Naskah Proklamasi Pernyataan Perang Belanda Terhadap Aceh |
BANDA ACEH | Ketua Komite
Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara R Hutagalung mengatakan rakyat
Aceh dapat menggugat dan menuntut Pemerintah Belanda ke Mahkamah
Internasional atas agresi Belanda terhadap Aceh pada 1873. Akibat agresi
itu sekitar 70 ribu rakyat Aceh meninggal, dan menyisakan kesengsaraaan
meskipun Aceh tidak pernah takluk dari Belanda.
“Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 1873 dan sejak itulah terjadi kejahatan dan penindasan yang membuat banyak terjadi pembantaian penduduk sipil. Belanda harus resmi minta maaf kepada rakyat Aceh atas agresi militer tersebut,” kata Batara seusai menjadi pembicara pada Seminar Kejanggalan dalam Hubungan Diplomatik RI-Belanda dalam Perspektif Nasional dan Lokal yang diselenggarakan Prodi Sejarah FKIP Unsyiah di aula kampus setempat, Kamis (14/3).
Acara dibuka Dekan FKIP Unsyiah Prof M Yusuf Aziz MPd dengan menampilkan dua pemateri yakni Batara R Hutagalung dan sejarawan senior Aceh Rusdi Sufi. Acara yang dimoderatori oleh sejarawan Unsyiah, Dr Husaini Ibrahim MA ini, diikuti oleh ratusan mahasiswa Prodi Sejarah, Prodi Bahasa dan FISIP Unsyiah. Turut hadir, Pembantu Dekan I Drs Salasih R MPd, Pembantu Dekan III Dr Jufri MSi dan Pembantu Dekan IV Dr Wildan MPd.
Menurut Batara pengajuan gugatan tersebut dinilai penting sebagai bagian dari upaya mengangkat martabat rakyat Aceh yang secara langsung mengalami penindasan dari Belanda selama masa penjajahan.
Dia sebutkan Belanda secara jelas telah melakukan pelanggaran teritorial dimana saat itu Aceh merupakan satu negara yang berdaulat, yang ditandai dengan adanya hubungan diplomatik yang intens dengan Belanda dan negara lainnya.
“Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 1873 dan sejak itulah terjadi kejahatan dan penindasan yang membuat banyak terjadi pembantaian penduduk sipil. Belanda harus resmi minta maaf kepada rakyat Aceh atas agresi militer tersebut,” kata Batara seusai menjadi pembicara pada Seminar Kejanggalan dalam Hubungan Diplomatik RI-Belanda dalam Perspektif Nasional dan Lokal yang diselenggarakan Prodi Sejarah FKIP Unsyiah di aula kampus setempat, Kamis (14/3).
Acara dibuka Dekan FKIP Unsyiah Prof M Yusuf Aziz MPd dengan menampilkan dua pemateri yakni Batara R Hutagalung dan sejarawan senior Aceh Rusdi Sufi. Acara yang dimoderatori oleh sejarawan Unsyiah, Dr Husaini Ibrahim MA ini, diikuti oleh ratusan mahasiswa Prodi Sejarah, Prodi Bahasa dan FISIP Unsyiah. Turut hadir, Pembantu Dekan I Drs Salasih R MPd, Pembantu Dekan III Dr Jufri MSi dan Pembantu Dekan IV Dr Wildan MPd.
Menurut Batara pengajuan gugatan tersebut dinilai penting sebagai bagian dari upaya mengangkat martabat rakyat Aceh yang secara langsung mengalami penindasan dari Belanda selama masa penjajahan.
Dia sebutkan Belanda secara jelas telah melakukan pelanggaran teritorial dimana saat itu Aceh merupakan satu negara yang berdaulat, yang ditandai dengan adanya hubungan diplomatik yang intens dengan Belanda dan negara lainnya.
Tentara Penjajah Belanda berdiri diantara jenazah para pejuang Aceh |
Bahkan, kata Batara, Aceh adalah sebuah negara berdaulat
yang pertama mengakui kemerdekaan Belanda pada tahun 1602 sebagai satu
entitas politik. Namun pengakuan tersebut dibalas Belanda dengan
menyatakan maklumat perang terhadap Aceh pada 1873 yang hingga kini
belum pernah dicabut Belanda.
“Tidak penting ada atau tidaknya pencabutan maklumat perang, tapi sekarang Aceh dapat menuntut Belanda untuk minta maaf atas kejahatan perang yang mereka lakukan kepada rakyat Aceh selama agresi berlangsung,” ujarnya.
Menurut Batara pengajuan gugatan dilatarbelakangi karena Belanda harus mengembalikan dan memulihkan martabat rakyat Aceh yang pernah dirampas hak, harta, dan bahkan jiwa serta menyisikan kepedihan terhadap keluarga korban. “Bukan soal menang, tapi gugatan dilakukan untuk sebuah martabat dan keadilan rakyat Aceh. Membangkitkan semangat rakyat bahwa kita bangsa yang besar,” ujarnya.(sar)
Prosesnya Bisa Belajar dari Kenya
KETUA Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara R Hutagalung menyatakan, gugatan rakyat Aceh terhadap Pemerintah Belanda bukan hal yang mustahil untuk dilakukan. Proses pengajuan gugatan ini dapat dilakukan dengan membentuk Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Perwakilan Aceh. Sementara proses pengadilannya dapat dilakukan di Mahkamah Internasional.
Ia menyebutkan, kasus penuntutan terhadap sebuah negara jajahan terhadap negara penjajah pernah terjadi di Kenya. Saat itu empat orang Kenya, Afrika menuntut pemerintah Inggris atas penindasan terhadap etnis Mao Mao di Kenya yang melakukan pemberontakan sekitar tahun 1950.
Di antara mereka yang dibunuh, ada empat orang yang masih hidup dan jadi saksi mata. Keempat orang ini lalu mengajukan gugatan ke Pengadilan Inggris setelah Kenya memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada 1963. “Tanggal 3 oktober 2012, Pengadilan Inggris memenangkan gugatan mereka. Tapi sekarang bukan soal kompensasi lagi yang dicari. Tapi yang kita tuntutan walau satu rupiah adalah dilakukan secara simbolis. Belanda harus resmi minta maaf kepada rakyat Aceh atas agresi militer tersebut,” tegas Batara.
Menurut Batara, KUKB merupakan sebuah gerakan nasional yang menuntut pemerintah Belanda untuk mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945.
Oleh karena itu, pada 20 Mei 2005, seperti sebelumnya juga tuntutan Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI), KUKB menyampaikan tuntutan kepada Pemerintah Belanda untuk, pertama, mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17.8.1945. Kedua, meminta maaf atas penjajahan perbudakan, kejahatan perang dan berbagai pelanggaran HAM terutama yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945-1950.(sar)
Siap Mendukung
SAYA setuju saja kalau ada orang Aceh yang mau peduli dengan gugatan ini. Sebab perang Belanda ini telah menyebabkan kerugian yang besar bagi rakyat Aceh. Kita lihat saja banyak batu nisan yang membuktikan banyak orang Aceh meninggal saat agresi Belanda terjadi.
Dengan kata lain melihat banyaknya kerugian dan korban nyawa rakyat Aceh yang mencapai 70 ribu orang, maka bisa saja Aceh membentuk komite untuk menuntut Belanda. Termasuk juga pampasan perang (pembayaran yang secara paksa ditarik oleh negeri pemenang perang kepada negeri yang kalah perang sebagai ganti atas kerugian material).
Sampai saat ini maklumat perang belanda terhadap Aceh belum dicabut. Sejak awal memang Aceh sudah banyak berjasa kepada Belanda, karena Aceh yang pertama mengakui kemerdekaan Belanda. Tapi air susu dibalas air tuba.
Belanda tetap memaksa kehendak untuk memerangi Aceh untuk sebuah prestise. Sebab Aceh saat itu menjadi wilayah strategis masuk Nusantara, dan Belanda takut ada negara lain yang mencaplok. Maka Belanda tetap bersikeras untuk memerangi Aceh untuk menjadikannya bagian dari Hindia-Belanda.
* Rusdi Sufi, Sejarawan Aceh.
Sumber : Serambi Indonesia
No comments:
Post a Comment
Berikan komentar Anda untuk menilai setiap isi postingan, Admin melarang keras komentar yang berisi hal Porno,SARA/Rasis.
Terimakasih