyerbu Aceh. Raja
Kemuja tidak sepakat dengan perdana menterinya yang lebih memilih untuk
tunduk kepada Aceh daripada harus kalah melepas nyawa dan kehilangan
negeri.
Perang pun kemudian terjadi. Akan tetapi, serdadu Raja Kemuja sangat
buruk dalam berperang. Raja Kemuja kemudian sadar bahwa dia membawa
negerinya pada kerugian yang sangat amat besar. Dan tersebutlah syair
ini:
“Suara guntur, gemuruh, dan menggelegar. Hujan panas turun, gerimis
di pita. Angin naik, meniup lembut, dan semua daun terkulai jatuh dari
pohon seperti pangeran yang mati. Ayam tidak berkokok, tanda bahwa raja
besar akan mati.”
Setelah Raja Kemuja terbunuh, banyak rakyatnya yang menangis dan
meratap. Orang-orang besar Kemuja kemudian menghentikan peperangan. Raja
Kemuja lalu dikuburkan dan Muhammad Dalik menenangkan suasana duka di
Kerajaan Kemuja dengan kata-kata yang manis.
Berita kemenangan Aceh melawan Kemuja pun telah sampai di telinga
Sultan Iskandar Muda. Muhammad Dalik pulang ke Aceh dan disambut dengan
pesta meriah, sebagaimana biasanya. Dalik lalu dikaruniakan gelar
“Seripaduka”.
Beberapa bulan kemudian, Sultan Aceh dan orang besar-besarnya
memutuskan untuk mengirim Muhammad Dalik ke Bangkahulu (Bengkulu kini).
Di Bangkahulu, Muhammad Dalik tidak berperang. Dia menculik Raja
Bangkahulu dan membawanya ke Aceh tanpa sepengetahuan sesiapa pun di
Bangkahulu.
Rakyat Bangkahulu berduka karena kehilangan rajanya. Di Aceh pula,
Sultan Iskandar Muda meyakinkan Raja Bangkahulu bahwa adat istiadat di
Bangkahulu tidak akan diubah. Hanya saja, Kerajaan Bangkahulu harus
tunduk di bawah perintah-perintah Raja Aceh. Raja Bangkahulu kemudian
setuju, dan dia diantar pulang ke Bangkahulu dengan pasukan pengawal
Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Muhammad Dalik.
Kemudian, Muhammad Dalik dan pasukannya berkehendak untuk menyerang
Kerajaan Sambas (di Kalimantan Barat kini). Namun, peperangan terhenti
di tengah jalan. Sebab, Muhammad Dalik mendapatkan sepucuk surat yang
dikirimkan oleh seseorang yang berisi pesan bahwa Sultan Aceh memiliki
hubungan asmara secara diam-diam dengan istri Muhammad Dalik.
Berita ini membuat Muhammad Dalik sangat kecewa dan bersedih hati.
Dia tidak menyangka hal ini terjadi. Kalaulah para raja-raja yang telah
tunduk di bawah Raja Aceh tahu akan takdir seorang Muhammad Dalik ini,
yang loyalitasnya sangat tinggi kepada Raja Aceh, pastilah semua
raja-raja yang tunduk itu akan berkhianat.
Muhammad Dalik pulang ke Aceh. Dia sadar bahwa sangat tidak pantas
untuk melakukan pengkhianatan. Dia kemudian pergi menghadap Sultan,
menyampaikan bahwa segala tugasnya sudah selesai dan pengabdiannya
berhenti di sini. Dan dia tidak lagi menerima perintah-perintah Sultan.
Muhammad Dalik juga telah menceraikan istrinya. Dia tawarkan mantan
istrinya itu untuk menjadi pemijat kaki Sultan.
Setelah itu Muhammad Dalik pergi berlayar meninggalkan Aceh. Kesedihannya terus ia senandungkan semasa dalam pelayarannya.
“Bulan, menyebarkan cahayanya, menyinari segalanya. Burung, dengan
suara yang merdu, menangis dengan rindu kepada bulan, seperti seorang
wanita yang ditinggalkan, meratapi cintanya.” Sesekali air matanya jatuh
di pangkuan.
Beberapa lama dalam pelayaran, sampailah ia di Percut, sebuah wilayah
di pinggir bibir pantai Sumatera Timur. Raja di sana dikenal dengan
nama Tengku Kejuruan Hitam. Sebuah pesta penyambutan diadakan untuk
Muhammad Dalik karena Tengku Kejuruan Hitam tahu siapa Muhammad Dalik
dan apa posisinya di Aceh sebelumnya. Raja Percut kemudian meminta
Muhammad Dalik supaya tinggal dan menetap di Percut.
Muhammad Dalik lalu meminta izin untuk mengunjungi kota-kota di
sekitar Percut, seperti Kota Jawa, Pulo Berayan, Kota Rentang, dan
Kampung Kesawan. Semua daerah ini adalah yang kini termasuk dalam
wilayah Deli (kini di Sumatera Utara, Indonesia).
Sekembalinya Muhammad Dalik dari mengunjungi daerah-daerah itu, Raja
Percut berkonsultasi dengan orang besar-besarnya untuk menikahkan
Muhammad Dalik dengan anak perempuannya. Raja Percut menawarkan seluruh
wilayah Percut untuk Muhammad Dalik. Tanpa berlama-lama, Muhammad Dalik
setuju akan tawaran Tengku Kejuruan Hitam. Pesta pernikahan pun
dilangsungkan secara besar dan meriah.
Kehidupan Muhammad Dalik semakin membaik setelah pernikahannya. Dia
meminta izin kepada Tengku Kejuruan Hitam untuk membuka sebuah kampung
di dekat Gunung Kelaus.
Kemudian, dia izinkan orang-orang Batak yang turun dari gunung untuk
membuka pemukiman di sekitar wilayahnya. Perkampungan di situ semakin
meluas dan semakin ramai.
Suatu hari, diketahui bahwa istri Muhammad Dalik sedang mengandung.
Setelah melahirkan, ternyata anaknya seseorang lelaki yang tampan
rupanya. Anak dari Tuanku Gotjah Pahlawan Ibni Tuanku Muhammad Delikhan
Ibni Tuanku Zulqarni Bahatsid Segh Maturulluddin Hindustan yang bergelar
Seripaduka Percut Sungai Lalang ini kemudian diberi nama Tengku
Parunggit. Tengku Parunggitlah yang menjadi keturunan pertama Raja-Raja
Deli hingga detik ini.
* Disarikan dari Hikayat Deli yang ditulis pada pertengahan abad ke-18 oleh seorang pujangga dalam lingkungan Kesultanan Deli.
Sumber : Lenteratimur
No comments:
Post a Comment
Berikan komentar Anda untuk menilai setiap isi postingan, Admin melarang keras komentar yang berisi hal Porno,SARA/Rasis.
Terimakasih