LHOKSUKON | Sebanyak 127 warga asal Rohingya, Myanmar, ditemukan hanyut
karena perahu kayu berukuran 8 x 15 meter yang mereka tumpangi kehabisan
minyak, kemudian terdampar di perairan Desa Cot Trueng, Kecamatan Muara
Batu, Aceh Utara, Selasa (26/2) sekitar pukul 09.00 WIB.
Sejumlah nelayan setempat yang melihat sebuah boat terombang-ambing sekitar 150 mil di lepas pantai itu mendekat dan berkomunikasi dengan penumpangnya yang dicekam kecemasan dan kelaparan. Mereka mengaku kehabisan minyak, sehingga boatnya terombang-ambing.
“Kami melihat ada sebuah boat di tengah laut. Tiba-tiba empat di antara penumpangnya langsung terjun ke laut. Lalu kami berikan dua jeriken yang berisi sekitar 80 liter bensin, kemudian kami tuntun mereka ke arah pantai,” kata Tarmizi (21), nelayan asal Cot Trueng yang menemukan warga Rohingya tersebut.
Sekitar pukul 20.00 WIB tadi malam, nelayan lokal bersama 127 warga Rohingya itu tiba di pinggir pantai Desa Cot Trueng. Mendadak kawasan itu heboh. Ratusan warga berdatangan ingin menyaksikan para “manusia perahu” tersebut.
Amatan Serambi tadi malam, dari 127 warga Rohingya itu enam di antaranya wanita dan dua anak-anak. Ini hal baru, sebab sebelumnya, meski sudah sering warga Rohingya hanyut atau terdampar di Aceh, tapi baru kali ini ada wanita dan anak-anak sekaligus.
Sejak dua tahun terakhir, terutama di awal 2012, berkali-kali sudah warga Rohingya yang ingin mencari suaka politik ke negara lain demi menghindari ekses konflik di negaranya, terdampar di perairan Aceh.
Tadi malam, mereka yang terdampar itu ditampung di Dayah Cot Trueng. Sekitar pukul 22.00 WIB, semua mereka dibawa ke meunasah desa setempat. Juga diberi makan minum alakadarnya.
Di antara “manusia perahu” itu ada yang bisa berbahasa Melayu dan menerangkan bahwa mereka berangkat dari Myanmar menuju Thailand dan sudah 28 hari di laut. Perahu kayu berukuran 8 x 15 meter yang mereka tumpangi kehabisan bensin dan terombang-ambing di laut lepas. Sudah tujuh hari mereka tidak makan dan hanya minum air laut.
Polisi dan TNI terus mengawal keberadaan mereka sembari mendata nama-nama warga asing yang terlihat lemah dan kumal itu. Tampak Camat Muara Batu, Saiful Basri dan anggota DPRK Aceh Utara, Azhari Cagee membantu mengatur warga di lokasi tersebut. Salah seorang warga Rohingnya, Syaiful Alam (45) menyebutkan mereka bertemu nelayan asal Aceh Utara dan meminta pertolongan. “Saya bisa berbahasa Melayu. Sayalah yang meminta nelayan di Indonesia ini untuk membantu kami. Karena perahu kami kehabisan minyak,” terang Syaiful dalam bahasa Melayu. Sedangkan warga Rohingya lainnya tidak bisa berbahasa Melayu. Setiap kali berbicara mereka hanya mengatakan, “Rohingnya muslim.”
Camat Muara Batu, Saiful Basri menyebutkan, pihaknya telah melaporkan kasus itu ke Imigrasi Lhoskeumawe. “Untuk sementara ditampung di meunasah dulu. Keperluan makan malam dan lain sebagainya kita tanggung bersama masyarakat Desa Cot Trueng,” ujar Camat Saiful Basri.
Kepala Seksi Pengawasan dan Penindakan (Wasdakin) Kantor Imigrasi kelas II Lhokseumawe Albert juga menyebutkan, pihaknya juga telah mendapat informasi adanya warga Myanmar yang terdampar di pinggir kawasan Muara Batu, Aceh Utara. “Kami sekarang mau ke lokasi. Mereka akan kita data dulu, tapi untuk tempat penampungan saya belum bisa pastikan,” katanya. (c46/c37/ib)
Solidaritas dalam Bentuk Nasi dan Sayur
Sadar bahwa warga Rohingya itu sedang dilanda dahaga dan lapar yang amat sangat setelah tujuh hari tidak makan, kecuali minum air laut, empati terhadap mereka pun mengalir deras dari ibu-ibu Desa Cot Trueng, Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara.
Tadi malam, terlihat belasan ibu-ibu dengan cekatan memasak nasi dan sayur untuk makan malam warga Rohingya yang baru “merapat” ke daratan itu. Setelah satu jam lebih menunggu, nasi dan sayur alakadarnya pun masak. Lalu, warga Rohingya itu makan dengan lahap. Banyak yang nambah nasi dan sayur, pertanda sepiring nasi tak cukup mengganjal perut yang sudah tujuh malam keroncongan.
Camat Muara Batu, Saiful Basri menyebutkan, untuk sementara “manuia perahu” dari Rohingya itu ditampung di meunasah dulu. “Keperluan makan malam dan lain sebagainya kita tanggung bersama masyarakat Desa Cot Trueng,” ujar Camat Saiful Basri.
Itulah gambaran solidaritas warga setempat, terutama kaum ibunya, yang langsung bergerak mengatasi lapar dan dahaga “tamu” mereka nun dari Myanmar yang masih bergolak.
Petugas medis pun tampak cekatan memberikan obat kepada warga Rohingya itu. Fokus perhatian paramedis lebih tertuju kepada wanita dan anak-anak, kelompok rentan dalam gelombang pengungsian yang sedang mencari suaka politik itu.
Dulu di masa konflik, orang Aceh yang sering mencari suaka ke luar. Tapi kini, giliran Aceh damai, orang Aceh pula yang kerap melayani para pencari suaka dari Myanmar itu seperti saudaranya sendiri. Begitulah rona kehidupan. (c46/dik)
Langsung Diselidiki
Begitu mendapat informasi tentang ratusan warga Rohingya terdampar di perairan Muara Batu, petugas kita langsung terjun ke lokasi untuk melakukan penyelidikan.
Hasil penyelidikan sementara, jumlah mereka mencapai 127 orang. Semua mereka untuk sementara ditampung di Desa Cot Trueng. Juga sudah dilakukan koordinasi dengan pihak Imigrasi Lhokseumawe untuk penanganan lebih lanjut.
* AKBP Kukuh Santoso, Kapolres Lhokseumawe, melalui Kapolsek Muara Batu, Iptu Ilyas Hamid. (c37)
Posisikan sebagai Pengungsi
BANDA ACEH - Secretary International Concern Group for Rohingya (ICGR), M Adli Abdullah MCL meminta masyarakat dan Pemerintah Aceh memposisikan 127 warga Rohingya yang kemarin terdampar di perairan Muara Batu, Aceh Utara itu, sebagai pengungsi.
“Beri bantuan kemanusiaan kepada ‘manusia perahu’ ini dan posisikan mereka sebagai pengungsi, bukan sebagai pendatang gelap,” kata Adli Abdullah kepada Serambi tadi malam dari Kuala Lumpur, Malaysia.
Dosen perbandingan hukum pada Fakultas Hukum Unsyiah ini juga menjelaskan bahwa membanjirnya pengungsi etnis Rohingya itu ke berbagai negara, termasuk Indonesia, disebabkan ekses konflik etnis di Arkhine State Myanmar yang belum selesai sampai hari ini. “Maka komunitas internasional perlu menekan Pemerintah Nyanmar untuk menghentikan kekerasan etnis dan genosida di sana,” imbuh Sekretaris ICGR ini.
Pemerintah Myanmar, dia imbau harus memperlakukan warganya dalam persamaan status, tanpa membeda-bedakan ras, etnis, dan agama.
Tak lupa Adli juga mengimbau seluruh masyarakan Aceh dan bangsa Indonesia agar memberikan bantuan kemanusiaan kepada msyarakat Rohingya, khususnya mereka yang telah berhasil menyelamatkan nyamanya dan menjadi manusia perahu dan terdampar di perairan Aceh Utara saat ini.
“Kami juga minta IOM dan UNHCR segera turun mengindentifikasi mereka yang kini berada di Aceh Utara itu dan memberikan status pengungsi (refugee), sehingga terlindungi keberadaannya berdasarkan hukum internnasional,” demikian Adli Abdullah.
Sejumlah nelayan setempat yang melihat sebuah boat terombang-ambing sekitar 150 mil di lepas pantai itu mendekat dan berkomunikasi dengan penumpangnya yang dicekam kecemasan dan kelaparan. Mereka mengaku kehabisan minyak, sehingga boatnya terombang-ambing.
“Kami melihat ada sebuah boat di tengah laut. Tiba-tiba empat di antara penumpangnya langsung terjun ke laut. Lalu kami berikan dua jeriken yang berisi sekitar 80 liter bensin, kemudian kami tuntun mereka ke arah pantai,” kata Tarmizi (21), nelayan asal Cot Trueng yang menemukan warga Rohingya tersebut.
Sekitar pukul 20.00 WIB tadi malam, nelayan lokal bersama 127 warga Rohingya itu tiba di pinggir pantai Desa Cot Trueng. Mendadak kawasan itu heboh. Ratusan warga berdatangan ingin menyaksikan para “manusia perahu” tersebut.
Amatan Serambi tadi malam, dari 127 warga Rohingya itu enam di antaranya wanita dan dua anak-anak. Ini hal baru, sebab sebelumnya, meski sudah sering warga Rohingya hanyut atau terdampar di Aceh, tapi baru kali ini ada wanita dan anak-anak sekaligus.
Sejak dua tahun terakhir, terutama di awal 2012, berkali-kali sudah warga Rohingya yang ingin mencari suaka politik ke negara lain demi menghindari ekses konflik di negaranya, terdampar di perairan Aceh.
Tadi malam, mereka yang terdampar itu ditampung di Dayah Cot Trueng. Sekitar pukul 22.00 WIB, semua mereka dibawa ke meunasah desa setempat. Juga diberi makan minum alakadarnya.
Di antara “manusia perahu” itu ada yang bisa berbahasa Melayu dan menerangkan bahwa mereka berangkat dari Myanmar menuju Thailand dan sudah 28 hari di laut. Perahu kayu berukuran 8 x 15 meter yang mereka tumpangi kehabisan bensin dan terombang-ambing di laut lepas. Sudah tujuh hari mereka tidak makan dan hanya minum air laut.
Polisi dan TNI terus mengawal keberadaan mereka sembari mendata nama-nama warga asing yang terlihat lemah dan kumal itu. Tampak Camat Muara Batu, Saiful Basri dan anggota DPRK Aceh Utara, Azhari Cagee membantu mengatur warga di lokasi tersebut. Salah seorang warga Rohingnya, Syaiful Alam (45) menyebutkan mereka bertemu nelayan asal Aceh Utara dan meminta pertolongan. “Saya bisa berbahasa Melayu. Sayalah yang meminta nelayan di Indonesia ini untuk membantu kami. Karena perahu kami kehabisan minyak,” terang Syaiful dalam bahasa Melayu. Sedangkan warga Rohingya lainnya tidak bisa berbahasa Melayu. Setiap kali berbicara mereka hanya mengatakan, “Rohingnya muslim.”
Camat Muara Batu, Saiful Basri menyebutkan, pihaknya telah melaporkan kasus itu ke Imigrasi Lhoskeumawe. “Untuk sementara ditampung di meunasah dulu. Keperluan makan malam dan lain sebagainya kita tanggung bersama masyarakat Desa Cot Trueng,” ujar Camat Saiful Basri.
Kepala Seksi Pengawasan dan Penindakan (Wasdakin) Kantor Imigrasi kelas II Lhokseumawe Albert juga menyebutkan, pihaknya juga telah mendapat informasi adanya warga Myanmar yang terdampar di pinggir kawasan Muara Batu, Aceh Utara. “Kami sekarang mau ke lokasi. Mereka akan kita data dulu, tapi untuk tempat penampungan saya belum bisa pastikan,” katanya. (c46/c37/ib)
Solidaritas dalam Bentuk Nasi dan Sayur
Sadar bahwa warga Rohingya itu sedang dilanda dahaga dan lapar yang amat sangat setelah tujuh hari tidak makan, kecuali minum air laut, empati terhadap mereka pun mengalir deras dari ibu-ibu Desa Cot Trueng, Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara.
Tadi malam, terlihat belasan ibu-ibu dengan cekatan memasak nasi dan sayur untuk makan malam warga Rohingya yang baru “merapat” ke daratan itu. Setelah satu jam lebih menunggu, nasi dan sayur alakadarnya pun masak. Lalu, warga Rohingya itu makan dengan lahap. Banyak yang nambah nasi dan sayur, pertanda sepiring nasi tak cukup mengganjal perut yang sudah tujuh malam keroncongan.
Camat Muara Batu, Saiful Basri menyebutkan, untuk sementara “manuia perahu” dari Rohingya itu ditampung di meunasah dulu. “Keperluan makan malam dan lain sebagainya kita tanggung bersama masyarakat Desa Cot Trueng,” ujar Camat Saiful Basri.
Itulah gambaran solidaritas warga setempat, terutama kaum ibunya, yang langsung bergerak mengatasi lapar dan dahaga “tamu” mereka nun dari Myanmar yang masih bergolak.
Petugas medis pun tampak cekatan memberikan obat kepada warga Rohingya itu. Fokus perhatian paramedis lebih tertuju kepada wanita dan anak-anak, kelompok rentan dalam gelombang pengungsian yang sedang mencari suaka politik itu.
Dulu di masa konflik, orang Aceh yang sering mencari suaka ke luar. Tapi kini, giliran Aceh damai, orang Aceh pula yang kerap melayani para pencari suaka dari Myanmar itu seperti saudaranya sendiri. Begitulah rona kehidupan. (c46/dik)
Langsung Diselidiki
Begitu mendapat informasi tentang ratusan warga Rohingya terdampar di perairan Muara Batu, petugas kita langsung terjun ke lokasi untuk melakukan penyelidikan.
Hasil penyelidikan sementara, jumlah mereka mencapai 127 orang. Semua mereka untuk sementara ditampung di Desa Cot Trueng. Juga sudah dilakukan koordinasi dengan pihak Imigrasi Lhokseumawe untuk penanganan lebih lanjut.
* AKBP Kukuh Santoso, Kapolres Lhokseumawe, melalui Kapolsek Muara Batu, Iptu Ilyas Hamid. (c37)
Posisikan sebagai Pengungsi
BANDA ACEH - Secretary International Concern Group for Rohingya (ICGR), M Adli Abdullah MCL meminta masyarakat dan Pemerintah Aceh memposisikan 127 warga Rohingya yang kemarin terdampar di perairan Muara Batu, Aceh Utara itu, sebagai pengungsi.
“Beri bantuan kemanusiaan kepada ‘manusia perahu’ ini dan posisikan mereka sebagai pengungsi, bukan sebagai pendatang gelap,” kata Adli Abdullah kepada Serambi tadi malam dari Kuala Lumpur, Malaysia.
Dosen perbandingan hukum pada Fakultas Hukum Unsyiah ini juga menjelaskan bahwa membanjirnya pengungsi etnis Rohingya itu ke berbagai negara, termasuk Indonesia, disebabkan ekses konflik etnis di Arkhine State Myanmar yang belum selesai sampai hari ini. “Maka komunitas internasional perlu menekan Pemerintah Nyanmar untuk menghentikan kekerasan etnis dan genosida di sana,” imbuh Sekretaris ICGR ini.
Pemerintah Myanmar, dia imbau harus memperlakukan warganya dalam persamaan status, tanpa membeda-bedakan ras, etnis, dan agama.
Tak lupa Adli juga mengimbau seluruh masyarakan Aceh dan bangsa Indonesia agar memberikan bantuan kemanusiaan kepada msyarakat Rohingya, khususnya mereka yang telah berhasil menyelamatkan nyamanya dan menjadi manusia perahu dan terdampar di perairan Aceh Utara saat ini.
“Kami juga minta IOM dan UNHCR segera turun mengindentifikasi mereka yang kini berada di Aceh Utara itu dan memberikan status pengungsi (refugee), sehingga terlindungi keberadaannya berdasarkan hukum internnasional,” demikian Adli Abdullah.
Sumber : Serambi Indonesia
No comments:
Post a Comment
Berikan komentar Anda untuk menilai setiap isi postingan, Admin melarang keras komentar yang berisi hal Porno,SARA/Rasis.
Terimakasih