Adsense

Monday, March 25, 2013

YM Malek Mahmud : No more conflic and I still in NKRI


Banda Aceh |  “Banyak putra-putra terbaik Aceh dengan tekad merdeka atau syahid yang begabung di bawah komando GAM pada saat itu dan setelah damai GAM mendirikan partai politik sebagai kelanjutan alat perjuangan dengan doktrin Meukuta Alam Al-Asyi.”

Demikian kenang Ketua Majelis Tuha Peuet Partai Aceh, Malek Mahmud, pada pelantikan pengurus DPA Partai Aceh kemarin, Minggu (24/3/2013) di Taman Ratu Safiatuddin, Banda Aceh.
Selain itu, ia juga menghimbau seluruh kader untuk menguatkan PA sebagai alat politik demi memperjuangkan cita-cita rakyat Aceh mengingat PA adalah partai yang lahir dari air mata, keringat dan darah rakyat Aceh.
 
Tak hanya kepada kader PA, Malek Mahmud juga mengajak masyarakat Aceh untuk bahu membahu perkuat Aceh agar tetap satu, saling bersaudara dan menguatkan ulama serta umara dalam ukhuwah Islamiah demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Aceh.
Malek juga mengakui bahwa paska MoU Helsinki memang masih banyak hak-hak keluarga syuhada yang berjuang untuk Aceh selama ini belum sepenuhnya terperhatikan oleh PA sendiri khususnya, namun perhatian ke arah sana tetaplah menjadi prioritas bagi PA.

Malek menambahkan bahwa wilayah Aceh terhampar dari Sabang hingga Singkil, termasuk di dalamnya Gayo dan Tamiang serta pulau-pulau lainnya.” Itu sesuai dengan peta nasional,” tegasnya.
Mengenai Bendera dan Lambang yang baru saja disahkan oleh DPRA, Malek Mahmud merasa sedih ketika kedua identitas Aceh tersebut dipersoalkan oleh pihak pusat.

Menurutnya, bendera adalah lambang perdamaian Aceh dengan NKRI. “Dimana-mana nantinya akan bersanding pengibarannya (dengan bendera merah putih-red). Dulu bendera merah putih dibawa lari saat daerah lain dijajah, tapi tidak di Aceh dan Aceh adalah de facto Indonesia saat daerah lain sudah direbut Belanda,” paparnya.

Selanjutnya menurut Malek Mahmud, lambang dan bendera adalah hak dan kebanggaan rakyat Aceh dan Aceh meminta hal itu tidaklah harus dipersoalkan. “No more conflic and I still in NKRI,” ungkapnya meyakinkan pemerintah pusat.

Sebelumnya Malek Mahmud menyatakan bahwa Sunarko selaku Dewan Penasehat DPP Partai Gerindra sudah dianggap sebagai anak Aceh dan untuk memperjuangkan lambang dan bendera di tingkat pusat sudah sangat layak berada di tangan Sunarko. “Itu tugas Pak Sunarko untuk melobi pihak pusat yang belum mengerti arti sejarah,” ujar Malek di akhir sambutannya.


Sumber : Atjeh Link

Dai Aceh Dakwah di Eropa

Teungku Mulyadi M Jamil

LHOKSEUMAWE | Tgk Mulyadi M Jamil (35), dai (pendakwah) asal Kota Lhokseumawe, diundang untuk menyampaikan ceramah agama di dua negara Eropa, yakni Denmark dan Norwegia.

Bertolak dari Lhokseumawe, Sabtu (23/3) malam, Waled Mulyadi--begitu ia bisa disapa--mengaku sudah tiba di Batam, Kepulauan Riau, pada Minggu (24/3) siang. Dari Batam ia akan memulai perjalanannya ke luar negeri untuk seterusnya menuju Norwegia.

Di Norwegia, Waled Mulyadi akan berceramah tanggal 30 Maret, di Denmark pada 2 April mendatang. “Materi ceramahnya tentang maulid nabi,” ujar Tgk Mulyadi saat dihubungi Serambi kemarin siang.

Menurutnya, ceramah tersebut akan dilanjutkan dengan diskusi agama dan disampaikan dalam bahasa Indonesia campur Arab, karena ceramahnya di depan komunitas Indonesia, khususnya warga Aceh yang ada di Norwegia dan Denmark.

Waled Mulyadi mengaku, tiga bulan lalu ia dihubungi Ketua Masyarakat Aceh di Denmark, Hasan Basri untuk berceramah di Denmark dan Norwegia.

Karena tawaran itu dinilainya sebagai peluang untuk memperluas syiar Islam ke Eropa, maka dia pemenuhi undangan tersebut. “Apalagi seluruh biaya keberangkatan ditanggung panitia. Urusan saya hanya menyiapkan paspor saja,” ujarnya. Ia berharap doa restu dari masyarakat Aceh agar kunjungannya ke Eropa tanpa hambatan dan sukses menyampaikan dakwah di sana.

Sumber : Serambinews

Bendera Aceh Tetap Berkibar

 
Seorang warga menghormat Bendera Aceh yang dinaikkan di kawasan Ujong Blang, Kecamatan Banda Sakti
* Warga Cegah Upaya Penurunan

LHOKSEUMAWE | Lokasi pengibaran bendera bintang bulan di wilayah utara Aceh, meliputi Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe dilaporkan terus bertambah bahkan sempat terjadi pelarangan dari warga saat aparat akan menurunkan bendera tersebut. Di Nagan Raya, bendera merah dengan les hitam itu juga sempat berkibar selama lima jam, namun akhirnya diturunkan oleh pihak keamanan.

Dari Aceh Utara dilaporkan, pengibaran bendera Aceh di Jalan Nasional Banda Aceh-Medan, tepatnya di Keude Geudong, Kecamatan Samudera, Aceh Utara menarik perhatian masyarakat. Pasalnya, bendera yang dinaikkan sejak Sabtu (23/3) tersebut sempat berusaha diturunkan oleh aparat TNI/Polri pada pukul 13.30 WIB, kemarin. Namun, upaya menurunkan bendera bintang bulan tersebut dengan galah gagal karena dicegah warga. Akibatnya, hingga tadi malam bendera yang berkibar di Keude Geudong itu masih tetap di ujung tiang, termasuk di beberapa titik lainnya.

Menurut laporan, aparat TNI/Polri tiba di Keude Geudong sekitar pukul 13.00 WIB dengan mobil patroli polisi dan sepeda motor. Setiba di lokasi mereka menurunkan spanduk bergambar bendera Aceh dan lambang daerah. Juga foto anggota DPRK Aceh Utara, Azhari Cage dan Ketua KPA Wilayah Pase, Tgk Zulkarnaini Hamzah. Aparat bersenjata terlihat siaga ketika proses penurunan spanduk tersebut dilakukan.

Kalimat yang tertera di spanduk itu, “Kruue seumangat, selamat kami ucapkan kepada DPRA dan Gubernur Aceh yang telah bekerja sama mengesahkan Qanun Bendera Aceh dan Lambang Aceh berasaskan MoU Helsinki poin 1.1.5”.

Ketika aparat hendak menurunkan bendera Aceh, ternyata upaya itu dicegah sejumlah warga. Warga dan Pengurus Partai Aceh (PA) Ranting Geudong berharap, kalau petugas menurunkan bendera itu supaya tidak memotong tiang dan tidak merusak bendera. Karena ada saran seperti itu, akhirnya aparat membatalkan menurunkan bendera. Bahkan, sejumlah warga terlihat memasang kembali spanduk yang sempat diturunkan aparat.

Hingga pukul 22.00 WIB tadi malam, lokasi-lokasi di Aceh Utara yang masih berkibar bendera Aceh antara lain di Keude Geudong, Kecamatan Samudera, Desa Bluek, Kecamatan Meurah Mulia, Jalan Line Pipa, Desa Tanjong Mesjid, Kecamatan Samudera, Desa Simpang Raya, Kecamatan Nibong, dan di Keudee Simpang Mulieng, Kecamatan Syamtalira Aron.

Laporan lain yang diterima Serambi, hingga tadi malam, ada sejumlah lokasi di Aceh Utara yang sudah diturunkan bendera bergambar bintang bulan tersebut, yaitu di Teupin Jok, Kecamatan Nibong dan di atap Sekretariat Dewan Pimpinan Sagoe (DPS) Partai Aceh (PA) Meurah Mulia di Desa Keude Karieng. Bahkan dinding Sekretariat DPS PA itu, yang bergambar bendera juga telah ditutup pada bagian gambar bintang dan bulan dengan menggunakan kertas karton.

Ketua DPS PA Geudong, Zulkifli kepada Serambi mengatakan, pihaknya tidak pernah menyuruh warga menaikkan bendera itu dan tidak mengetahui siapa yang menaikkan. “Jika aparat hendak menurunkan kami juga tidak melarangnya, tapi kami minta supaya bendera itu jangan sampai rusak dan tidak memotong tiangnya jika harus diturunkan,” kata Zulkifli.

Zulkifli membenarkan, spanduk yang sempat diturunkan di Keude Geudong sudah mendapat persetujuan bisa dinaikkan kembali. Laporan lain dari Aceh Utara menyebutkan, di Kecamatan Tanah Jambo Aye, bendera Aceh dikibarkan di Desa Matang Maneh (di dua titik di atas pohon). Bendera itu terlihat berkibar sekitar pukul 10.00 WIB, kemudian diturunkan oleh aparat kepolisian di Tanah Jambo Aye setelah memberikan arahan kepada masyarakat. Bendera yang sudah diturunkan itu diserahkan kepada warga.

“Masyarakat langsung bereaksi dengan mengibarkan bendera Aceh setelah membaca di media bahwa DPRA telah mensahkan qanun tentang bendera dan lambang daerah Aceh,” kata Ketua KPA Pase, Tgk Zulkarnaini Hamzah.

Dari Lhokseumawe dilaporkan, pada Minggu kemarin sedikitnya ada 10 bendera Aceh yang dikibarkan masyarakat di Desa Ujong Blang, Kecamatan Banda Sakti. Bendera bintang bulan itu dikibarkan sekitar pukul 08.00 WIB di depan rumah penduduk, dan sempat terlihat di ujung tiang hingga pukul 14.00 WIB kemarin, sebelum akhirnya diturunkan.

Bendera Aceh dilaporkan sempat pula berkibar di wilayah Nagan Raya sejak Sabtu (23/3) pukul 19.00 WIB hingga Minggu (24/3) dini hari. Namun, pihak kepolisian setempat enggan memberikan konfirmasi terkait pengibaran bendera bintang bulan tersebut.

Informasi yang dihimpun Serambi, titik awal pengibaran bendera Aceh itu masing-masing di Tugu Desa Simpang Peut, Kecamatan Kuala diikatkan pada tiang dan di atas Pos Kamling Desa Ujong Pasie, Kecamatan Kuala diikatkan pada tiang bendera.

Dandim 0116 Nagan Raya, Letkol Inf Yunardi yang dikonfirmasi Serambi Minggu (24/3) melalui ponselnya membenarkan pihaknya bersama aparat Polsek Kuala telah menurunkan bendera berlambang bulan bintang di dua titik di Kecamatan Kuala.

Menurut Letkol Yunardi, penurunan bendera berlambang bintang bulan itu dilakukan pihaknya setelah melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian untuk dilakukan langkah dan penanganan secara persuasif di lapangan guna menghindari hal-hal yang tak diinginkan.(c37/ib/edi)

Gubernur: Jangan Kibarkan Dulu

GUBERNUR Aceh, dr Zaini Abdullah mengimbau masyarakat Aceh agar bersabar dulu untuk mengibarkan bendera bintang bulan. Menurut Gubernur Aceh, meskipun Rancangan Qanun (Raqan) Bendera Aceh dan Lambang Daerah sudah disahkan menjadi qanun oleh DPRA, namun untuk sementara waktu jangan dikibarkan dulu sebab belum dimasukkan dalam lembaran daerah.

“Saya minta bersabar dulu. Sudah ada yang mengibarkan di daerah-daerah, seperti di Lhokseumawe. Karena hal itu belum masuk lembaran daerah, maka bersabar sebentar,” imbau Gubernur Zaini Abdullah ketika berpidato pada pelantikan Pengurus Dewan Pimpinan Aceh (DPA) Partai Aceh (PA) periode 2013-2018 di Taman Ratu Safiatuddin, Lampriek, Banda Aceh, Minggu (24/3).

Dijelaskan Zaini, sebuah qanun yang telah disahkan DPRA tidak terus bisa diberlakukan, karena ada tahapan yang harus dilalui lagi, seperti harus masuk dulu dalam lembaran daerah. “Kalau belum masuk dalam lembaran daerah, maka qanun tersebut belum boleh diberlakukan. Itu ketentuan yang harus ditaati,” tandasnya.

Zaini menyatakan tidak lama lagi qanun (tentang bendera) sudah bisa diberlakukan. “Saya harapkan untuk itu kita bersabar sebentar,” ujarnya.

Zaini juga mengatakan, tiga raqan yang telah disahkan menjadi qanun oleh DPRA, yaitu Qanun Wali Nanggroe, Lambang Daerah dan Bendera Aceh merupakan hal yang cukup monumental. “Tentunya kita patut memberi aspresiasi pada dewan. Semuanya realisasi dari MoU Helsinki,” katanya.

Khusus kepada Pengurus DPA-PA, Zaini berharap dapat berbuat lebih baik lagi ke depan. “Tantangan untuk sebuah perjuangan masih panjang yang membentang di depan dalam mewujudkan Aceh lebih baik,” demikian Zaini Abdullah.

Sumber : Serambinews

Ratusan Warga Pasee Konvoi dan Kibarkan Bendera Aceh


Lhoksukon | Ratusan masyarakat Wilayah Pase Kabupaten Aceh Utara , saat ini, Senin (25/03/2013), melakukan konvoi damai pengibaran bendera Aceh yang berlambang bulan dan bintang. Konvoi dilaksanakan dengan cara menggunakan sepeda motor dan mobil, yang melintasi jalan nasional Banda Aceh-Medan, mulai dari Lhokseumawe hingga Panton Labu.

Amatan The Globe Journal, dalam melaksanakan konvoi pengibaran bendera itu, tidak satupun terlihat adanya pihak aparat TNI maupun Polri yang menjaga arus lalulintas. Hanya saja yang terlihat ratusan masyarakat yang menyaksikan konvoi itu dari pinggiran jalan. Bahkan, masyarakat yang menyaksikan konvoi itu menyambut hangat kedatangan para konvoi pengibaran bendera.

Ratusan masyarakat yang tidak menamakan pihak manapun itu berkonvoi sambil mengibarkan dan memasang bendera bulan bintang di kendaraan. 
Kepada The Globe Journal, beberapa masyarakat yang ikut konvoi itu mengatakan, bahwa konvoi ini dilakukan tanpa dikomando oleh siapapun. “Ini atas kebanggaan kami terhadap pemerintah yang telah mengesahkan qanun bendera Aceh. Maka kita lakukan konvoi damai ini sambil mengibarkan bendera kebanggaan kita yang telah lama kita harapkan,” ujar beberapa masyarakat yang ikut berkonvoi.

Saat ini, warga yang mengikuti konvoi tersebut sedang menunaikan ibadah Shalat Maghrib. Usai shalat, mereka mengaku akan melanjutkan konvoi tersebut ke wilayah Aceh Utara-Lhokseumawe. 
 
 
Sumber : The Globe Journal / The Atjeh Post

Sunday, March 24, 2013

Warga Aceh di Penang Peringati Maulid Nabi

SURIADI ST, MSc

OLEH SURIADI ST, MSc, kandidat PhD pada School of Electrical and Electronic, University Science Malaysia, melaporkan dari Penang

SUDAH menjadi kebiasaan masyarakat Aceh di mana pun berada mereka selalu memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad saw yang sering disebut moloud dalam masa tiga sampai empat bulan dari 12 Rabiul Awal setiap tahun. Masa ini sering disebut “moloud awai, teungoh, dan moloud akhe”.

Dengan tradisi seperti itu, pada 17 Maret 2013 telah kami peringati moloud di seantero Penang, Malaysia. Terselenggara atas kerja sama berbagai komponen masyarakat Aceh seperti pedagang, pelajar, pekerja, serta tokoh-tokoh masyarakat Melayu Aceh di Penang.

Dalam acara itu ikut ditampilkan dike (zikir) Aceh oleh Grup Asoe Donya Taman Ria Sungai Patani Kedah. Grup dike ini terdiri atas orang-orang Aceh yang sudah lama tinggal di Malaysia.

Sekitar 2.000 orang undangan hadir. Mereka masyarakat Aceh dari seluruh pelosok Penang dan sekitarnya, seperti dari Sungai Patani, Taman Pelangi seberang Perai dan Sungai Tiram. Juga hadir tokoh masyarakat Aceh generasi ketiga dan keempat seperti Tuan Haji Abdul Malek bin Haji Muhammad Thaib, Tgk Abd Rahman, serta saudara-saudara mereka dari Kampung Yan Aceh, Kedah.

Panitia yang diketuai Tgk Haji Umar Rafsanjani menyediakan jamuan makan khas Aceh seperti kuah beulangong boh labu, kuah sie puteh, serta rujak Aceh. Juga ada timphan (lepat khas Aceh). Peringatan molod akbar ini menelan biaya sekitar RM 15.000 (Rp 45.000.000). Maklum, panitia menyembelih tiga lembu hasil kerja sama masyarakat di “limong sagoe” Pulau Penang, meliputi: Sagoe Universiti Sains Malaysia, Bayan Baru, Bayan Lepas, Relau, dan Sagoe Bukit Jambul.

Dalam sambutannya tokoh masyarakat Aceh diwakili Yang Berbahagia Tuan Haji Abdul Malek bin Haji Muhammad Thaib banyak menceritakan sejarah orang Aceh pergi ke Malaysia pada zaman dulu dalam bahasa Aceh yang fasih. Bahwa masyarakat Aceh yang berdiam di Kampung Yan Aceh dulunya membuat satu kumpulan yang dinamai “Pakatan Dala’e”. Pakatan ini dulu bergerak dalam pengumpulan dana membeli senjata di Penang untuk dikirim ke Aceh melawan penjajahan Belanda.

Dalam perjalanannya, datang seorang ulama dari Lamno bernama Tgk Abdul Jalil Lamno yang ingin menimba ilmu ke Pakistan. Sesampainya di Kampung Yan Aceh beliau sarankan jangan lagi beli senjata untuk Aceh, melainkan dirikan saja sekolah. Maka didirikanlah sebuah sekolah oleh Tgk Abdul Jalil Lamno yang sampai sekarang masih ada.

Untuk keberlanjutannya, masyarakat Kampung Yan Aceh menyerahkan sekolah tersebut kepada Kerajaan Negeri (Pemerintah Daerah) untuk dimajukan. Setelah diambil alih oleh kerajaan negeri, maka sekolah tersebut diberi nama Sekolah Agama Makhtab Mahmud. Maktab Mahmud itu didirikan di atas tanah milik orang Aceh yang dulunya disumbangkan dalam bentuk tanah dan uang.

Beliau berkisah, dulu kalau diadakan kenduri moloud di Kampung Yan Aceh selalu habis dua ekor lembu. Tapi sekarang seekor kambing pun belum tentu habis, karena minimnya sudah warga Aceh di kampung ini.

Sekarang di Kampung Yan Aceh hanya tersisa 40 kepala keluarga lagi, mendiami rumah-rumah milik mereka, sedangkan yang lainnya kosong.i akhir pembicaraan beliau berharap orang-orang Aceh yang sudah berhasil agar kembali lagi ke perkampungan endatu mereka, menghidupkan kembali Kampung Yan Aceh.

Acara itu kemudian dilanjutkan dengan tausiah tentang kelahiran Nabi Besar Muhammad saw oleh Tgk Drs H Mudawali. Putra Aceh yang sudah menetap di Kuala Kansar, Perak ini dalam tausiahnya mengupas makna peringatan maulid nabi. Tausiahnya dalam bahasa Aceh campur Melayu. Soalnya, dalam acara itu juga hadir masyarakat Melayu seperti Datok Ismail (Imam Masjid Bayan Lepas), Ustaz Rasyid (Imam Masjid Bukit Jambul), dan pihak Kepolisian Malaysia.

Menurut Tgk Mudawali, setiap tahun kita peringati hari kelahiran Nabi Muhammad saw dan tidak pernah kita peringati hari kematiannya. Hal ini bermakna Nabi Muhammad tak pernah mati, melainkan terus hidup dalam bentuk ajarannya, yaitu Islam. Untuk itu, beliau ajak semua masyarakat Aceh mengikuti tingkah laku Nabi Muhammad untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

[email penulis: suriadi_ali@elektro.unsyiah.ac.id]

Sumber : Serambinews

Lusa Wagub Akan Hadiri Kegiatan Mahasiswa Aceh di Kuala Lumpur


Kuala Lumpur | Wakil Gubernur, Muzakkir Manaf dipastikan akan membuka acara Aceh Development International Conference (ADIC) 2013 di Kuala Lumpur pada 26 Maret 2013, Kata Hadi, wakil ketua panitia hari ini Minggu (24/3/2013).

Sebelumnya pihaknya berharap berharap Gubernur Aceh dr Zaini Muzakkir yang hadir. Akan tetapi karena kegiatan gubernur lainnya yang tak bisa dihelakkan, dr Zaini meminta Wagub Aceh Muzakkir Manaf untuk menghadiri kegiatan tersebut.
"Kami telah mendapat kepastian bahwa Wagub yang akan membuka acara, kami sedang koordinasi penjemputan", tambah Hadi pada saat memimpin rapat persiapan terakhir di sekretariat panitia Adic di Universiti Malaya.
Selain Wagub, ADIC kali ini juga menghadirkan Prof. Dr. Al Yasa' Abubakar, akademisi  dan Ismail Sofyan, dan sejumlah pengusaha Aceh di Jakarta sebagai keynote speaker.

Persiapan panitia hingga hari ini sudah 90 persen. Rapat  hari ini adalah persiapan teknis hari H saja, dan besok akan dilakukan gladi untuk memastikan seluruh kegiatan pada hari H  berjalan dengan baik. Terang Iskandar, Ketua Panitia.

Adic kali ini dilaksanakan oleh Academic of Islamic Studies, Universiti Malaya,  International Association of Acehnese Scholars (IAAS) dan  Acehnese Student Association (ASA) organisasi mahasiswa Universiti Malaya. Selain itu acara ini juga disukseskan oleh organisasi mahasiswa Aceh yang ada di berbagai kampus di Malaysia.
 
 

Saturday, March 23, 2013

Bendera Dan Lambang Aceh Sebagai Identitas

Bendera dan Lambang Aceh
Banda Aceh | Pro dan Kontra yang selama ini terjadi semenjak DPRA mengajukan Rancangan Qanun Tentang Bendera dan Lambang Aceh diharapkan dapat berakhir dan diganti dengan semangat untuk terus menjaga perdamaian dan semangat untuk membangun Aceh ke arah yang lebih baik.
Hal demikian disampaikan secara tertulis oleh ketua Komite Pemuda Koetaradja (KPK), Lazuardi, Sabtu (23/3/2013).

Raqan Tentang Bendera dan lambang sudah disahkan di Gedung DPRA. Menurutnya ini menjadi awal kepada seluruh masyarakat Aceh untuk semakin menyatukan gagasan dan langkah serta semangat membangun Aceh yang terus menjaga perdamaian. Sahnya Qanun  bendera dan lambang semakin jelas bahwa Aceh memiliki otonomi khusus  yang berdaulat dalam  mengatur wilayah sendiri baik di bidang ekonomi, politik, pendidikan dan hal-hal lain yang disepakati dan diatur dalam Undang-Undang no 11 tahun 2006 tentang pemerintah Aceh diluar kewenangan pemerintah pusat.

"Kami menyadari bahwa Bendera dan Lambang merupakan suatu hal yang penting untuk menyatakan  identitas ke Acehan bagi masyarakat Aceh dan sebagai bentuk pemersatu masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh patut bersuka cita dan bangga atas pengesahan Qanun ini karena kita (Aceh) adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang berani menyatakan sikap secara gamblang mengenai identitas wilayahnya yang tertuang dalam wujud simbol Bendera dan Lambang. Ini juga merupakan buah perjuangan panjang masyarakat Aceh selama bertahun-tahun,"ujarnya panjang lebar.

Terlepas dari pro dan kontra pengesahan Qanun bendera dan lambang, Komite Pemuda Koetaradja (KPK) menyadari bahwa merealisasikan salah satu butir amanah yang tercantum dalam MoU Helsinki bukanlah kerja yang mudah dan tanpa hambatan. Maka dari itu mereka memberi apresiasi yang sangat besar kepada seluruh pihak yang terlibat dalam mendorong disahkannya Raqan bendera dan lambang tersebut.

Komite Pemuda Koetaradja juga menghimbau kepada seluruh masyarakat Aceh agar dapat terus menjaga perdamaian dan terus mendukung kerja-kerja pemerintah Aceh dibawah kepemimpinan Doto Zaini – Mualem dalam mendorong terealisasinya amanah MoU Helsinki dan UUPA. "Kami juga berharap semua visi dan misi  dapat benar-benar direalisasikan dan juga segera menyelesaikan tugas-tugas yang belum selesai demi kemajuan rakyat Aceh seperti PP, Perpres, Qanun, dan hal-hal lain dalam UUPA." tutupnya.


Lambang Buraq-Singa Akan Gantikan Pancacita

Lambang Pancacita dan Buraq-Singa
Banda Aceh | Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) telah mengesahkan Rancangan Qanun (Raqan) tentang Bendera dan Lambang Aceh. Artinya lambang Buraq akan segera menghiasi setiap sudut ruang perkantoran di Aceh.

Sedangkan lambang Pancacita yang kerap dikenakan di lengan baju Pegawai Negeri Sipil (PNS) selama ini akan segera ditanggalkan.
Hal ini mengingat, setelah qanun Lambang dan Bendera telah disahkan. Maka, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1991 tentang keistimewaan Aceh dengan lambang Pancacita secara otomatis telah batal demi hukum.

Demikian halnya juga dengan Bendera di Aceh. Selama ini setiap perkantoran hanya menaikkan bendera Merah Putih. Sebentar lagi akan ada dua bendera secara berdampingan dikibarkan di perkantoran Pemerintah setiap harinya dari pagi sampai sore.

"Mulai saat ini Undang-undang Nomor 39 Tahun 1991 tentang lambang Aceh Pancacita akan dicabut, digantikan dengan lambang Aceh yaitu Buraq," kata Gubernur Aceh, Zaini Abdullah Jumat malam (22/3/2013) pada sidang penutupan pengesahan 3 Raqan.

Kata Zaini Abdullah, lahirnya Lambang dan Bendera Aceh tersebut merupakan simbul pemersatu rakyat Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Tegasnya kembali, qanun Lambang dan Bendera tersebut memang sudah menjadi dambaan seluruh rakyat Aceh selama ini. Karena memang menjadi manifestasi keberagaman kebudayaan yang dimiliki rakyat Aceh saat ini.

"Hal yang lebih penting juga adalah dengan lahirnya qanun lambang dan bendera bisa terus meningkatkan kesejahteraan rakyat," imbuhnya.

Friday, March 22, 2013

Aceh Gandeng TNI Angkatan Udara

Gubernur Aceh Zaini Abdullah disaksikan Wali Nanggroe Malik Mahmud menyerahkan cinderamata kepada Kepala Staf TNI AU Marskel TNI Ida Bagus Putu Dunia, di Mabesau, Cilangkap, Jakarta, Kamis (21/3).
 * Bangun Pendidikan Kedirgantaraan

JAKARTA | Pemerintah Aceh mengajak  Markas Besar TNI Angkatan Udara (Mabes AU)  membangun pendidikan kedirgantaraan di Aceh. Ajakan tersebut diutarakan Gubernur dr Zaini Abdullah dalam pertemuan dengan Kepala Staf TNI AU (KASAU) Marskal TNI Ida Bagus Putu Dunia, di Mabes TNI AU, Cilangkap, Jakarta Timur, Kamis (21/3).

Pemerintah Aceh saat ini sedang menyiapkan pembangunan Kampus Dirgantara Aceh di Kawasan Aceh Besar. Kampus tersebut, kata gubernur, mengintegrasikan sekolah menengah kejuruan (SMK) Penerbangan, Sekolah Pilot, dan Institute Aeronautica.

“Untuk mewujudkan pendidikan kedirgantaraan itu, kami membutuhkan kerja sama dengan TNI AU,” kata Gubernur. Kelak, Pemerintah Aceh juga akan  mengembangkan industri penerbangan yang dinilai sangat prosfektus secara ekonomi.

KASAU  Marskal TNI Ida Bagus Putu Dunia menyambut baik gagasan pembangunan pendidikan kedirgantaraan Aceh. “Kami setuju dengan rencana kerja sama ini,” kata Ida Bagus yang pernah bertugas di Aceh. Pertemuan itu juga dihadiri Wali Nanggroe Malik Mahmud, dan Kepala Lembaga Dirgantara Aceh Marsda TNI Purn. HT. Syahril.

Pada hari yang sama, bertempat di Mess Aceh, Gubernur Zaini Abdullah dan Wali Nanggroe Malik Mahmud bertemu dengan 10 mahasiswa Aceh yang menempuh pendidikan manajemen transportasi udara di Sekolah Tinggi Penerbangan Aviasi Jakarta. “Kami adalah angkatan II dari Aceh. Kami semua akan diwisuda pada Oktober nanti,” kata M Ilham, mahasiswa asal Banda Aceh.

Gubernur Zaini dan Wali Nanggroe Malik Mahmud menyebutkan bahwa masa depan kedirgantaraan Aceh ada pada mereka. Gubernur mempersilakan mereka melanjutkan pendidikan ke jenjang S1. “Tapi nanti kalau dibutuhkan, Pemerintah Aceh akan memanggil kalian untuk pulang membangun Aceh,” ujar Gubernur.

Kepala Lembaga Dirgantara Aceh Marsda TNI Purn. HT. Syahril, mengatakan, mahasiswa penerbangan asal Aceh itu nanti akan dipekerjakan di banda-bandara di Aceh dan menjadi tenaga pengajar di Kampus Dirgantara Aceh.(fik)

Kontrol Udara Seharusnya di Aceh

WALI Nanggroe Malik Mahmud mengusulkan kepada KASAU untuk melakukan kontrol udara dari Aceh, sebagai kawasan yang sangat starategis karena langsung berhubungan dengan negara luar. “Seharusnya kontrol udara ada di Aceh, bukan di Singapura dan Malaysia,” katanya.

Malik Mahmud juga menyampaikan agar dibangun pangkalan penyelamatan di Lhokseumawe apabila sewaktu-waktu terjadi musibah kapal tanker di Selat Malaka.

“Mudah-mudahan tidak ada kecelakaan tanker di sana, tapi kalau terjadi maka bantuan yang paling mudah adalah dari Lhokseumawe,” kata Malik Mahmud yang baru kembali dari Yogyakarta bertemu Sultan Hamengkubuwono X dan meninjau sekolah penerbangan di Yogyakarta.


Sumber : Serambinews

Friday, March 15, 2013

Aceh Bisa Gugat Belanda Terkait Kejahatan Perang 2 Abad Silam

Naskah Proklamasi Pernyataan Perang Belanda Terhadap Aceh
BANDA ACEH | Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara R Hutagalung mengatakan rakyat Aceh dapat menggugat dan menuntut Pemerintah Belanda ke Mahkamah Internasional atas agresi Belanda terhadap Aceh pada 1873. Akibat agresi itu sekitar 70 ribu rakyat Aceh meninggal, dan menyisakan kesengsaraaan meskipun Aceh tidak pernah takluk dari Belanda.

“Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 1873 dan sejak itulah terjadi kejahatan dan penindasan yang membuat banyak terjadi pembantaian penduduk sipil. Belanda harus resmi minta maaf kepada rakyat Aceh atas agresi militer tersebut,” kata Batara seusai menjadi pembicara pada Seminar Kejanggalan dalam Hubungan Diplomatik RI-Belanda dalam Perspektif Nasional dan Lokal yang diselenggarakan Prodi Sejarah FKIP Unsyiah di aula kampus setempat, Kamis (14/3).

Acara dibuka Dekan FKIP Unsyiah Prof M Yusuf Aziz MPd dengan menampilkan dua pemateri yakni Batara R Hutagalung dan sejarawan senior Aceh Rusdi Sufi. Acara yang dimoderatori oleh sejarawan Unsyiah, Dr Husaini Ibrahim MA ini, diikuti oleh ratusan mahasiswa Prodi Sejarah, Prodi Bahasa dan FISIP Unsyiah. Turut hadir, Pembantu Dekan I Drs Salasih R MPd, Pembantu Dekan III Dr Jufri MSi dan Pembantu Dekan IV Dr Wildan MPd.

Menurut Batara pengajuan gugatan tersebut dinilai penting sebagai bagian dari upaya mengangkat martabat rakyat Aceh yang secara langsung mengalami penindasan dari Belanda selama masa penjajahan.

Dia sebutkan Belanda secara jelas telah melakukan pelanggaran teritorial dimana saat itu Aceh merupakan satu negara yang berdaulat, yang ditandai dengan adanya hubungan diplomatik yang intens dengan Belanda dan negara lainnya.
Tentara Penjajah Belanda berdiri diantara jenazah para pejuang Aceh
Bahkan, kata Batara, Aceh adalah sebuah negara berdaulat yang pertama mengakui kemerdekaan Belanda pada tahun 1602 sebagai satu entitas politik. Namun pengakuan tersebut dibalas Belanda dengan menyatakan maklumat perang terhadap Aceh pada 1873 yang hingga kini belum pernah dicabut Belanda.

“Tidak penting ada atau tidaknya pencabutan maklumat perang, tapi sekarang Aceh dapat menuntut Belanda untuk minta maaf atas kejahatan perang yang mereka lakukan kepada rakyat Aceh selama agresi berlangsung,” ujarnya.

Menurut Batara pengajuan gugatan dilatarbelakangi karena Belanda harus mengembalikan dan memulihkan martabat rakyat Aceh yang pernah dirampas hak, harta, dan bahkan jiwa serta menyisikan kepedihan terhadap keluarga korban. “Bukan soal menang, tapi gugatan dilakukan untuk sebuah martabat dan keadilan rakyat Aceh. Membangkitkan semangat rakyat bahwa kita bangsa yang besar,” ujarnya.(sar)

Prosesnya Bisa Belajar dari Kenya
KETUA Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara R Hutagalung menyatakan, gugatan rakyat Aceh terhadap Pemerintah Belanda bukan hal yang mustahil untuk dilakukan. Proses pengajuan gugatan ini dapat dilakukan dengan membentuk Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Perwakilan Aceh. Sementara proses pengadilannya dapat dilakukan di Mahkamah Internasional.

Ia menyebutkan, kasus penuntutan terhadap sebuah negara jajahan terhadap negara penjajah pernah terjadi di Kenya. Saat itu empat orang Kenya, Afrika menuntut pemerintah Inggris atas penindasan terhadap etnis Mao Mao di Kenya yang melakukan pemberontakan sekitar tahun 1950.

Di antara mereka yang dibunuh, ada empat orang yang masih hidup dan jadi saksi mata. Keempat orang ini lalu mengajukan gugatan ke Pengadilan Inggris setelah Kenya memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada 1963. “Tanggal 3 oktober 2012, Pengadilan Inggris memenangkan gugatan mereka. Tapi sekarang bukan soal kompensasi lagi yang dicari. Tapi yang kita tuntutan walau satu rupiah adalah dilakukan secara simbolis. Belanda harus resmi minta maaf kepada rakyat Aceh atas agresi militer tersebut,” tegas Batara.

Menurut Batara, KUKB merupakan sebuah gerakan nasional yang menuntut pemerintah Belanda untuk mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945.

Oleh karena itu, pada 20 Mei 2005, seperti sebelumnya juga tuntutan Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI), KUKB menyampaikan tuntutan kepada Pemerintah Belanda untuk, pertama, mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17.8.1945. Kedua, meminta maaf atas penjajahan perbudakan, kejahatan perang dan berbagai pelanggaran HAM terutama yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945-1950.(sar)

Siap Mendukung
SAYA setuju saja kalau ada orang Aceh yang mau peduli dengan gugatan ini. Sebab perang Belanda ini telah menyebabkan kerugian yang besar bagi rakyat Aceh. Kita lihat saja banyak batu nisan yang membuktikan banyak orang Aceh meninggal saat agresi Belanda terjadi.

Dengan kata lain melihat banyaknya kerugian dan korban nyawa rakyat Aceh yang mencapai 70 ribu orang, maka bisa saja Aceh membentuk komite untuk menuntut Belanda. Termasuk juga pampasan perang (pembayaran yang secara paksa ditarik oleh negeri pemenang perang kepada negeri yang kalah perang sebagai ganti atas kerugian material).

Sampai saat ini maklumat perang belanda terhadap Aceh belum dicabut. Sejak awal memang Aceh sudah banyak berjasa kepada Belanda, karena Aceh yang pertama mengakui kemerdekaan Belanda. Tapi air susu dibalas air tuba.

Belanda tetap memaksa kehendak untuk memerangi Aceh untuk sebuah prestise. Sebab Aceh saat itu menjadi wilayah strategis masuk Nusantara, dan Belanda takut ada negara lain yang mencaplok. Maka Belanda tetap bersikeras untuk memerangi Aceh untuk menjadikannya bagian dari Hindia-Belanda.

* Rusdi Sufi, Sejarawan Aceh.


Tuesday, March 12, 2013

Siswa Aceh Kenang Tsunami Jepang

Para siswa sedang menyusun kata dalam bahasa Jepang ‘kaizuna’ (persahabatan) dalam acara mengenang dua tahun tsunami Jepang di halaman SMP Negeri 1 Peukan Bada, Aceh Besar, Senin (11/3).
Banda Aceh | Dua tahun tsunami yang menerjang Jepang bukan hanya diperingati di negeri Sakura, tapi juga di Aceh yang pernah merasakan musibah sama pada 24 Desember 2004. Peringatan dua tahun tsunami Jepang dilangsungkan di SMP Negeri 1 Peukan Bada, Aceh Besar, Senin (11/3).
Peringatan ini merupakan bentuk solidaritas masyarakat Aceh untuk mengenang musibah yang terjadi di Jepang pada 11 Maret 2011.

"Ini merupakan upaya untuk memperkuat silaturahmi dan sebagai solidaritas kita sebagai rakyat Indonesia untuk rakyat Jepang," kata Siti Nurzuhara (14), siswi SMPN 1 Peukan Bada, Aceh Besar, saat mengenang dua tahun tsunami Jepang bersama seratusan siswa lainnya.

Dalam aksi solidaritas yang berlangsung sekitar pukul 14.00 WIB itu, seratusan siswa mulai tingkat SD, SMP dan SMA/sederajat di Banda Aceh dan Aceh Besar, terlihat berbaris layaknya menggelar upacara bendera.

Namun, ada yang berbeda, karena siswa yang menjadi protokol upacara dan pemimpin paduan suara mengenakan gaun khas Jepang, kimono. Dua lagu dilantunkan, yaitu "Omoiyari" yang berarti kasih sayang dan "Hanawasaku" atau bunga yang mekar. Lagu tersebut merupakan filosofi untuk membangkitkan kembali semangat.

Dalam penutupan upacara, para siswa membentangkan kain merah yang membentuk sebuah kata dalam bahasa Jepang, yaitu ‘kaizuna’ yang berarti persahabatan.

"Melalui aksi ini kami ingin mengajak anak-anak Jepang untuk bangkit dan menata masa depan kembali bersama-sama," kata Siti yang juga mengenakan gaun kimono dipadukan jilbab.

Siswi kelas tiga itu juga mengaku mempunyai beberapa kenalan pelajar dari Jepang karena siswa asal ‘Negeri Sakura’ itu pernah berkunjung ke sekolahnya untuk berbagi pengalaman menyangkut musibah tsunami.

Hingga saat ini, Siti masih berkomunikasi dengan mereka, baik melalui surat elektronik maupun media sosial. "Kami berbagi informasi dengan menanyakan bagaimana perkembangan mereka, demikian juga sebaliknya," ujarnya.

Tersanjung

Sementara, Konsul Jenderal (Konjen) Jepang di Medan, Yuji Hamada yang juga mengikuti acara itu mengaku senang dan tersanjung serta mengucapkan terima kasih kepada masyarakat Aceh yang sudah memperingati dua tahun tsunami Jepang.

Menurutnya, Aceh dan Jepang harus terus melakukan persahabatan karena keduanya berada di kawasan rawan bencana gempa dan tsunami. Dia menginginkan keduanya sama-sama belajar tentang bencana.

Yuji Hamada juga mengakui, masyarakat Jepang banyak belajar dari masyarakat Aceh untuk bangkit setelah musibah besar itu. "Banyak rakyat Jepang melakukan analisa penanganan bencana di Aceh dan kemudian mengadopsinya," ujarnya.

Untuk itu, pihaknya akan terus melakukan kerja sama dengan Indonesia, khususnya Aceh, dan bukan hanya menyangkut masalah kebencanaan, tapi juga di bidang lainnya baik pendidikan maupun teknologi. 
 
 
Sumber : Analisa Daily

Monday, March 11, 2013

Cristiano Ronaldo Jadi Duta Pelestarian Mangrove di Indonesia


Jakarta | Bintang Real Madrid Cristiano Ronaldo dinobatkan sebagai Duta Mangrove untuk Bali. Dalam perannya tersebut, pesepakbola asal Portugal itu pun akan memperjuangkan konservasi mangrove di Indonesia.

Ronaldo didaulat oleh Artha Graha Peduli, yang mana penunjukan itu digagas oleh Forum Peduli Mangrove, sebuah gerakan pelestarian mangrove di Bali yang didukung oleh lima Lembaga Pemberdayaan Masyarakat yang berada di selatan Tanjung Benoa, Bali.

Forum Peduli Mangrove itu sendiri akan diperkenalkan ke publik pada Mei 2013, dengan tujuan untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap pentingnya hutan mangrove, mengajak partisipasi aktif masyarakat guna melestarikan mangrove, dan mengembalikan kondisi ekosistem serta keragaman hayati (bio-diversity) bagi tanaman mangrove.

"Saya merasa istimewa dapat berperan dalam melestarikan mangrove di Indonesia. Saya pernah datang ke Aceh setelah tragedi tsunami, dan kehancuran yang saya lihat menyisakan kenangan yang dalam pada diri saya," katanya dalam rilis yang diterima detikSport.

"Saya memahami bahwa di tempat-tempat yang banyak ditumbuhi mangrove terbentuk ekosistem yang dapat melindungi dari hantaman ombak besar, dengan demikian banyak jiwa yang bisa selamat serta lebih sedikit kerusakan yang ditimbulkan," lanjut Ronaldo.

Penunjukan Ronaldo sebagai duta mangrove itu telah dilakukan langsung di Madrid, Jumat (8/3/2013), oleh pengusaha Indonesia Tomy Winata, yang juga merupakan chairman dari Artha Graha Network. Tomy Winata ketika itu sedang menghadiri Konferensi ke-56 Komisi PBB Anti Narkotika dan Obat-obatan Terlarang, UNOCD (United Nations Office on Drugs and Crime) di Eropa.

Dikatakan Tomy Winata, keberadaan Ronaldo sebagai duta yang akan mengusung tema "Save Mangrove, Save Earth" itu diharapkan bakal dapat membuka mata banyak kalangan akan pentingnya mangrove (hutan bakau) terhadap lingkungan.

"Saya sungguh-sungguh senang dan bahagia bahwa Ronaldo setuju mendukung penuh kegiatan kami guna melestarikan hutan mangrove di Indonesia. Ronaldo adalah Duta Penyelamatan Mangrove yang cocok, mengingat dia memiliki daya tarik dan panutan."

"Dalam bidang konservasi, maka konservasi mangrove adalah suatu hal penting dilakukan namun terabaikan. Saat kini dunia sudah makin tidak memiliki waktu. Dunia semakin kehilangan mangrove secara cepat."

"Kondisi mangrove di Indonesia secara umum adalah menyedihkan, Indonesia telah kehilangan dua juta hektar wilayah tanaman mangrove. Melakukan konservasi mangrove adalah bukan saja menyelamatkan lingkungan, namun penting bagi penyelamatan kehidupan sekian banyak penduduk," paparnya.

Kementerian Kehutanan Indonesia memperkirakan bahwa Indonesia memiliki lebih dari sembilan juta hektar hutan mangrove, kendati sekitar 70% saat ini telah hilang dan berubah menjadi kawasan pertanian, perkebunan sawit, pengembangan desa, dan perkotaan.


Sumber : Detik.com

Sejarah Baru Pelabuhan Aceh


Banda Aceh |  Penandatangan perjanjian kerjasama perintisan angkutan laut dan angkutan peti kemas dari dan ke Pelabuhan Malahayati Kreung Raya antara Pemerintah Aceh dengan PT Pelabuhan Indonesia I (Pelindo I) dan PT Alkan Abadi dilakukan di aula serbaguna kantor Gubernur Aceh, Senin (11/03/2013).
Dalam pidatonya, Gubernur Aceh mengatakan dengan penandatangan kerjasama ini harapannya akan tercipta sejarah baru di Aceh, yakni dengan beroperasinya angkutan laut dengan sistem peti kemas.
“Saya katakan ini sejarah baru sebab selama ini operasional angkutan laut dengan sistem peti kemas hanya berlangsung secara sporadis di Aceh. Kita berharap, Insya Allah dengan ditandatanganinya perjanjian ini, aktivitas itu akan berjalan rutin. Mudah-mudahan ini merupakan langkah positif untuk mendorong  meningkatnya aktivitas ekonomi di Aceh,” ujarnya.
Ia menambahkan, sebab itu tidak ada alasan untuk tidak mengembangkan sistem angkutan peti kemas melalui pelabuhan laut di Aceh, salah satunya di Pelabuhan Malahayati. Pemerintah Aceh akan mendorong agar Pelabuhan Malahayati ini kelak menjadi salah satu pelabuhan peti kemas terbesar di wilayah Sumatera.
Direktur Utama PT Pelindo I, Alfred Natsir, menyatakan momentum hari ini akan menandai dimulainya tekad untuk modernisasi Pelabuhan Malahayati, sekaligus dimulainya ekonomi Aceh tumbuh dan berkembang untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyatnya.
“Tentang jadwal perdana pengangkutan mesti disepakati kembali, namun sementara ini direncanakan nantinya pengangkutan hanya domestik saja dan belum melakukan kegiatan eksport dan import,” pungkasnya. 

Sumber : ANP

"Intat Linto", Warga Aceh di Eropa Kibarkan Bendera Bintang Bulan

 
Banda Aceh | Pasca penandatangan MoU Helsinki antara RI dengan GAM, di Indonesia khususnya, Aceh tidak boleh lagi menggunakan atribut Bintang Bulan (Bendera GAM-red).
Akan tetapi, dibolehkan di luar negeri seperti halnya yang terlihat dalam foto di atas pada perkawinan seorang warga Aceh yang menetap di Denmark membawa bendera GAM saat prosesi antar linto baro. 
 
Foto tersebut sengaja diposting di facebook supaya dilihat orang bahwa di luar negeri semangat Aceh merdeka belum pudar seidikit pun.

“Di lua manteng meuprek-prek atanyan... Di dalam Nangroe ka jipriek-priek (di luar negeri masih berkibar atribut itu, semantera di dalam negeri sudah direobek-robek,” ucap seorang facebooker pada komentarnya, Senin (11/3/2013).

Mempelai informasi pria dalam foto tersebut merupakan salah seorang aktivis Aceh yang tinggal di Denmark bernama Syukri Ibrahim menikah dengan Mulyana zakaria pada hari, Senin (9/3-2013).
Dalam komentar yang lain juga ada yang memuji-muji foto ini. “wow keren,”ucap Nuring Hatie.


Friday, March 8, 2013

Kisah Putroe Neng yang Memiliki 100 Suami


NIAN NIO LIAN KHI merupakan komandan perang dari china budha, beliau seorang perempuan yang telah dikalahkan oleh pasukan meurah johan seorang ulama yang berasal dari kerajaan pereulak yang pada saat itu mereka berada di indra purba yang bercocok tanam di daerah maprai(daerah sibreh sekarang) dan mereka membuka kebun lada dan merica pada saat itu setelah dikalahkan, jenderal NIAN NIO LIAN KHI masuk islam dan digelar dengan namanya yaitu PUTROE NENG
kekalahan dalam peperangan di Kuta Lingke telah mengubah sejarah hidup Putroe Neng, perempuan cantik dari Negeri Tiongkok. Dari seorang maharani yang ingin menyatukan sejumlah kerajaan di Pulau Ruja, ia malah menjadi permaisuri dalam sebuah pernikahan politis. Pendiri Kerajaan Darud Donya Aceh Darussalam, Sultan Meurah Johan, menjadi suami pertama Putroe Neng yang kemudian juga menjadi lelaki pertama yang meninggal di malam pertama. Tubuh Sultan Meurah Johan ditemukan membiru setelah melewati percintaan malam pertama yang selesai dalam waktu begitu cepat. Menikahi Putroe Neng yang cantik jelita merupakan sebuah kebanggaan bagi banyak lelaki bangsawan. Kebanggaan itu sering dilampiaskan dalam kalimat, “Nanti malam aku akan tidur dengan Putroe Neng.” Namun, hampir tidak ada lelaki yang berhasil mengatakan, “Tadi malam aku tidur dengan Putroe Neng.” Malam pertama selalu menjadi malam terakhir bagi 99 lelaki yang menjadi suami Putroe Neng.

Putroe Neng dan Kematian 99 Suaminya

Sebagian masyarakat Aceh mendengar kisah Putroe Neng dari penuturan orang tua. Konon Putroe Neng memiliki 100 suami dari kalangan bangsawan Aceh. Setiap suami meninggal pada malam pertama ketika mereka bercinta, karena alat kewanitaan Putroe Neng mengandung racun. Kematian demi kematian tidak menyurutkan niat para lelaki untuk memperistri perempuan itu. Padahal, tidak mudah bagi Putroe Neng untuk menerima pinangan setiap lelaki. Ia memberikan syarat berat seperti mahar yang tinggi atau pembagian wilayah kekuasaan (Ali Akbar, 1990).
Suami terakhir Putroe Neng adalah Syekh Syiah Hudam yang selamat melewati malam pertama dan malam-malam berikutnya. Ia adalah suami ke-100 dari perempuan cantik bermata sipit tersebut. Sebelum bercinta dengan Putroe Neng, Syiah Hudam berhasil mengeluarkan bisa dari alat genital Putroe Neng. Racun tersebut dimasukkan ke dalam bambu dan dipotong menjadi dua bagian. "Satu bagian dibuang ke laut, dan bagian lainnya dibuang ke gunung," tutur penjaga makam Putroe Neng, Cut Hasan.
Konon, Syiah Hudam memiliki mantra penawar racun sehingga ia bisa selamat. Setelah racun tersebut keluar, cahaya kecantikan Putroe Neng meredup. Sampai kematiannya, dia tidak mempunyai keturunan. Sulit mencari referensi tentang Putroe Neng. Sejumlah buku menyebutkan dia bernama asli Nian Nio Liang Khie, seorang laksamana dari China yang datang ke Sumatera untuk menguasai sejumlah kerajaan. Bersama pasukannya, ia berhasil menguasai tiga kerajaan kecil; Indra Patra, Indra Jaya, dan Indra Puri yang kini masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar. Beberapa benteng bekas ketiga kerajaan tersebut masih ada di Aceh Besar sampai sekarang.
Namun, Laksamana Nian Nio kalah ketika hendak menaklukkan Kerajaan Indra Purba yang meminta bantuan kepada Kerajaan Peureulak. Bantuan yang diberikan Kerajaan Peureulak adalah pengiriman tentara yang tergabung dalam Laskar Syiah Hudam pimpinan Syekh Abdullah Kana'an. Jadi, Syiah Hudam sesungguhnya adalah nama angkatan perang yang menjadi nama populer Abdullah Kana'an. Merujuk sejarah, pengiriman bala bantuan itu terjadi pada 1180 Masehi. Bisa disimpulkan pada masa itulah Putroe Neng hidup, tetapi tak diketahui pasti kapan meninggal dan bagaimana sejarahnya sampai makamnya terdapat di Desa Blang Pulo, Lhokseumawe.
Meski tak bisa menunjukkan makamnya, di mata Cut Hasan kematian 99 suami Putroe Neng bukanlah mitos. Ia mengaku mengalami beberapa hal gaib selama menjadi penjaga makam. Ia bermimpi berjumpa dengan Putroe Neng dan dalam mimpi itu diberikan dua keping emas. Paginya, Cut Hasan benar-benar menemukan dua keping emas berbentuk jajaran genjang dengan ukiran di setiap sisinya. Satu keping dipinjam seorang peneliti dan belum dikembalikan. Sementara satu keping lagi masih disimpannya sampai sekarang. 

Makam Putroe Neng di Lhokseumawe, Aceh
Menurut budayawan Aceh, Syamsuddin Djalil alias Ayah Panton, kisah kematian 99 suami hanya legenda meski nama Putroe Neng memang ada. Menurutnya, kematian itu adalah tamsilan bahwa Putroe Neng sudah membunuh 99 lelaki dalam peperangan di Aceh.
"Sulit ditelusuri dari mana muncul kisah tentang kemaluan Putroe Neng mengandung racun," ujar Syamsuddin Jalil saat ditemui di rumahnya di Kota Pantonlabu, Aceh Utara.
Makam Putroe Neng yang terletak di pinggir Jalan Medan-Banda Aceh (trans-Sumatera), memang sarat dengan kisah gaib. Misalnya, ada kisah seorang guru SMA yang meninggal setelah mengambil foto di makam tersebut. Ada juga yang mengaku melihat siluet putih dalam foto tersebut atau foto yang diambil tidak memperlihatkan gambar apa pun. Sayangnya, berbagai kisah gaib itu, plus legenda kematian 99 suami Putroe Neng pada malam pertama, tidak menjadikan makam tersebut menjadi lokasi wisata religi sebagaimana makam Sultan Malikussaleh di Desa Beuringen Kecamata Samudera, Aceh Utara. Sekitar 200 meter arah selatan makam Putroe Neng, terdapat makam suami ke-100, Syiah Hudam yang terletak di atas bukit perbukitan. Jalan menuju Makam Syiah Hudam sangat tersembunyi, sehingga pengunjung harus bertanya kepada masyarakat setempat karena tidak ada penunjuk jalan. 


Sumber : Acehpedia.org

Inilah Laksamana Keumala Hayati yang Memimpin 2000 Pasukan Inoeng Balee

 
...LIRIH terdengar suara itu memanggil jiwa untuk maju//Dari tanah mu hai Aceh lahir perempuan perkasa bukan hanya untuk dikenang//Tapi dia panglima Laksamana Jaya memanggil kembali untuk berjuang//Dia perempuan Keumala//Alam semesta restui//Lahir jaya berjiwa baja Laksamana Malahayati perempuan ksatria negeri...//

Lirik lagu tersebut dilantunkan Sang Maestro, Iwan Fals mengenang perjuangan Laksamana Malahayati. Keumala merupakan wanita Aceh yang memimpin armada laut kerajaan dan 2 ribu pasukan Inong Balee. Pasukan ini terdiri dari wanita-wanita Aceh yang suaminya tewas dalam perempuan Teluk Haru melawan Portugis.

Berdasarkan catatan Ali Hasjmy dalam bukunya Wanita Aceh menceritakan, pembentukan pasukan Inong Balee ini dilakukan Laksamana Malahayati setelah meminta izin dari Sultan Aceh, Sultan Al Mukamil. Permohonan itu dilakukan Keumala setelah suaminya ikut tewas dalam peperangan meski armada Kerajaan Aceh memperoleh kemenangan melawan Portugis.

Permintaan ini dikabulkan Sultan Al Mukamil dan Laksamana Malahayati diangkat menjadi panglimanya. Armada ini ditugaskan menjaga Teluk Krueng Raya, Aceh Besar dari gangguan bangsa asing.
Konon diceritakan Keumala Hayati awalnya mendapat pendidikan militer di pusat pendidikan tentara Aceh Asykar Baital Makdis. Dia mendapat pelatihan langsung dari instruktur perwira Turki Utsmaniyah.

Di kamp militer inilah Malahayati berkenalan dengan suaminya yang kelak diangkat menjadi Panglima Armada Selat Malaka Aceh. Usai menjalani pendidikan di Baital Makdis, Keumala Hayati diangkat menjadi Komandan Protokol Istana Darud Dunia oleh Sultan Aceh.
Nama Keumala Hayati menjadi populer setelah berhasil menyerbu kapal-kapal perang Belanda yang menyamar jadi kapal dagang. Armada kapal Belanda itu dipimpin Houtman bersaudara yang mengkhianati kepercayaan Sultan Aceh.

Pengkhianatan yang dilakukan dua Zeelander ini setelah berhasil masuk ke Aceh pada 21 Juni 1599 Masehi. Mereka melakukan manipulasi dagang, mengacau, dan menghasut sehingga membuat Sultan Aceh gerah.
Sultan Aceh kemudian memerintahkan Armada Inong Balee menyerbu kapal De Houtman bersaudara pada 11 September 1599. Pertempuran sengit berlangsung di atas geladak kapal Belanda. Cornelis de Houtman berhasil ditikam dan mati di tangan Laksamana Keumala Hayati sementara saudaranya, Frederick de Houtman ditawan.

"Di kapal Van Leeuw telah dibunuh Cornelis de Houtman dan anak buahnya oleh Laksamana Malahayati sendiri, sementara sekretaris rahasianya menyerang Frederick de Houtman dan ditawannya serta dibawa ke darat. Davis dan Tomkins menderita luka..." tulis Marie van C. Zeggelen dalam bukunya berjudul Oude Glorie.

Keberhasilan Malahayati dalam menumpas pengkhianatan de Houtman bersaudara ini membuat karirnya meningkat. Dia dipercaya menjabat sebagai panglima perang angkatan laut kerajaan.
Ketangguhan Laksamana Malahayati menjaga gerbang masuk ke Aceh membuat Kerajaan Belanda yang dipimpin Prince Maurits terpaksa mengambil langkah damai. Belanda mengirimkan utusan yang berangkat dengan empat buah kapal dagang, yaitu Zeelandia, Middleborg, Lange dan Sonne.
Laksamana Malahayati ditugaskan untuk memeriksa kapal-kapal utusan Belanda ini. Setelah mendapat rekomendasi dari panglima armada laut perempuan itu, utusan Belanda baru dapat menemui Sultan Aceh.

Bukti peninggalan sejarah armada Laksamana Malahayati kini bisa dijumpai di Desa Lamreh, Krueng Raya. Di desa itu terdapat Benteng Kuta Inong Balee, markas pasukan Keumala Hayati di Teluk Krueng Raya.
 
 
Sumber : The Atjeh Post

Srikandi Aceh itu Bernama "Cut Nyak Dhien"

 
"Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid," ujar Cut Nyak Dhien usai menampar buah hatinya Cut Gambang yang menangis saat mengetahui Teuku Umar syahid ditembak Belanda,  11 Februari 1899. Cut Nyak kemudian memeluk Cut Gambang.
Setelah kepergian Teuku Umar, pimpinan perang di pantai barat Aceh diambil alih Cut Nyak Dhien. Bersama sisa pasukan suaminya, Cut Nyak bergerilya dari satu medan ke medan pertempuran lainnya.

Dua tahun sejak kematian Teuku Umar, akhirnya perjuangan Cut Nyak bersama pasukan Aceh mulai terdesak akibat tentara Belanda sudah terbiasa berperang di daerah ini. Cut Nyak pun semakin renta.
Matanya sudah mulai rabun dan dia diserang encok. Jumlah pasukannya pun terus berkurang serta sulit sekali memperoleh makanan.

Kondisi Cut Nyak mendatangkan rasa iba bagi sisa pasukannya. Salah satu anak buahnya bernama Pang Laot melaporkan lokasi markas Cut Nyak kepada Belanda karena iba. Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dhien di Beutong Le Sageu.

Serangan ini mengejutkan pejuang Aceh. Begitu pula dengan Cut Nyak Dhien yang menyambar rencong untuk melawan musuh. Perlawanan Cut Nyak Dhien berhasil dihentikan Belanda. Dia ditangkap sementara putrinya Cut Gambang, berhasil melarikan diri ke hutan belantara. Cut Gambang kemudian meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.

Cut Nyak Dhien kemudian diboyong ke Kutaradja (Banda Aceh) dan mendapat perawatan medis untuk penyakit yang dideritanya. Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh.
Tak lama kemudian, Cut Nyak Dien dibuang ke Sumedang, Jawa Barat. Pengasingan ini dilakukan Belanda karena ketakutan kompeni terhadap semangat yang bisa diciptakan Cut Nyak dalam memicu perlawanan pejuang Aceh kepada mereka. Apalagi saat itu, Cut Nyak Dhien masih terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.

Ia kemudian dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lainnya. Di dalam tahanan, Cut Nyak mendapat julukan Ibu Perbu karena wawasan dan pemahamannya terhadap Islam sangat kental.

Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua.
Makamnya baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. Cut Nyak diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.

Kisah perjuangan Cut Nyak  diinterpretasi dalam film drama epos berjudul Tjoet Nja' Dhien pada tahun 1988 yang disutradarai oleh Eros Djarot dan dibintangi Christine Hakim sebagai Tjoet Nja' Dhien, Piet Burnama sebagai Pang Laot, Slamet Rahardjo sebagai Teuku Umar dan juga didukung Rudy Wowor. Film ini memenangkan Piala Citra sebagai film terbaik, dan merupakan film Indonesia pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes (tahun 1989).

Sementara peninggalan Cut Nyak di Aceh yaitu Rumoh Cut Nyak Dhien di Lampisang, Peukan Bada. Rumah itu merupakan benda cagar budaya yang dilestarikan dan mengundang minat wisatawan pecinta sejarah Aceh. Perjuangan Cut Nyak melawan Belanda menjadikan namanya bersanding dengan tokoh-tokoh wanita dunia.
 
 
Source : The Atjeh Post