Anonymous Aceh

Pages

  • Home
  • Facebook
  • Twitter
  • Aceh
  • Unique
  • Techno
  • Komputer
  • Download
  • Software
  • Movie
  • Musik
  • Game

Adsense

Sunday, May 27, 2012

Mencari Aceh di Tepian Sungai Melaka


Tiba-tiba saja saya seperti terlempar ke masa 500 tahun silam. Bangunan-bangunan kuno dengan dinding dan tiang penyangga yang kokoh bertebaran sejauh mata memandang. Ada yang berbentuk pertokoan, masjid hingga gereja tua. Di antara bangunan-bangunan kuno itu mengalir sebuah sungai yang membelah kota menjadi dua bagian.
Sungai Melaka. Di sinilah saya berada kini. Berdiri di tepi sungai ini pada sebuah sore akhir April lalu, saya seperti menyaksikan pasukan Aceh yang gagah berani merangsek lewat Sungai Melaka dan menyerbu pasukan Portugis ketika menguasai Melaka pada tahun 1511-1641. Sayang, tak ada diaroma atau simbol-simbol Aceh lain di tepi sungai itu, kecuali replika sebuah kapal Portugis yang dijadikan sebagai mesium dan mencantumkan kata "Acheh" dalam penggalan kisah-kisah yang dipajang di dinding kapal.
Di seberang sungai, di ujung jalan Laksamana berdiri kokoh sebuah gereja yang dibangun tahun 1759. Inilah kawasan bersejarah yang disebut Red Square yang merekam jejak penjajahan Portugis, Belanda dan Inggris di Melaka.
Tak jauh dari gereja berdiri Stadthuys. Ini adalah adalah gedung yang digunakan sebagai pusat pemerintahan pada masa Portugis dan Belanda. Di depannya berdiri tegak sebuah tugu berhias air mancur yang didirikan untuk mengenang Ratu Inggris.
Tak jauh dari sana, berdiri Benteng Famosa, benteng yang dibangun Laksamana Portugis Alfonso D'Alboquerque ketika menduduki Melaka sejak Agustus 1511. Benteng itu dibiarkan berlumut tanpa sentuhan cat modern untuk menjaga kesan kunonya.


Di kawasan inilah para turis asing dan lokal tumpah ruah pada akhir pekan. Di setiap bangunan itu, pemerintah setempat membangun museum mulai dari Museum Stadthuys, Museum A'Famosa, Bukit St Paul (reruntuhan dari Gereja St. Paul) sampai Museum Samudera yang merekam sejarah Melaka dari lima zaman: era Kesultanan Melayu Melaka (1400-1511), era penjajahan Portugis (1511-1641), era Belanda (1641-1795) dan era Inggris (1824-1957) hingga masa kemerdekaan sejak 1957.

Sungai Malaka kini menjadi salah satu lokasi wisata. Sungai yang sebelumnya kumuh dan berisi sampah yang mengapung, disulap menjadi lokasi wisata yang disebut "Melaka River Cruise". Sore itu, boat-boat kecil hilir mudik mengangkut wisatawan mengarungi sungai yang menyimpan jejak sejarah Malaka. "Sungai Malaka kini menghasilkan uang untuk kami. Dulu sungai ini kumuh. Sekarang orang-orang menjaganya tetap bersih, kerana dari sana orang-orang mendapat uang," kata Usman, supir taxi yang mengantar saya ke penginapan.



Di jalanan, ratusan turis berseliweran. Ada yang berwajah bule, china dan Melayu. Mereka datang dengan gaya khas masing-masing. Bule asing kebanyakan mengenakan celana pendek dengan tas dipunggung khas backpacker, China mengenakan celana pendek di atas lutut, dan yang Melayu kebanyakan mengenakan jilbab dan baju kurung. Meski dikenal pernah menjadi salah satu kerajaan Islam tertua di Semenanjung Melayu, Tak ada polisi syariah yang memburu para bule untuk memaksa mereka memakai kerudung, ataupun melakapkan sebutan "kaphee" pada para pelancong yang punya keyakinan berbeda.
Di ujung jalan, di samping sebuah surau sejumlah polisi wisata berdiri dengan wajah ramah dan memamer senyum kepada wisatawan yang melintas di depan mereka. Uniknya, polisi-polisi wisata itu memakai memakai sepada dan kuda sebagai tunggangannya. Mereka siap membantu turis asing pejalan kaki untuk sekedar menunjuk arah jalan atau memandu peta bagi sang turis.

Di seberang sungai, ada Jalan Hang Jebat atau sering disebut Jonker Street. Inilah jalannya para turis. Di sepanjang jalan berdiri toko-toko yang menjajakan minuman seperti bir atau wine untuk memanjakan para turis asing. Suasana persis jalan Malioboro di  Yogyakarta, atau jalan Jaksa di Jakarta. "Minuman itu hanya dijual untuk orang asing, tidak untuk orang muslim," ujar Muhammad Jefri, pria asal Pahang yang membawa saya berkeliling dengan becak hiasnya.


Sejak ditetapkan sebagai oleh badan PBB UNESCO sebagai salah satu World Heritage - warga setempat menyebutnya Tapak Warisan Dunia--pada 2008 lalu, Melaka menjadi salah satu daerah tujuan wisata dunia. Bukan karena keindahan alamnya, tapi karena sejarah yang terawat.
Karena sejarah itu pula saya memutuskan menjejakkan kaki ke kota yang berjarak sekitar dua jam perjalanan dengan bus dari Kuala Lumpur ini. Telah lama saya mendengar Aceh pernah berjaya di Malaka. Dalam sebuah literatur disebutkan Aceh bahkan pernah menjadi penguasa Malaka selama 8 bulan.
Dalam catatan sejarah yang digantung di dinding-dinding sejumlah museum di Malaka, disebutkan negeri ini didirikan oleh Raja Parameswara, pangeran dari Kerajaan Sriwijaya sekitar tahun 1400. Parameswara kemudian menjadi pemeluk Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Iskandar Syah. Malaka kemudian mencatatkan dirinya sebagai kerajaan Islam kedua setelah Samudra Pasai.

Muhammad Iskandar Syah, putra Parameswara naik tahta setelah ayahnya. Di tangannya, Malaka kian ramai sebagai jalur perdagangan dan pelayaran. Ia berhasil menguasai jalur perdagangan di kawasan Selat Malaka dengan taktik perkawinan politik. Muhammad Iskandar Syah menikahi putri raja Kerajaan Samudra Pasai di Aceh dengan tujuan menundukkan Kerajaan Samudra Pasai secara politis. Setelah mendapatkan kekuasaan politik Kerajaan Samudra Pasai, ia baru menguasai wilayah perdagangan di sekitarnya. Perkawinan itu sekaligus memulai hubungan Aceh-Malaka.

Era Kerajaan Melaka kemudian berganti dengan masuknya Portugis pada 1511, dan berkuasa hingga 1641. Pada masa inilah, Kerajaan Aceh bolak-bolak menyerang Portugis. Usai era Portugis, Belanda menguasai Malaka lebih 100 tahun, dari tahun 1641 hingga 1795. Orang Malaysia mencatat: ini periode kejatuhan Malaka. Penyebabnya, seperti ditulis di dinding museum kapal Portugis:

"Penaklukan Belanda ke atas melaka bertujuan memastikan monopoli mereka ke atas perdagangan di Kepulauan Melayu bebas dari gangguan kuasa lain terutamanya Portugis. Belanda berhasrat menjadikan Betawi sebagai pusat pentadbiran Belanda di Timur dan Pusat Perdagangan Rempah di Asia Tenggaram sekaligus meminggirkan peranan Melaka. Belanda telah mengenakan cukai yang tinggi ke atas kapal yang singgah di Perlabuhan Melaka dan mengarahkan mereka menggunakan Selat Sunda ke Pelabuhan di Betawi. Dasar Belanda ini telah menyebabkan perdagang Arab, China, Gujerat dan India berdagang ke pelabuhan lain misalnya Acheh, Pattani dan Johor."


Perjalanan takziah mencari jejak Aceh di Malaka membawa saya ke makam Hang Jebat. Di makam salah satu Laksamana Malaka ini, dipasang batu nisan yang disebut Batu Nisan Acheh. Batu nisan ini serupa dengan yang digunakan Sultan, kerabat Diraja, dan pembesar Melayu yang dibawa dari Aceh. Berbentuk lonjong dan memanjang ke atas, batu nisan yang disebut nisan Aceh itu kini hanya bisa dijumpai di makam-makam kuno di Aceh.



Hang Jebat adalah sahabat paling dekat Hang Tuah, Laksamana Malaka yang terkenal itu. Pada sebuah prasasti di makam itu disebutkan, Hang Jebat tewas di tangan Hang Tuang karena ia membela Hang Tuah. Ceritanya, Raja memerintahkan agar Hang Tuah dibunuh setelah difitnah. Hang Jebat yang tak terima sahabatnya difitnah, membela Hang Tuah. Tapi, bagi Hang Tuah, sikap Hang Jebat yang membelanya adalah tindakan durhaka kepada Raja. Walhasilnya, Hang Jebat tewas ditikam Hang Tuah, sahabat yang dibelanya.
Ada pula Museum Cheng Ho, laksamana asal China pernah melakukan ekspedisi Asia-Afrika pada kurun waktu tahun 1405-1433 dengan melintasi 33 negara pada jaman Dinasti Ming.
Lagi-lagi saya menemukan nama Aceh di sini. Dalam rute perjalanan yang dipajang di dinding museum, Cheng Ho disebut pernah singgah di Kerajaan Pasai setelah melintasi Malaka. Bukti kedatangan Cheng Ho ke Aceh disebut-sebut Lonceng Cakra Donya yang kini tinggal replikanyasaja di Museum Aceh.
Malaka tampaknya serius benar merawat sejarahnya, sekaligus menjaring wisatawan berkunjung ke sana. Tak hanya di kampung sendiri, mereka juga "menitipkan" sejarahnya di sejumlah museum Indonesia seperti di Sumatera Barat, Pekan Baru, Jambi, Sumatera Selatan dan Aceh.
Khusus Aceh, galeri Malaka dibuka di Museum Aceh, Jalan Sultan Alaidinsyah sejak 30 November 2009. Ketika itu, perwakilan Pemerintah Malaka bahkan sempat menawarkan Pemerintah Aceh untuk membuka galerinya di Museum Malaka.
Dalam pidatonya ketika itu, Datuk Seri Haji Mohammad Ali bin Rustam selaku Ketua Menteri Malaka mengatakan, pada 2008, jumlah wisatawan dari Indonesia yang datang ke sana tercatat 106.612 orang. Catat, itu dari Indonesia saja!

Ketika itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Mirzan Fuadi sempat berjanji akan menempatkan galeri sejarah Aceh di Malaka. “Ke depan kita juga akan menempatkan Galeri Aceh di Museum Malaka,” kata Mirzan.

Di Malaka, Kepada seorang petugas Museum saya mencoba bertanya,"pernah dengar ada Galeri sejarah Aceh di sini?" Petugas perempuan itu sempat melirik ke arah temannya, sebelum akhirnya mereka kompak menggelengkan kepalanya.

***

"Encik datang darimana?," suara Muhammad Jefri yang membawa saya berziarah keliling  kota dengan becak hiasnya membuyarkan lamunan saya.
"Saya dari Aceh."
"Oo..Aceh. Encik harus datang ke makam ulamak (istilah Malaysia yang berarti ulama) besar Aceh di sini," kata Jefri lagi.
Sebagai tukang becak keliling yang membawa wisatawan, Jefri boleh dibilang cukup menguasai sejarah Malaka. Ia pun berkisah tentang Syamsuddin As-Sumatrani, ulama Aceh yang dimakamkan di Malaka. Katanya, saya adalah orang Aceh ketiga yang dibawanya ke sana.
Saya setuju. Becak hias yang dilengkapi suara musik berdentam serupa diskotik berjalan itu pun dikayuh menuju ke makam Syamsuddin. Letaknya di pusat kota tua, sekitar 700 meter dari Sungai Malaka. Tepatnya di Kampung Keter.
Komplek makam itu berada di tengah kampung, di antara rumah-rumah panggung berkonstruksi kayu khas Melayu. Banyak orang-orang di kubur di komplek makam ini. Tapi yang paling menonjol adalah makam Syamsudin As-Sumatrani. Inilah satu-satunya makam di komplek itu yang dipagari beton dan diberi atap. Sedangkan makam lainnya yang jauh lebih pendek hanya hanya diberi batu nisan dan batu-bata yang tinggi tak lebih 20 sentimeter.
Makam Syamsudin menarik perhatian saya. Makam ini sangat panjang: sekitar 14 meter. Sekeliling makam dilapisi keramik warna orange. Di bagian tengahnya yang dibiarkan terbuka ditaburi batu kerikil putih. Sore itu, di bagian kepala makam masih ada abu sisa pembakaran dupa.


Siapa Syamsuddin As-Sumatrani? Inilah kalimat yang terpajang di prasastinya:
"Nama sebenar beliau Syed Syamsudin Ibni Al-Sumatrani. Beliau merupakan seorang Ulamak, Sastrawan dan Pahlawan terbilang di negeri Acheh di zaman pemrintahan Sultan Iskandar Muda. Apabila Melaka ditakluki Portugis pada tahun 1511, Acheh sering menyerang Portugis di Melaka. Tujuan serangan dilakukan adalah untuk mengembalikan Melaka kepada keadaan asal dan bebas dari jajahan takluk orang-orang Barat dan juga untuk menegakkan syiar Islam.
Dalam salah satu serangan yang dilakukan oleh angkatan Tentara Acheh terhadap Portugis di Melaka, Syamsuddin Al-Sumatrani telah turut serta. Bersama-sama beliau ialah panglima-panglima Acheh termasuk Panglima Pidi. Angkatan tentara Acheh gagal untuk menewaskan Portugis. Syamsudin Al-Sumatrani dikatakan tidak kembali bersama-sama angkatan perang Acheh. Beliau dan Panglima Pidi dipercaya telah terkorban. Jasad Panglima disemadikan di Puncak Gedung (Bukit China) dikenali sebagai keramat panjang manakala jasad Syamsudin Al-Sumatrani disemadikan di Kampung Ketik, Melaka."
Jika merujuk pada prasasti itu, yang terbayang adalah betapa besarnya penghargaan yang diberi pemerintah Malaka terhadap Syamsuddin Al-Sumaterani. Padahal, di Aceh, nama ini jarang disebut dalam literatur sejarah Aceh.
Usut punya usut, Syamsuddin adalah ulama tasawuf yang pada zamannya berseberangan sikap dengan Nuruddin Ar-Raniry, ulama Aceh yang menjadi penasehat Kerajaan. Dalam buku Menjelajahi Peradaban Ilam yang dikarang oleh Anwar Basit disebutkan, Syamsuddin as-Sumatrani (orang Malaka menulisnya Syamsudin Al-Sumatrani) atau sering disebut juga Syamsuddin Pasai adalah seorang ulama besar dan tokoh tasawuf. Nama lengkapnya adalah Syekh Syamsuddin bin Abdillah as-Sumatrani. Ia dikenal sebagai Syekhul Islam di Kesultanan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Ia merupakan murid Hamzah Fansury.
Sebagaimana gurunya, Syamsuddin juga tokoh penganut paham Wahdatul Wujud. Walaupun mengikuti paham yang sama, namun ada perbedaan antara guru dan murid ini. Hamzah Fansury adalah sufi pencari Tuhan, yang mencoba melakukan pencarian Tuhan karena dorongan batin. Sementara, as-Sumatrani yang ahli sufi filsuf lebih merasakan keperluan mengenali hakikat dari segala sesuatu, serta mengetahui kesatuan yang tersembunyi. As-Sumatrani berpendapat bahwa usaha mengenal Tuhan harus dibimbing oleh guru yang sempurna agar tidak sesat.
Karena mengikuti paham gurunya, karya-karya as-Sumatrani pun ditentang oleh Nuruddin ar-Raniri. Karena dia telah dianggap menyebarkan ajaran yang menyesatkan. Akibatnya karya-karyanya yang berbahasa Arab dan Melayu banyak yang musnah karena dibakar oleh Nuruddin arRaniri atas perintah Sultan Iskandar Sani (1636-1641). Beberapa kitab yang berhasil diselamatkan tidak lengkap lagi. Salah satu karya besarnya yang lolos dari pembakaran, Miras al-Mu'min (Warisan Orang yang Beriman), merupakan kitab ilmu kalam yang memuat tanya jawab mengenai kepercayaan Islam. Kitab ini membahas tentang sifat Allah, sifat para nabi, wahyu, dan hari kebangkitan. Satu kitabnya berjudul Miras al-Muhaqqiqin (Warisan Orang yang Yakin) merupakan kitab tasawuf yang membahas makrifat Allah dan zikir.

Di depan makam Syamsudin As-Sumatrani saya tercenung. Perbedaan keyakinan dengan "kekuasaan" telah membuatnya hidup di jalan sunyi. Tak hanya karyanya yang dimusnahkan, jasadnya pun harus dimakamkan di negeri orang, jauh dari kampung halamannya.
Sore itu, di makam Syamsuddin, saya seperti menemukan penggalan kelam sejarah Aceh. Sejarah yang menganggap perbedaan sebagai musuh yang harus diberangus. Sejarah yang melempar Syamsuddin ke tepi Sungai Malaka. Juga, sejarah yang membuat Syamsuddin lebih dihargai di negeri orang daripada di kampung halamannya sendiri.


Sumber
Author Niel di Sunday, May 27, 2012
Email ThisBlogThis!Share to XShare to FacebookShare to Pinterest
Label: Aceh, Culture, International, Pariwisata, Sejarah, Tokoh

No comments:

Post a Comment

Berikan komentar Anda untuk menilai setiap isi postingan, Admin melarang keras komentar yang berisi hal Porno,SARA/Rasis.
Terimakasih

Newer Post Older Post Home
Subscribe to: Post Comments (Atom)

Search

Translate

Berita Terbaru

Labels

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Arsip Blog

Fanspage

[tutup]

Total Pageviews

Anonymous Aceh. Ethereal theme. Powered by Blogger.