Jakarta | "Sekali merdeka, tetap merdeka...!" Hampir 65
tahun silam, pekik pengobar semangat itu diucapkan berkali-kali oleh
penyiar radio Rimba Raya. Saat itu, hari Minggu, 26 Desember 1948,
sekitar pukul lima sore, radio Rimba Raya pertama kali mengudara.
Dinamai demikian karena radio tersebut menyiarkan informasi dari tengah
hutan belantara Aceh, tepatnya di Desa Rime Jaya, dataran tinggi Gayo,
Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah.
Sejak pertama mengudara, radio Rimba Raya menggunakan enam bahasa sebagai pengantar siaran. Selain Indonesia, ada bahasa Inggris, Belanda, Cina, Urdu, serta Arab. Mulai hari kedua, radio ini menambah bahasa lokal Aceh dalam siarannya. Siaran dalam berbagai bahasa itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa Republik Indonesia masih ada, pun demikian tentaranya masih gigih berjuang.
Pesan inilah yang saat itu akan disampaikan kepada seluruh dunia, di samping untuk mengimbangi propaganda penjajah Belanda, yang sepekan sebelumnya melancarkan agresi militer kedua. Radio Herventzent milik Belanda di Jakarta, saat itu bernama Batavia, serta radio Hilversum, memberitakan bahwa Republik Indonesia tidak ada lagi karena Ibu Kota Yogyakarta telah dikuasai Belanda.
Penggagas Radio Rimba Raya
Keberadaan radio Rimba Raya tak lepas dari sosok Kolonel Husein Yusuf. Panglima Divisi X Komandemen Sumatera Langkat dan Taha Karo itulah penggagas pendirian sekaligus pemimpin radio itu. Husein juga berperan mengatur strategi menghadapi agresi militer Belanda di wilayah tersebut.
Radio Rimba Raya sejatinya adalah Radio Republik Indonesia darurat, yang saat itu identik sebagai radio Divisi X Komandemen Sumatera. Pada pertengahan 1947, pasca-agresi pertama Belanda, pemancar radio ini sempat berpindah tempat beberapa kali, sebelum akhirnya didirikan di Rime Jaya, dan dinamai radio Rimba Raya.
Pemancar sempat dipasang di Krueng Simpo, 20 kilometer dari Bireuen ke arah Takengon. Studionya berada di salah satu kamar di rumah Kolonel Husein di Kota Bireuen. Pemancar juga pernah dipasang di Cot Gue, Koetaradja, Banda Aceh, yang kala itu menjadi pusat pemerintahan Aceh dan Sumatera Utara.
Sayangnya, setelah terpasang, radio tak sempat mengudara karena, pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresi keduanya. Sehari kemudian, Gubernur Teungku Daud Beureueh menginstruksikan agar pemancar dipindah ke tempat aman. "Itu tugas Divisi X," kata sejarawan Mukhtar Ibrahim saat ditemui di Takengon akhir pekan lalu.
Namun mencari tempat aman dan mendirikan pemancar bukan perkara mudah karena harus menghindari mata-mata Belanda. Apalagi hampir seluruh Sumatera timur dan wilayah lain saat itu sudah dikuasai penjajah. Hanya Aceh yang belum dicengkeram meski tentara Belanda sudah masuk ke wilayah itu.
Dipindah Menembus Hutan
Pemindahan pemancar ke Rime Jaya, atas usul Kolonel Husein, menurut Mukhtar, sudah tepat. Namun, konsekuensinya, pasukan Divisi X harus menyiapkan peralatan karena sulit mendirikan pemancar radio di hutan belantara, yang tidak ada aliran listrik. "Butuh perjuangan sangat keras," ujarnya. "Sebab, kalau di hutan, perlu daya pancar siaran sekitar 1,5 kilowatt."
Saksi mata di Rime Jaya, Tukiran, menuturkan, sebelum dipasang, pemancar dibawa menembus hutan sejauh 12 kilometer untuk menghindari mata-mata Belanda. Tiba di Rime Jaya pukul 01.00, Kolonel Husein dan pasukannya langsung menemui Raja Kasah, penguasa setempat yang juga ayah kandung Tukiran.
Raja Kasah pun membantu mencarikan lokasi pemancar agar radio bisa segera memancarkan siaran. Agar hal itu tidak bocor, Raja Kasah dan Kolonel Husein membuat janji dengan 17 kepala keluarga di Rime Jaya.
"Sekali merdeka, tetap merdeka, kata Kolonel Husein dalam bahasa Aceh kepada warga," kata Tukiran, yang kini berusia 71 tahun.
Pemancar akhirnya terpancang dengan tinggi hanya 8 meter dan mengandalkan kayu setebal 12 cm. Sebuah gubuk kayu didirikan untuk menampung peralatan sekaligus studio cadangan dari studio utama yang berada di rumah Husein di Bireuen.
Untuk mendukung siaran dalam berbagai bahasa, saat itu radio Rimba Raya dibantu sejumlah kawan Husein yang menjadi tenaga penyiar, antara lain W Schultz, bekas tentara Inggris yang desersi dan membela pejuang Indonesia, Syarifuddin, Agus Sam, serta Ummi Salmah.
"Tiap satu penyiar itu satu bahasa," tutur Mukhtar Ibrahim.
Pada 26 Desember 1948, radio Rimba Raya pun mengudara. Ali Rasyid Djuri, keluarga Kolonel Husein, menceritakan siaran radio itu bisa diterima di Malaysia, Saigon (Vietnam), Australia, hingga negara Eropa, seperti Inggris dan Belgia. Berkat siarannya, dunia internasional akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia. Belanda pun menyerah dan menghentikan aksi propagandanya.
Sejak pertama mengudara, radio Rimba Raya menggunakan enam bahasa sebagai pengantar siaran. Selain Indonesia, ada bahasa Inggris, Belanda, Cina, Urdu, serta Arab. Mulai hari kedua, radio ini menambah bahasa lokal Aceh dalam siarannya. Siaran dalam berbagai bahasa itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa Republik Indonesia masih ada, pun demikian tentaranya masih gigih berjuang.
Pesan inilah yang saat itu akan disampaikan kepada seluruh dunia, di samping untuk mengimbangi propaganda penjajah Belanda, yang sepekan sebelumnya melancarkan agresi militer kedua. Radio Herventzent milik Belanda di Jakarta, saat itu bernama Batavia, serta radio Hilversum, memberitakan bahwa Republik Indonesia tidak ada lagi karena Ibu Kota Yogyakarta telah dikuasai Belanda.
Penggagas Radio Rimba Raya
Keberadaan radio Rimba Raya tak lepas dari sosok Kolonel Husein Yusuf. Panglima Divisi X Komandemen Sumatera Langkat dan Taha Karo itulah penggagas pendirian sekaligus pemimpin radio itu. Husein juga berperan mengatur strategi menghadapi agresi militer Belanda di wilayah tersebut.
Radio Rimba Raya sejatinya adalah Radio Republik Indonesia darurat, yang saat itu identik sebagai radio Divisi X Komandemen Sumatera. Pada pertengahan 1947, pasca-agresi pertama Belanda, pemancar radio ini sempat berpindah tempat beberapa kali, sebelum akhirnya didirikan di Rime Jaya, dan dinamai radio Rimba Raya.
Pemancar sempat dipasang di Krueng Simpo, 20 kilometer dari Bireuen ke arah Takengon. Studionya berada di salah satu kamar di rumah Kolonel Husein di Kota Bireuen. Pemancar juga pernah dipasang di Cot Gue, Koetaradja, Banda Aceh, yang kala itu menjadi pusat pemerintahan Aceh dan Sumatera Utara.
Sayangnya, setelah terpasang, radio tak sempat mengudara karena, pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresi keduanya. Sehari kemudian, Gubernur Teungku Daud Beureueh menginstruksikan agar pemancar dipindah ke tempat aman. "Itu tugas Divisi X," kata sejarawan Mukhtar Ibrahim saat ditemui di Takengon akhir pekan lalu.
Namun mencari tempat aman dan mendirikan pemancar bukan perkara mudah karena harus menghindari mata-mata Belanda. Apalagi hampir seluruh Sumatera timur dan wilayah lain saat itu sudah dikuasai penjajah. Hanya Aceh yang belum dicengkeram meski tentara Belanda sudah masuk ke wilayah itu.
Dipindah Menembus Hutan
Pemindahan pemancar ke Rime Jaya, atas usul Kolonel Husein, menurut Mukhtar, sudah tepat. Namun, konsekuensinya, pasukan Divisi X harus menyiapkan peralatan karena sulit mendirikan pemancar radio di hutan belantara, yang tidak ada aliran listrik. "Butuh perjuangan sangat keras," ujarnya. "Sebab, kalau di hutan, perlu daya pancar siaran sekitar 1,5 kilowatt."
Saksi mata di Rime Jaya, Tukiran, menuturkan, sebelum dipasang, pemancar dibawa menembus hutan sejauh 12 kilometer untuk menghindari mata-mata Belanda. Tiba di Rime Jaya pukul 01.00, Kolonel Husein dan pasukannya langsung menemui Raja Kasah, penguasa setempat yang juga ayah kandung Tukiran.
Raja Kasah pun membantu mencarikan lokasi pemancar agar radio bisa segera memancarkan siaran. Agar hal itu tidak bocor, Raja Kasah dan Kolonel Husein membuat janji dengan 17 kepala keluarga di Rime Jaya.
"Sekali merdeka, tetap merdeka, kata Kolonel Husein dalam bahasa Aceh kepada warga," kata Tukiran, yang kini berusia 71 tahun.
Pemancar akhirnya terpancang dengan tinggi hanya 8 meter dan mengandalkan kayu setebal 12 cm. Sebuah gubuk kayu didirikan untuk menampung peralatan sekaligus studio cadangan dari studio utama yang berada di rumah Husein di Bireuen.
Untuk mendukung siaran dalam berbagai bahasa, saat itu radio Rimba Raya dibantu sejumlah kawan Husein yang menjadi tenaga penyiar, antara lain W Schultz, bekas tentara Inggris yang desersi dan membela pejuang Indonesia, Syarifuddin, Agus Sam, serta Ummi Salmah.
"Tiap satu penyiar itu satu bahasa," tutur Mukhtar Ibrahim.
Pada 26 Desember 1948, radio Rimba Raya pun mengudara. Ali Rasyid Djuri, keluarga Kolonel Husein, menceritakan siaran radio itu bisa diterima di Malaysia, Saigon (Vietnam), Australia, hingga negara Eropa, seperti Inggris dan Belgia. Berkat siarannya, dunia internasional akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia. Belanda pun menyerah dan menghentikan aksi propagandanya.
Sumber : Detik
No comments:
Post a Comment
Berikan komentar Anda untuk menilai setiap isi postingan, Admin melarang keras komentar yang berisi hal Porno,SARA/Rasis.
Terimakasih