Adsense

Wednesday, January 23, 2013

Keren, Sanggar Cut Nyak Dhien Pecahkan Rekor MURI


“Kak!, pesawat kita delay sampai jam 15.30 Wib, hujan lebat mengguyur Jakarta."
Begitu bunyi satu sms yang masuk ke hp saya dari salah satu teman yang akan berangkat ke Jakarta guna menggelar acara “Prosesi Adat Intat Linto dan Pagelaran Tari Seni Multikultur Aceh. Even ini akan dicatat oleh Museum Rekor Indonesia (MURI) dengan katageri Penampilan Terbanyak Oleh Satu Sanggar.

Ketika membaca sms tersebut, saya langsung ciut. Bagaimana tidak, Jakarta sedang dinyatakan sebagai daerah darurat banjir, penduduk Jakarta sedang diungsikan. Pikiran ini langsung saja menerawang, membayangkan hal paling buruk yang tidak pernah kami harapkan, berfikir bagaimana cara mendatangkan penonton untuk menyaksikan piasan raya ini. Bukankah sebuah piasan akan terasa hambar tanpa tepuk tangan dan sorak sorai para penonton?
Setelah menunggu  lebih kurang empat jam, akhirnya si burung besi itu pun menerbangkan saya dan Rombongan tari Sanggar Cut Nyak Dhien (CND) yang berjumlah enam puluh lima personil menuju Jakarta. Ketika pesawat mendarat, hujan masih saja mengguyur Jakarta.
Satu bus pengangkut dan dua unit mobil kijang innova sudah menanti kedatangan kami. Dari bandara Soekarno-Hatta, tanpa hambatan yang berarti rombongan langsung menuju Mes Perwakilan Aceh di Jln  Suroso no 14 Gondangdia Lama.

Saya begitu bersyukur, ternyata kabar Jakarta yang akan tenggelam seperti yang saya dengar dan saya lihat di media elektronik dan cetak tidak 100% benar adanya. Saya baru tahu ternyata dunia tidak selebar ukuran televisi. Melihat daerah Cikini dan sekitarnya yang kering menjadikan energi saya bertambah berlipat-lipat. Saya yakin sekali piasan luar biasa ini akan berjalan dengan sukses.
Keesokan harinya teman-teman Sanggar Cut Nyak Dhien mulai berkemas, mempersiapkan dekorasi panggung, lampu, taman, kostum dan segalanya yang berhubungan dengan acara pencacatan MURI ini.
Tiga jam sebelum acara dimulai, para juri dari MURI pun tiba di Gedung Graha Bakti  Budaya Taman Ismail Marzuki tempat acara akan digelar. Setelah berbincang-bincang  sebentar dengan saya, mereka mohon pamit untuk memeriksa kelengkapan para penari dan kostum yang akan dipakai oleh penari.

Melihat penari masih sibuk dengan dekorasi panggung mereka pun bertanya, “EO (Even Organizer) nya siapa?”. Dengan senyum simpul salah satu penari menjawab ”Kami sendiri pak!"

Antara percaya dan tidak mereka kembali mengawasi dekorasi panggung dan tiga set pelaminan yang sudah tegak berdiri sebagai latar panggung.”Luar biasa, siapkan stamina kalian untuk menari,” ujar salah satu juri sambil berlalu meninggalkan panggung.
Kalian tahu? Satu jam sebelum piasan  dimulai, ketenangan saya kembali terusik, tiba-tiba hujan lebat mengguyur Cikini, membasahi gedung Graha Bakti Budaya, membasahi mobil yang terparkir berjejer di halaman gedung. Derasnya hujan juga terlihat membasahai dinding kaca gedung Graha Bakti Budaya.

Hujan yang membuat saya kembali mengurut dada. Selain para juri dari MURI Para tetamu belum ada yang hadir. Kami para pengurus sanggar saling bertatap. Bermacam doa kami hantarkan agar tetamu bisa hadir dan hujan bisa berbaik hati sejenak demi kami. Tapi yang anehnya para penari kelihatan begitu santai, mereka tidak terusik sedikitpun dengan guyuran hujan. “Kak, ada penonton atau tidak kami tetap akan menari!” Begitulah kalimat yang keluar dari mulut seorang rekan dari sanggar CND yang nantinya akan ikut menari.
Alhamdulillah doa itupun dikabulkan oleh yang kuasa, dengan tiba-tiba hujan berhenti total, saya dan pengurus CND kembali tersenyum. Ucapan syukur tak yang terkira terus keluar dari mulut kami.
Pukul 19.00 WIB satu persatu tetamu mulai berdatangan. Terlihat beberapa anggota  DPR RI dari Aceh, seperti Farhan Hamid, Nasir Jamil, Abdurrahman BTN, tokoh masyarakat Aceh di Jakarta, Atase Kebudayaan, tetamu dari Kedutaan dan para mahasiswa, jurnalis, teman-teman dari komunitas tari di Jakarta, aktivis dan tentunya masyarakat Aceh di Jakarta.

Acara dibuka oleh Bapak Gubernur Aceh Dr Zaini Abdullah pada jam 20.00 WIB, meleset satu jam dari jadwal yang telah ditetapkan. Lalu, dilanjutkan dengan kata sambutan oleh Ibu  Gubernur, Niazah A. Hamid selaku Ketua Sanggar Cut  Nyak Dhien. Kemudian, giliran perwakilan dari Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia menyampaikan kata sambutan.
Setelah memberi sambutan acara puncak pun dimulai dengan melakukan prosesi adat intat linto. Tepuk tangan bergemuruh menyambut pembukaan acara puncak. Setelah prosesi adat selesai para penonton disuguhi tarian perdana yaitu Ranup Lampuan atau secara harfian berarti sirih di dalam cerana. Tarian yang diciptakan oleh Yuslizar pada tahun 1959 ini diangkat dari adat istiadat aceh khususnya adat menerima dan menghormati tamu. Tarian ini dilakukan selama 7 menit.

Begitu tarian Ranup Lampuan berakhir, tanpa jeda langsung disambung dengan tarian Piasan Raya (pesta besar). Tarian yang juga  diciptakan Yuslizar tahun 1972 ini disuguhkan selama  5 menit. Selanjutnya dilanjutkan dengan tarian Geunta, Geudumbak, Piasan Luah Blang, Troen U Laot, Zapin, Marhaban, Saleum Hikeumah, Phoek Teupen, Likok Pulo, Likok Dara, Guel, Ratep Meusekat, Seudati, Droep Darut, Rapa,I Geleng, Prang Sabil, Saman Gayo dan diakhiri dengan tarian Rampoe.
Hampir seluruh tarian ini merupakan kreasi seni ciptaan almarhum bapak Yuslizar dan Ikhsan Ibrahim yang dilakukan selama 5-10 menit. Para penari melakukan gerak dengan sangat sempurna, meliuk-liuk, berdendang, menghentakkan kaki dan berbagai atraksi lainnya terlihat sangat memukau. Para penonton tidak pernah tahu kalau penari telah bertempur dua hari penuh untuk mendekorasi panggung yang berukuran 8 x 10 meter itu.
Ketika penari menampilkan tari Seudati, gemuruh tepuk tangan dan sorak sorai penontot serta sedikit celotehan bapak-bapak yang berdarah Aceh semakin memperjelas kesempurnaan gerak para penari di atas panggung pagelaran. Di antara 20 tarian, sepertinya seudati adalah tarian yang sangat dinanti-nantikan oleh penonton.

Saya sempat bertanya kepada seorang bapak yang duduk di samping kiri saya yang begitu antusias menyambut penampilan tari seudati.  Menurut beliau, seudati itu tarian yang bisa mengobati rasa rindunya ke kampung halaman. “Dulu ketika saya kecil saya sering diajak ke Ceubo, Pidie oleh Ummi dan Abi saya khusus untuk menonton seudati. Sekarang seudati tidak lagi menjadi reusam ureung Aceh, dia sudah mulai memudar, sudah banyak tarian lain yang muncul di Aceh. Saya bersyukur sekali bisa menonton seudati.

Bukan hanya si bapak yang menyaksikan seudati tanpa berkedip, saya yang bukan penari dan tidak faham sedikitpun tentang tarian juga sangat menikmati Seudati, tarian yang dimainkan oleh 8 orang penari dan dipandu oleh seorang syeh seudati ini benar-benar menunjukkan lenggak penari Aceh. Lembut dan tegas. Syair-syairnya yang dalam sejarahnya merupakan media dawah islamiah dan juga dipakai sebagai media untuk mnyemangati para pejuang dalam melawan Belanda ketika itu membuat saya tidak berkedip.

Saya berharap suatu hari nanti Seudati juga bisa menjadi tarian yang akan mengikuti jejak Saman Gayo, tarian yang mendapat legalitas dari UNESCO. Penari dari sanggar Cut Nyak Dhien telah membuat Ratusan penonton yang ikut menyaksikan piasan ini terpana. Dalam amatan saya, hampir tidak terlihat penonton yang pergi meningglkan ruangan karna merasa bosan atau alasan lainnya. Sepertinya mereka benar-benar menikmati piasan persembahan sanggar CND.
Begitu juga dengan bapak-bapak dari MURI. Tanpa banyak kata dan banyak bahasa mereka hanya dapat berkata, “Luar Biasa dan sangat tidak pantas jika saya tidak mencatat pagelaran Tari Seni Multikultural Aceh yang ditampilkan secara medley ini dalam catatan MURI”. Sebaris kalimat tanpa putus itupun sekaligus menjadi kata-kata  paling berharga dalam sejarah kehidupan sanggar Cut Nyak Dhien.
Di usianya yang ke-37, tepat pukul 23.15 WIB di hari ke-19 bulan Januari 2013 nama besarnya pun resmi diabadikan dalam Museum Rekor Dunia Indonesia. Kalimat terakhir dari juri MURI itu  disambut tepuk tangan meriah oleh para penonton dan juga penari. Penyerahan sertifikat Rekor MURI untuk Pemerintah Aceh, Sanggar Cut Nyak Dhien dan BPD Aceh selaku sponsor sekaligus mengakhiri piasan raya malam pagelaran “Prosesi Adat Intat Linto dan Pagelaran Tari Seni Multikultural Aceh untuk Pemcatatan Rekor MURI dengan Katagori Penampilan Terbanyak oleh Satu Sanggar.

Sertifikat itu juga Menjadi suplemen tersendiri bagi anak-anak sanggar CND. Wajah  penat mereka berganti dengan raut kegembiraan. Melihat mereka bahagia saya juga ikut tersenyum.  Malam itu semua beban hempas ditelan kesuksesan. Sebuah piasan raya tuntas sudah. Tanggung jawab kami selaku penguruspun usai sudah untuk satu gerakan.
Keesokan harinya ketika saya terjaga, sebuah SMS masuk ke hp saya. SMS dari seorang teman di Aceh. “Kak!, Kenapa beritanya (rekor MURI) tidak ada koran lokal?"
SMS itu tidak saya balas, melainkan saya forward kepada teman lainnya. Dua menit kemudian saya mendapat balasan dari teman,“mungkin karena kita tidak memberi amplop kepada wartawannya.”  SMS itupun tidak saya balas dan saya diamkan saja.

Ketika saya tiba di Aceh, saya kembali melihat sms dari seorang teman lainnya, sms yang sama. “Farah!, kenapa acara kalian tidak ada beritanya di media?”. Setelah beristirahat sejenak di rumah tercinta, saya mencoba membalas sms yang baru saja saya dapat.
“Yang harus kita ketahui, penari bukanlah politisi, dia menari dengan jiwa, dia menari demi kreatifitas, bukan demi popularitas. mereka tidak peduli media mau memberitakan atau tidak, orang akan menonton atau tidak, yang penting mereka menari. Lihat saja sejak tahun 1972 sanggar CND berdiri, sejak itulah mereka mulai melanglang buana, menghadiri berbagai pagelaran seni, even interntional dan national membawa nama Aceh ke kancah dunia, tapi pernahkah mereka berkata “kamilah para penari, para seniman ini yang telah memperkenalkan Negeri Ini di mata dunia”!,
Sepertinya, hampir tidak terdengar keangkuhan itu sekalipun. Andai mereka politisi, saya yakin sekali even sebesar ini akan menjadi headline di media mana pun. Banyak kepentingan dan harapan yang mereka sematkan dari rakyat atau pemirsa. Dan satu hal, andai tidak ada penonton dan wartawan yang meliput, poltisi pasti akan membayar masyarakat dan wartawan untuk menyaksikan antraksi mereka. Mereka tidak akan naik panggung tanpa penonton apalagi tanpa pemberitaan yang berarti.

Kondisi itu sangat berbanding terbalik dengan para penari. Ketika saya was-was kalau tidak ada tamu yang akan hadir untuk menonton piasan raya tersebut, para penari sanggar CND  malah santai saja. Mereka bilang," kami tetap akan menari walau tidak ada mata yang menikmati.” 
Pernyataan itu membuat saya belajar lebih banyak akan jiwa dan keiklasan profesi yang  mereka geluti. Bertanya pada diri sendiri, akankah saya bisa seiklas mereka mencitai profesi dan apapun yang saya kerjakan? Sepertinya sulit sekali, karena saya bukan penari atau seniman tapi menjurus pada politisi.
"Hahaha….” Begitulah bunyi sms balasan saya untuk seorang teman di Banda Aceh atas pertanyaannya akan gaung yang tak terdengar, akan gerak yang tak tergambar.
Good luck teman-teman sanggar Cut Nyak Dhien atas rekor MURI yang telah kalian raih. Semoga ke depan akan lebih banyak lagi rekor dan penghargaan lain yang akan kalian dapatkan.

Cut Meutia adalah Sekretaris Sanggar Cut Nyak Dhien.

Source : The Atjeh Post

No comments:

Post a Comment

Berikan komentar Anda untuk menilai setiap isi postingan, Admin melarang keras komentar yang berisi hal Porno,SARA/Rasis.
Terimakasih