“Kak!, pesawat kita delay sampai jam 15.30 Wib, hujan lebat mengguyur Jakarta."
Begitu bunyi satu sms yang masuk ke hp saya dari salah satu teman yang akan berangkat ke Jakarta guna menggelar acara “Prosesi Adat Intat Linto dan Pagelaran Tari Seni Multikultur Aceh. Even ini akan dicatat oleh Museum Rekor Indonesia (MURI) dengan katageri Penampilan Terbanyak Oleh Satu Sanggar.
Begitu bunyi satu sms yang masuk ke hp saya dari salah satu teman yang akan berangkat ke Jakarta guna menggelar acara “Prosesi Adat Intat Linto dan Pagelaran Tari Seni Multikultur Aceh. Even ini akan dicatat oleh Museum Rekor Indonesia (MURI) dengan katageri Penampilan Terbanyak Oleh Satu Sanggar.
Ketika membaca sms tersebut, saya langsung ciut. Bagaimana tidak,
Jakarta sedang dinyatakan sebagai daerah darurat banjir, penduduk
Jakarta sedang diungsikan. Pikiran ini langsung saja menerawang,
membayangkan hal paling buruk yang tidak pernah kami harapkan, berfikir
bagaimana cara mendatangkan penonton untuk menyaksikan piasan raya ini.
Bukankah sebuah piasan akan terasa hambar tanpa tepuk tangan dan sorak
sorai para penonton?
Setelah menunggu lebih kurang empat jam, akhirnya si burung besi itu
pun menerbangkan saya dan Rombongan tari Sanggar Cut Nyak Dhien (CND)
yang berjumlah enam puluh lima personil menuju Jakarta. Ketika pesawat
mendarat, hujan masih saja mengguyur Jakarta.
Satu bus pengangkut dan dua unit mobil kijang innova sudah menanti
kedatangan kami. Dari bandara Soekarno-Hatta, tanpa hambatan yang
berarti rombongan langsung menuju Mes Perwakilan Aceh di Jln Suroso no
14 Gondangdia Lama.
Saya begitu bersyukur, ternyata kabar Jakarta yang akan tenggelam
seperti yang saya dengar dan saya lihat di media elektronik dan cetak
tidak 100% benar adanya. Saya baru tahu ternyata dunia tidak selebar
ukuran televisi. Melihat daerah Cikini dan sekitarnya yang kering
menjadikan energi saya bertambah berlipat-lipat. Saya yakin sekali
piasan luar biasa ini akan berjalan dengan sukses.
Keesokan harinya teman-teman Sanggar Cut Nyak Dhien mulai berkemas,
mempersiapkan dekorasi panggung, lampu, taman, kostum dan segalanya yang
berhubungan dengan acara pencacatan MURI ini.
Tiga jam sebelum acara dimulai, para juri dari MURI pun tiba di Gedung
Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki tempat acara akan digelar.
Setelah berbincang-bincang sebentar dengan saya, mereka mohon pamit
untuk memeriksa kelengkapan para penari dan kostum yang akan dipakai
oleh penari.
Melihat penari masih sibuk dengan dekorasi panggung mereka pun bertanya, “EO (Even Organizer) nya siapa?”. Dengan senyum simpul salah satu penari menjawab ”Kami sendiri pak!"
Antara percaya dan tidak mereka kembali mengawasi dekorasi panggung dan tiga set pelaminan yang sudah tegak berdiri sebagai latar panggung.”Luar biasa, siapkan stamina kalian untuk menari,” ujar salah satu juri sambil berlalu meninggalkan panggung.
Melihat penari masih sibuk dengan dekorasi panggung mereka pun bertanya, “EO (Even Organizer) nya siapa?”. Dengan senyum simpul salah satu penari menjawab ”Kami sendiri pak!"
Antara percaya dan tidak mereka kembali mengawasi dekorasi panggung dan tiga set pelaminan yang sudah tegak berdiri sebagai latar panggung.”Luar biasa, siapkan stamina kalian untuk menari,” ujar salah satu juri sambil berlalu meninggalkan panggung.
Kalian tahu? Satu jam sebelum piasan dimulai, ketenangan saya kembali
terusik, tiba-tiba hujan lebat mengguyur Cikini, membasahi gedung Graha
Bakti Budaya, membasahi mobil yang terparkir berjejer di halaman gedung.
Derasnya hujan juga terlihat membasahai dinding kaca gedung Graha Bakti
Budaya.
Hujan yang membuat saya kembali mengurut dada. Selain para juri dari MURI Para tetamu belum ada yang hadir. Kami para pengurus sanggar saling bertatap. Bermacam doa kami hantarkan agar tetamu bisa hadir dan hujan bisa berbaik hati sejenak demi kami. Tapi yang anehnya para penari kelihatan begitu santai, mereka tidak terusik sedikitpun dengan guyuran hujan. “Kak, ada penonton atau tidak kami tetap akan menari!” Begitulah kalimat yang keluar dari mulut seorang rekan dari sanggar CND yang nantinya akan ikut menari.
Hujan yang membuat saya kembali mengurut dada. Selain para juri dari MURI Para tetamu belum ada yang hadir. Kami para pengurus sanggar saling bertatap. Bermacam doa kami hantarkan agar tetamu bisa hadir dan hujan bisa berbaik hati sejenak demi kami. Tapi yang anehnya para penari kelihatan begitu santai, mereka tidak terusik sedikitpun dengan guyuran hujan. “Kak, ada penonton atau tidak kami tetap akan menari!” Begitulah kalimat yang keluar dari mulut seorang rekan dari sanggar CND yang nantinya akan ikut menari.
Alhamdulillah doa itupun dikabulkan oleh yang kuasa, dengan tiba-tiba
hujan berhenti total, saya dan pengurus CND kembali tersenyum. Ucapan
syukur tak yang terkira terus keluar dari mulut kami.
Pukul
19.00 WIB satu persatu tetamu mulai berdatangan. Terlihat beberapa
anggota DPR RI dari Aceh, seperti Farhan Hamid, Nasir Jamil,
Abdurrahman BTN, tokoh masyarakat Aceh di Jakarta, Atase Kebudayaan,
tetamu dari Kedutaan dan para mahasiswa, jurnalis, teman-teman dari
komunitas tari di Jakarta, aktivis dan tentunya masyarakat Aceh di
Jakarta.
Acara dibuka oleh Bapak Gubernur Aceh Dr Zaini Abdullah pada jam 20.00
WIB, meleset satu jam dari jadwal yang telah ditetapkan. Lalu,
dilanjutkan dengan kata sambutan oleh Ibu Gubernur, Niazah A. Hamid
selaku Ketua Sanggar Cut Nyak Dhien. Kemudian, giliran perwakilan dari
Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia menyampaikan kata
sambutan.
Setelah memberi sambutan acara puncak pun dimulai dengan melakukan
prosesi adat intat linto. Tepuk tangan bergemuruh menyambut pembukaan
acara puncak. Setelah prosesi adat selesai para penonton disuguhi tarian
perdana yaitu Ranup Lampuan atau secara harfian berarti sirih di dalam
cerana. Tarian yang diciptakan oleh Yuslizar pada tahun 1959 ini
diangkat dari adat istiadat aceh khususnya adat menerima dan menghormati
tamu. Tarian ini dilakukan selama 7 menit.
Begitu tarian Ranup Lampuan berakhir, tanpa jeda langsung disambung
dengan tarian Piasan Raya (pesta besar). Tarian yang juga diciptakan
Yuslizar tahun 1972 ini disuguhkan selama 5 menit. Selanjutnya
dilanjutkan dengan tarian Geunta, Geudumbak, Piasan Luah Blang, Troen U
Laot, Zapin, Marhaban, Saleum Hikeumah, Phoek Teupen, Likok Pulo, Likok
Dara, Guel, Ratep Meusekat, Seudati, Droep Darut, Rapa,I Geleng, Prang
Sabil, Saman Gayo dan diakhiri dengan tarian Rampoe.
Hampir seluruh tarian ini merupakan kreasi seni ciptaan almarhum bapak
Yuslizar dan Ikhsan Ibrahim yang dilakukan selama 5-10 menit. Para
penari melakukan gerak dengan sangat sempurna, meliuk-liuk, berdendang,
menghentakkan kaki dan berbagai atraksi lainnya terlihat sangat memukau.
Para penonton tidak pernah tahu kalau penari telah bertempur dua hari
penuh untuk mendekorasi panggung yang berukuran 8 x 10 meter itu.
Ketika penari menampilkan tari Seudati, gemuruh tepuk tangan dan sorak
sorai penontot serta sedikit celotehan bapak-bapak yang berdarah Aceh
semakin memperjelas kesempurnaan gerak para penari di atas panggung
pagelaran. Di antara 20 tarian, sepertinya seudati adalah tarian yang
sangat dinanti-nantikan oleh penonton.
Saya sempat bertanya kepada seorang bapak yang duduk di samping kiri
saya yang begitu antusias menyambut penampilan tari seudati. Menurut
beliau, seudati itu tarian yang bisa mengobati rasa rindunya ke kampung
halaman. “Dulu ketika saya kecil saya sering diajak ke Ceubo, Pidie oleh
Ummi dan Abi saya khusus untuk menonton seudati. Sekarang seudati tidak
lagi menjadi reusam ureung Aceh, dia sudah mulai memudar, sudah banyak
tarian lain yang muncul di Aceh. Saya bersyukur sekali bisa menonton
seudati.
Bukan hanya si bapak yang menyaksikan seudati tanpa berkedip, saya yang
bukan penari dan tidak faham sedikitpun tentang tarian juga sangat
menikmati Seudati, tarian yang dimainkan oleh 8 orang penari dan dipandu
oleh seorang syeh seudati ini benar-benar menunjukkan lenggak penari
Aceh. Lembut dan tegas. Syair-syairnya yang dalam sejarahnya merupakan
media dawah islamiah dan juga dipakai sebagai media untuk mnyemangati
para pejuang dalam melawan Belanda ketika itu membuat saya tidak
berkedip.
Saya berharap suatu hari nanti Seudati juga bisa menjadi tarian yang akan mengikuti jejak Saman Gayo, tarian yang mendapat legalitas dari UNESCO. Penari dari sanggar Cut Nyak Dhien telah membuat Ratusan penonton yang ikut menyaksikan piasan ini terpana. Dalam amatan saya, hampir tidak terlihat penonton yang pergi meningglkan ruangan karna merasa bosan atau alasan lainnya. Sepertinya mereka benar-benar menikmati piasan persembahan sanggar CND.
Saya berharap suatu hari nanti Seudati juga bisa menjadi tarian yang akan mengikuti jejak Saman Gayo, tarian yang mendapat legalitas dari UNESCO. Penari dari sanggar Cut Nyak Dhien telah membuat Ratusan penonton yang ikut menyaksikan piasan ini terpana. Dalam amatan saya, hampir tidak terlihat penonton yang pergi meningglkan ruangan karna merasa bosan atau alasan lainnya. Sepertinya mereka benar-benar menikmati piasan persembahan sanggar CND.
Begitu juga dengan bapak-bapak dari MURI. Tanpa banyak kata dan banyak
bahasa mereka hanya dapat berkata, “Luar Biasa dan sangat tidak pantas
jika saya tidak mencatat pagelaran Tari Seni Multikultural Aceh yang
ditampilkan secara medley ini dalam catatan MURI”. Sebaris kalimat tanpa
putus itupun sekaligus menjadi kata-kata paling berharga dalam sejarah
kehidupan sanggar Cut Nyak Dhien.
Di
usianya yang ke-37, tepat pukul 23.15 WIB di hari ke-19 bulan Januari
2013 nama besarnya pun resmi diabadikan dalam Museum Rekor Dunia
Indonesia. Kalimat terakhir dari juri MURI itu disambut tepuk tangan
meriah oleh para penonton dan juga penari. Penyerahan sertifikat Rekor
MURI untuk Pemerintah Aceh, Sanggar Cut Nyak Dhien dan BPD Aceh selaku
sponsor sekaligus mengakhiri piasan raya malam pagelaran “Prosesi Adat
Intat Linto dan Pagelaran Tari Seni Multikultural Aceh untuk Pemcatatan
Rekor MURI dengan Katagori Penampilan Terbanyak oleh Satu Sanggar.
Sertifikat itu juga Menjadi suplemen tersendiri bagi anak-anak sanggar
CND. Wajah penat mereka berganti dengan raut kegembiraan. Melihat
mereka bahagia saya juga ikut tersenyum. Malam itu semua beban hempas
ditelan kesuksesan. Sebuah piasan raya tuntas sudah. Tanggung jawab kami
selaku penguruspun usai sudah untuk satu gerakan.
Keesokan harinya ketika saya terjaga, sebuah SMS masuk ke hp saya. SMS
dari seorang teman di Aceh. “Kak!, Kenapa beritanya (rekor MURI) tidak
ada koran lokal?"
SMS itu tidak saya balas, melainkan saya forward kepada teman lainnya.
Dua menit kemudian saya mendapat balasan dari teman,“mungkin karena kita
tidak memberi amplop kepada wartawannya.” SMS itupun tidak saya balas
dan saya diamkan saja.
Ketika saya tiba di Aceh, saya kembali melihat sms dari seorang teman
lainnya, sms yang sama. “Farah!, kenapa acara kalian tidak ada beritanya
di media?”. Setelah beristirahat sejenak di rumah tercinta, saya
mencoba membalas sms yang baru saja saya dapat.
“Yang harus kita ketahui, penari bukanlah politisi, dia menari dengan
jiwa, dia menari demi kreatifitas, bukan demi popularitas. mereka tidak
peduli media mau memberitakan atau tidak, orang akan menonton atau
tidak, yang penting mereka menari. Lihat saja sejak tahun 1972 sanggar
CND berdiri, sejak itulah mereka mulai melanglang buana, menghadiri
berbagai pagelaran seni, even interntional dan national membawa nama
Aceh ke kancah dunia, tapi pernahkah mereka berkata “kamilah para
penari, para seniman ini yang telah memperkenalkan Negeri Ini di mata
dunia”!,
Sepertinya, hampir tidak terdengar keangkuhan itu sekalipun. Andai
mereka politisi, saya yakin sekali even sebesar ini akan menjadi
headline di media mana pun. Banyak kepentingan dan harapan yang mereka
sematkan dari rakyat atau pemirsa. Dan satu hal, andai tidak ada
penonton dan wartawan yang meliput, poltisi pasti akan membayar
masyarakat dan wartawan untuk menyaksikan antraksi mereka. Mereka tidak
akan naik panggung tanpa penonton apalagi tanpa pemberitaan yang
berarti.
Kondisi itu sangat berbanding terbalik dengan para penari. Ketika saya
was-was kalau tidak ada tamu yang akan hadir untuk menonton piasan raya
tersebut, para penari sanggar CND malah santai saja. Mereka bilang,"
kami tetap akan menari walau tidak ada mata yang menikmati.”
Pernyataan itu membuat saya belajar lebih banyak akan jiwa dan
keiklasan profesi yang mereka geluti. Bertanya pada diri sendiri,
akankah saya bisa seiklas mereka mencitai profesi dan apapun yang saya
kerjakan? Sepertinya sulit sekali, karena saya bukan penari atau seniman
tapi menjurus pada politisi.
"Hahaha….” Begitulah bunyi sms balasan saya untuk seorang teman di
Banda Aceh atas pertanyaannya akan gaung yang tak terdengar, akan gerak
yang tak tergambar.
Good luck teman-teman sanggar Cut Nyak Dhien atas rekor MURI yang telah
kalian raih. Semoga ke depan akan lebih banyak lagi rekor dan
penghargaan lain yang akan kalian dapatkan.
Cut Meutia adalah Sekretaris Sanggar Cut Nyak Dhien.
Source : The Atjeh Post
No comments:
Post a Comment
Berikan komentar Anda untuk menilai setiap isi postingan, Admin melarang keras komentar yang berisi hal Porno,SARA/Rasis.
Terimakasih