Zaman keemasan Aceh di bawah Kesultanan Iskandar Muda bukanlah sebuah dongeng seperti yang disebutkan Snouck Hougronje.
=========================================================================
“The golden age of Acheh in which the mohammedan law prevailed or
in wich the Adat Meukuta Alam may be regarded as the fundamental law of
the kingdom, belongs to the realm of legend.” ("Masa keemasan Aceh
di mana hukum Islam berlaku atau di yang dengan Adat Meukuta Alam bisa
dianggap sebagai hukum dasar kerajaan, adalah milik ranah legenda.")
Setidaknya keagungan masa pemerintahan Iskandar Muda dapat digambarkan
oleh Denys Lombard dalam bukunya Kerajaan Aceh. Menurut Lombard, Aceh
pada masa itu merupakan sebuah negara dengan sistem perkotaan bukan
negara pertanian. Aceh sama halnya dengan negara-negara Asia pada
umumnya.
Aceh memiliki kekuatan materiil dan berwibawa di mata orang asing.
Ekspedisi laut diatur dengan sesuai dengan suatu kebijaksanaan terpadu.
Perdagangan berkembang di kota pelabuhan yang juga menjadi pusat
kebudayaan di ujung pulau Sumatera.
Sultan Aceh memiliki istana yang indah, mewah disertai pengiring raja
yang jumlahnya banyak. Selain itu daerah ini juga memiliki kesusastraan
yang terus berkembang dengan pesat, dan ditambah menjadi pusat
perdebatan para ulama dari India dan beberapa tempat lainnya.
Dengan kata lain, Aceh merupakan sebuah pusat pendidikan agama yang kemudian dikenal dengan kata Zawiyah.
Dalam bukunya tersebut, Denys Lombard sekaligus mematahkan istilah
sebagai kaum barbar atau perompak, seperti yang pernah dilontarkan oleh
Sir R.O Winstedt dalam History of Malaya, Singapura, Kuala Lumpur, tahun
1962.
Dia mengatakan, ”In 1962…., tired of the fierce fights of cocks,
rams and elephants and the “stomackful” encounter of baffles, pastimes
of his barbaric court, Makota ‘Alam retook Aru which since the beginning
of the century had been a fief of Johor.” (Pada tahun 1962…,
merasa bosan dengan adu ayam, domba jantan dan gajah serta "stomackful"
merupakan sebuah hal yang membingungkan, ini merupakan kegiatan pengisi
waktu dari pengadilan barbar nya, Makota 'Alam kemudian merebut kembali
Aru yang sejak awal abad ini telah menjadi wilayah kekuasaan Johor).
Untuk membedah kata-kata Sir R.O Winstedt tersebut, Denys Lombard
menyampaikan sedikit banyaknya kebenaran tentang keberadaan Aceh dan
sultan-sultan agungnya. Salah satu bukti kejayaan dan kemegahan Aceh
yaitu adanya istana.
Istana atau kerap disebut dengan “Dalam” merupakan pusat sekaligus
kerangka semua perayaan dan kebudayaan. Pada abad ke 17, istana sultan
sangat megah namun kemegahan ini mulai meredup sejak abad ke 19. Istana
itu dinamakan Dar-ud Dunia.
Kemegahan Darud Dunia hancur akibat perang antara Aceh dan Belanda.
Bahkan, Snouck Hougronje sama sekali tak menyebutkan tentang keberadaan
Darud Dunia sebagai bentuk propaganda politik Belanda terhadap Aceh.
Bangunan yang masih tersisa dari Darud Dunia sejak Belanda berhasil
menguasai Kuta Radja, dialihfungsikan menjadi tangsi militer. Sejak
berhasil merebut pusat kekuasaan Aceh di abad 19, Belanda turut mengubah
nama Dalam menjadi Kraton dan mengganti nama tersebut dari dalam peta
serta dokumen-dokumen resmi. Belanda ingin menyeragamkan istilah Aceh
dengan kerajaan-kerajaan di Jawa.
Sisa kejayaan Kerajaan Aceh hanya lah Pinto Khob dan Gunongan.
Kebudayaan peninggalan kerajaan Aceh juga masih terukir jelas di
beberapa nisan para raja, yang sebagiannya masih asli dan dapat dibaca.
Banyak pihak menanyakan dimana sebenarnya letak Dalam (Istana) Kerajaan
Aceh. Di masa Snouck Hougronje bertandang ke Aceh, Dalam berada di
tengah-tengah kota.
Kawasan ini menjadi pusat daerah yang kemudian dikenal dengan sebutan
Banda Aceh. Sementara pada awal abad ke 17, Dalam itu terletak jauh
sekali dari pemukiman yang sedikit demi sedikit meluas ke selatan dan
akhirnya mengelilingi pemukiman tersebut.
Davis pada tahun 1599 menulis : “His court is from the Citie halfe a mile upon the River.”
(Pengadilan terletak setengah mil dari sungai menuju kota). Satu
setengah abad kemudian ditemukan petunjuk bahwa Dalam raja di pusat Kota
Banda Aceh.
Menggambarkan bagaimana kondisi Dalam tersebut, bisa dirunut dari
kesaksian Beaulieu yang memiliki izin memasuki Dalam Dar-ud Dunia.
“Kelilingnya lebih setengah mil (sekitar 2 km), bentuknya hampir bulat
bujur, dan sekelilingnya ada parit yang dalamnya 25 sampai 30 kaki (10
m) dan sama lebarnya, agak sukar dilalui karena terjal dan penuh semak.
Tanah galiannya dibuang kea rah istana sehingga merupakan tembok; di
atasnya ditanami bamboo, buluh besar yang tumbuh setinggi pohon frene,
dan tegak dan tebalnya sedemikian rupa hingga tak tembus pandang…; bambu
itu selalu hijau dan tak bisa dimakan api.”
Beaulieu
juga mengemukakan tidak adanya dinding pertahanan di sekeliling kota
seperti layaknya di kerajaan-kerajaan Eropa. Bahkan dia tidak menemukan
satu pun benteng disekitar istana. “Dari luar tak ada tembok ataupun
kubu meskipun di sebelah mesjid terdapat permulaan jalan-jalan besar;
tetapi tidak ada yang rampung. Tak ada jembatan angkat pada pintu
gerbangnya…”
Kondisi ini kemudian diperbaharui setelah kejayaan dan wibawa sultan
Aceh mulai merosot, terutama setelah meninggalnya Sultan Iskandar Muda
dan Sultan Iskandar Tsani. Guna mempertahankan diri dari serangan
mendadak, Dalam mulai dikelilingi dinding pertahanan.
Menurut kisah Marsden : “Istana raja…sebuah gedung dengan arsitektur
yang kasar dan aneh, yang dimaksudkan untuk bertahan terhadap
serangan-serangan musuh dank arena itu dikelilingi tembok-tembok yang
kuat tetapi tidak teratur.”
Kembali menurut kesaksian Beaulieu, bagi siapa saja yang berani
mengintip dari benteng atau menerobos maka akan dihukum mati. Hal ini
pernah dialami oleh salah satu utusan Aceh yang ditugaskan ke Belanda
pada tahun 1602. Utusan yang tak disebutkan namanya itu lupa akan
kebiasaan negerinya dan mematahkan sebuah batang dari bambu itu.
“Raja seketika itu menyuruh menggoroknya,” ujar Beaulieu.
Masih menurut keterangan Beaulieu, tanah berbenteng itu bisa dimasuki
dari sejumlah pintu. Namun ada perbedaan pendapat jumlah pintu yang ada
di Darud Dunia tersebut. Menurut keterangan Beaulieu, Dalam Darud Dunia
memiliki empat pintu. Sementara menurut Dong Xi Yang Kao, Dalam Darud
Dunia memiliki enam buah pintu.
Pintu utara menurut peta yang ada pada masa Denys Lombard, seharusnya
menghadap ke kota. Di atasnya ada tembok kecil dari batu setinggi 10
sampai 12 kaki atau sekitar 3,50 m, untuk menyangga serambi dengan dua
pucuk meriam perunggu pada kedua belah pintu yang diarahkan pada orang
yang hendak masuk.
“Pintu-pintu itu tidak terbuat dari papan melainkan dari balok kayu
yang disusun setinggi temboknya, terbuat dari kayu yang cukup kuat dan
ditutup dari dalam selain dengan gerendel juga dengan dua palang
melintang yang besar yang masuk ke dalam tembok dan ditutup dari dalam
dengan kunci.”
Setiap pagi dan setiap malam, waktu pintu-pintu istana dibuka, raja
memerintahkan untuk membunyikan meriam. Itu merupakan hak istimewa. Saat
Peter Mundy singgah di Aceh pada tahun 1637, dilihatnya salah satu
meriam yang ditempatkan di pintu masuk itu adalah hadiah dari Raja James
dahulu.
“A great brasse gunne lying by the court gate, sent by King James
to the old King, the bore of itt was near 22 or 25 inches diameter,”
tulis Peter Mundy yang artinya kira-kira Sebuah gunne Brasse besar
tergeletak di pintu gerbang pengadilan, dikirim oleh Raja James ke Raja
tua (raja sebelumnya), lubang meriam itu kira-kira berdiameter antara 22
atau 25 inci.
Melalui pintu besar inilah orang asing masuk ke dalam istana apabila
mereka diundang ke Dalam. Hal ini jarang sekali terjadi. Seperti yang
pernah dialami Dampier yang mengatakan : “Sang ratu disini mempunyai
istana besar dari batu yang baik bangunannya; saya tidak bisa
memasukinya.”
Saat orang asing pertama sekali datang ke Aceh akan diantar dengan
gajah istana untuk dijamu ke Dalam. Namun, pada saat kedatangan
berikutnya mereka akan dilayani dengan cara sederhana, bisa dengan
berjalan kaki menuju kota atau dengan perahu yang menyusuri sungai ke
arah hulu.
Jika sudah dianggap kerabat Sultan Aceh, para pendatang bisa masuk
sesuka hati ke Dalam dan tidak akan diinterogasi oleh para penjaga. Di
bagian dalam, pelataran-pelataran dan bangunan-bangunan diatur pada
kedua tepi sebuah sungai kecil, yang airnya turun dari pegunungan dan
dingin serta jernih sekali.
Nama sungai itu yaitu Krueng Daroy yang datang dari selatan, membelah Dalam menurut panjangnya dan bermuara ke Krueng Aceh.
Krueng Daroy pada awalnya tidak membelah Dalam. Namun mengalir kea rah
barat. Pada masa Sultan Iskandar Muda, aliran sungai ini dibendung dan
dialirkan ke hulu sungai yang melintasi Dalam. Pengalihan aliran sungai
ini terjadi pada tahun 1613 sesuai keterangan Best. Best mengatakan
pekerjaan tersebut berjalan selama 20 hari sewaktu ia tinggal di Aceh.
“His court at Achen is pleasant, having a goodly branch of the main
river (anak sungai besar dari sungai utama) about and throught his
pallace, which he cut and brought six or eight miles off in twenty days,
which we continued at Achen,” ujar Blest.
Kira-kira artinya yaitu, istana Aceh menyenangkan, memiliki anak sungai
besar dari sungai utama dan melalui istananya, pekerjaan memotong dan
membawa (anak sungai ke istana) hingga berjarak enam atau delapan mil
dibutuhkan wakut dua puluh hari, dimana kita melanjutkan (tinggal) di
Aceh.
Tanggul sungai dipasang dengan baik dan juga dibuat berundak-undak
untuk memudahkan orang agar dapat turun sampai ke bawah untuk mandi.
Setelah pintu masuk dilewati, maka akan dijumpai pelataran utama yang
bisa meampung 4.000 prajurit dan 300 ekor gajah. Di sisi nya terdapat
gudang senjata, sebuah bangunan dari batu bata yang diatasnya terdapat
teras. Teras ini berukuran 50 langkah atau sekitar 40 meter dan
diletakkan beberapa meriam kecil.
Di sisi lainnya terdapat empat balai besar dan “semacam baluarti dari
batu” dengan apilan dan banyak amunisi. Dari pelataran ini orang masuk
pelataran kedua, lalu ke pelataran ketiga, setelah tiap kali melewati
pos penjaga. Tetapi rincian Dalam ini sulit sekali digambarkan para
penjelajah, terutama inti dari Dalam itu sendiri.
Para penjelajah hanya bisa memasuki ruang-ruang umum, diantaranya di
ujung ruang pelataran ketiga. Dimana terdapat pintu yang berlapis
bilah-bilah perak, ruang besar pertama tempat mereka harus menanggalkan
sepatu. Setelah ruangan ini kemudian baru ditemukan sebuah balai luas
yang jauh lebih tinggi dan setiap dindingnya dilapisi kain emas, beludru
dan kain damas.
Disinilah mereka kerap bertemu dengan sultan dan dijamu dengan hidangan makanan mewah, serta hiburan tarian.
Beaulieu mengatakan, setelah balai penghadapan tersebut juga terdapat
balai larangan kediaman putri-putri. Di sana diduga juga tempat
menyimpan harta karun seperti yang diceritakan Beaulieu. Namun dia tidak
dapat memberikan rincian lokasi yang tepat. Menurut Beaulieu, jika
meneliti istana tersebut secara rinci akan memakan waktu hingga enam
hari lamanya.
Dia mengatakan, didalam ruangan tersebut terdapat baju sulam emas,
senjata yang halus pengerjaannya, peniti dari emas, batu-batu permata
yang nilainya tinggi, tiga intan yang bisa ditaksir mencapai 15 sampai
20 karat. Dua batu delima besar sekali dan sebuah zamrud yang diperoleh
sultan saat menaklukkan Perak.
Sumber : The Atjeh Post
No comments:
Post a Comment
Berikan komentar Anda untuk menilai setiap isi postingan, Admin melarang keras komentar yang berisi hal Porno,SARA/Rasis.
Terimakasih